PS: Baca doa sebelum baca ini,
kalo nggak kuat iman langsung close aja, Pokoknya kalo udah nggak kuat
iman, langsung close atau buka yang lain. Oke? Aku nggak bakal ngedit
apapun. Hal-hal yang menyangkut kekuatan iman nggak ditanggung :p
Promises Promises [Part 14] : Mencintaimu Sekali Lagi
Selesai mandi, Ify berdiri di depan jendela kamarnya.
Menikmati kerlip bintang di langit. Ia menghela napas panjang penuh
kepuasan. Acara memetik buah stroberi dan menikmati buahnya sambil
berjalan-jalan di hutan pinus sungguh menyenangkan, sekaligus
melelahkan. Saking lelahnya, Kejora tidak bisa menahan kuap sepanjang
makan malam. Begitu Kejora menghabiskan supnya, Ify langsung menyuruhnya
tidur. Tanpa membantah sedikitpun, gadis kecil itu segera naik ke
loteng.
Suara ketukan pintu mengusik lamunan Ify. “Masuk,”
serunya tanpa mengalihkan pandangannya dari hamparan bintang di langit.
Tanpa perlu menoleh pun ia sudah tahu, pasti Rio yang datang.
Ify dapat mendengar langkah kaki mendekat, tetapi ia
masih enggan mengalihkan pandangannya dari bintang-bintang di langit.
Lengan kokoh yang tiba-tiba melingkari pinggangnya membuatnya tersentak
kaget. Napasnya tercekat di tenggorok, saaat tubuhnya ditarik hingga
merapat pada tubuh lelaki itu. Geletar samar menjalari punggungnya. Ify
ingin melepaskan diri, tetapi seluruh tubuhnya seakan menolak perintah
otaknya.
“Kamu kedinginan?”
Embusan napas Rio yang menyentuh kulitnya saat berbisik di telinganya, membuat bibir Ify mongering. “Sedikit.”
Rio terkejut saar menyadari hanya dengan memeluk Ify
seperti ini, sudah mampu membuat seluruh sel di tubuhnya bergetar resah.
Darahnya mengalir deras saat harum shampoo yang menguar dari rambut
basah Ify terhirup hidungnya. Rio segera melepaskan tubuh Ify, sebelum
kendali dirinya benar-benar lenyap. Diraihnya tangan perempuan itu dan
diajaknya meninggalkan kamar.
Alis Ify terangkat saat mendapati seluruh lampu di
ruang duduk telah dipadamkan. Satu-satunya penerangan hanya berasal dari
perapian yang telah dinyalakan. Cahaya api menciptakan siluet tubuhnya
dan Rio pada dinding. Mengikuti setiap gerak yang mereka lakukan. Ify
mengalihkan pandangannya pada coffee table, dan terbeliak saat mendapati
tiga tangkai bunga matahari di atasnya. Ia menoleh pada Rio, yang
tengah memperhatikannya sambil tersenyum penuh arti. “Bunga matahari…?”
“Kamu suka?”
Ingatan Ify kembali ke saat ia menampik bunga matahari
yang di bawa Rio dulu, dan ucapannya pada lelaki itu. Tanpa
dikehendakinya, wajahnya menghangat. Ternyata, Rio tahu kalau ia telah
berdusta. Perlahan, Ify menganggukkan kepala. “Beli di mana?”
Rio mengangkat bahunya santai, sambil menatap Ify penuh rahasia.
Ify menyipitkan matanya, berpura-pura kesal. Seulas senyum kemudian mengembang di wajahnya. “Makasih ya.”
Ify kembali mengalihkan pandangannya ke coffee table.
Kedua alisnya terangkat saat melihat sepiring sandwich dan sebotol wine
telah tersedia di atasnya. Ia menoleh kepada Rio, dengan tatapan penuh
tanya.
“Aku selalu kelaparan kalau berada di tempat dingin,”
Rio meraih botol wine, “Jadi aku membuat shrimp sandwich. Cobain deh,
kamu pasti suka.”
“Dan, wine itu..?”
“Untuk menghangatkan badan,” jawab Rio kalem sambil
memasang alat pembuka botol pada gabus wine, memutarnya, lalu menariknya
hingga terbuka.
“Ya, kurasa begitu.” Ify duduk di lantai yang ditutupi
karpet tebal, dan menyandarkan punggungnya pada sofa. Matanya menatap
lurus pada api di perapian. Terpesona pada warna kuning kemerahan yang
meliuk-liuk dengan indah di hadapannya, dan gemeratak kayu bakar yang
sesekali terdengar.
“Minumlah, biar kamu lebih hangat.”
Ify mendongak, menatap gelas wine yang disodorkan Rio
selama beberapa saat, lalu meraihnya. Ia menyesap wine-nya perlahan
sambil mengamati perapian.
Rio menjatuhkan diri di sisi Ify, menatap perapian
dengan pandangan kosong, lalu menghela napas panjang. “Makasih, Alyssa,”
gumamnya lirih.
Ify menoleh, menatap Rio dengan satu alis terangkat. “Untuk…?”
Rio kembali menyesap wine-nya perlahan. “Untuk memberiku kebahagiaan yang nggak pernah aku rasakan sebelumnya.”
“Omong kosong!” tukas Ify. “Nggak mungkin sepanjang hidupmu, nggak pernah satu kalipun kamu bahagia.”
Rio menoleh. “Aku serius. Saat-saat yang paling
membahagiakan dala hidupku hanya saat aku bersamamu—tiga belas tahun
yang lalu, dan hari ini.”
“Bersama Ashilla?” Ify langsung menyesali ucapan yang
terlontar begitu saja dari mulutnya tanpa pikir panjang, “Maaf,” ia
menundukkan pandangannya, menyembunyikan rasa tak enak yang muncul di
hatinya.
Rio menggeleng. “Nggak apa-apa,” ia menyesap wine dalam
diam, lalu menghela napas berat. “Yaaaah,” ia mengangkat bahunya,
“mungkin aku memang pernah merasa bahagia bersama Shilla, tetapi nggak
pernah sebahagia saat bersamamu.” Rio meraih botol wine, dan kembali
mengisi gelasnya.
“Apa yang membuatmu—akhirnya—merasa nggak bahagia bersama Shilla?” tanya Ify hati-hati. “Apa karena masalah anak?”
Rio menggeleng. Ia membuka kacamatanya, meletakkan di
atas coffee table, lalu kembali bersandar. Rio menghela napas berat.
“Ketidakinginan Shilla mempunyai anak memang membuat aku sedih,” ia
menggoyangkan gelasnya, “tapi aku masih bisa menolerirnya.”
Ify menatap Rio tanpa berkata-kata. Rio sedang membuka
diri. Ia tidak ingin ucapan tak pentingnya merusak mood lelaki ini, dan
akhirnya mengurungkan niatnya untuk bercerita. Ia tidak ingin itu
terjadi. Ia ingin mengetahui segalanya.
“Aku…,” Rio tercekat. “Dia..” Ia tidak dapat
melanjutkan ucapannya. Rasa nyeri yang menghajar dadanya, membuatnya
tidak dapat bernapas. Rio mengalihkan pandangannya pada perapian, lalu
menyesap wine-nya perlahan. Berusaha membasahi tenggoroknya yang kering.
Berusaha mengurangi nyeri di hatinya.
Walaupun tak dapat melihat mata Rio, Ify dapat
merasakan lelaki ini terluka. Rasa iba meremas hatinya. Ify menjulurkan
tangannya, meraih tangan besar lelaki itu dan menggenggamnya. Ia tahu,
apa yang dilakukannya mungkin tidak akan bisa menyembuhkan luka di hati
lelaki ini, tetapi paling tidak ia bisa mencoba menghiburnya. “Kamu
nggak perlu menceritkannya, kalau memang terasa sakit.”
Perlahan Rio menggeleng. “Aku ingin kamu tau.” Ia
mengalihkan pandangannya kepada Ify. “Aku nggak ingin ada rahasia apapun
di antara kita.” Ia meremas lembut tangan Ify yang menggenggam
tangannya, seakan ia membutuhkan tangan Ify untuk dijadikan pegangan.
Untuk memberinya kekuatan. Untuk meyakinkan dirinya bahwa perempuan ini
akan tetap berada di sisinya di saat terapuhnya.
Ify meraih gelas wine Rio, lalu meletakkannya di atas
coffee table, berikut gelasnya. Kemudian ia memutar tubuhnya hingga
menghadap Rio, meraih tangan Rio yang lain dan menggenggamnya. “Kalau
kamu memang ingin menceritakannya, aku bisa mendengarkan. Tapi kalau
kamu berubah pikiran, aku bisa mengerti.” Ditatapnya lelaki itu dengan
pandangan lembut dan penuh pengertian.
Kehangatan dalam suara Ify bagaikan selimut yang
menyelubungi hati Rio. Begitu mententramkan. Genggaman tangan Ify,
seakan mengalirkan dukungan dan kekuatan kepada Rio. Cara Ify
menatapnya, seakan memberinya kepastian bahwa perempuan ini tetap akan
di sisinya pada saat dirinya hancur dan jatuh. Rio menarik napas
dalam-dalam. “Aku memergoki Shilla selingkuh.” Akhirnya kalimat yang
amat menyakitkan itu keluar juga dari bibirnya. “Aku mendapatinya tidur
dengan lelaki lain di kamarku—kamar kami.”
Ify terperangah. Tak bisa berkata-kata. Luka di mata
Rio, membuat jantungnya terpilin. Nyeri. Walaupun belum pernah
mengalaminya, namun ia paham betapa menyakitkannya kejadian itu.
“Sejak saat itu, aku nggak sanggup lagi menginjakkan
kakiku di kamar itu.” Rio menundukkan pandangannya. “Aku bahkan nggak
sanggup berada terlalu lama di rumah itu. Itu sebabnya aku membeli rumah
yang kamu kerjakan sekarang.”
Mengikuti dorongan hatinya, Ify berlutut. Ia meraih kepala Rio, dan menariknya hingga bersandar di bahunya.
Rio telah memperlihatkan kerapuhannya kepada Ify, dan
ia amat terkejut saat mendapati dirinya merasa nyaman. Cara Ify
memeluknya, bagaikan magnet yang menarik kepingan-kepingan hatinya yang
terserak, lalu merekatkannya kembali. Menyembuhkannya. Tanpa pikir
panjang, Rio melingkarkan lengannya ke sekeliling tubuh Ify, menariknya
hingga merapat pada tubuhnya, lalu menyurukkan wajahnya ke leher
perempuan itu. Di luar kehendaknya, kelembutan tubuh Ify yang menempel
padanya membuat darahnya mengalir deras. Kelembutan kulit Ify yang
melekat pada bibirnya, membuat seluruh saraf di tubuhnya bergetar resah.
Harum manis dan lembut yang terhirup oleh hidungnya, membuat otaknya
seakan lenyap dari tempurung kepalanya.
Selama beberapa saat Ify tertegun. Terkejut saat Rio
menarik tubuhnya dan mendekapnya erat. Jantungnya seakan-akan
mengentak-entak di dalam rongga dadanya. Ia ingin segera melepaskan
diri, tetapi kecupan-kecupan ringan di lehernya, menghilangkan akal
sehatnya dalam sekejap. Alih-alih mendorong tubuh Rio, ia melingkarkan
kedua lengannya pada bahu lelaki itu. Mendekapnya erat. Napas berat Rio
yang menyentuh kulitnya, membuat seluruh kulit di tubuhnya mengencang.
Desakan panas menjalari tubuhnya dalam gelombang respon yang membuatnya
terkejut. Sesuatu yang tersembunyi dalam diri Ify bergolak hebat. Ify
mendengar dirinya mengerang pelan di dasar tenggorok karena rasa
mendamba yang terasa semakin merobeknya, seiring dengan setiap gerakan
mulut Rio di sepanjang lehernya. Erangan lembut yang keluar dari
tenggorok Ify, semakin membakar hasrat Rio. Rasa lapar menyala dalam
dirinya seperti serbuan adrenalin yang menyakitkan.
Rio menjauhkan bibirnya dari leher Ify, dan menatap
perempuan dalam pelukannya. Kedua mata Ify terpejam, dan bibir indahnya
setengah terbuka. Begitu menggairahkan. Begitu mengundang. Membuat
secuil akal sehat yang masih tersisa di benaknya, menghilang dalam
sekejap. Membuatnya kehilangan seluruh kendali dirinya. Satu-satunya
realita yang disadarinya hanyalah kebutuhan yang dirasakan tubuhnya.
Kebutuhan yang hanya bisa dipenuhi oleh Ify. Rio menundukkan wajahnya.
Ciuman Rio begitu lembut, tetapi mampu mengobrak-abrik emosi Ify.
Seluruh tulang di tubuh Ify seakan lenyap begitu saja.
Ciuman Rio semakin bergairah. Semakin menuntut. Ify merasakan hasratnya
semakin meningkat. Seluruh tubuhnya bergetar dengan hasrat. Ia
mencengkram rambut lelaki itu, membalas ciuman Rio, membuatnya lupa
diri. Lupa akan segalanya. Ia terlena. Ia bahkan tidak menyadari
tubuhnya telah terbaring di atas karpet. Sentuhan lembut jari-jari
panjan dan kokoh Rio pada kulitnya yang terbuka dirasakan Ify bagaikan
setrum yang mengalirkan listrik ke sekujur tubuhnya. Menuntut untuk
dipuaskan. Dan… Rio memberikan apa yang diinginkannya. Memenuhi
kebutuhannya, hingga membawanya ke puncak.
Perlahan, deru napas mulai mereda. Peluh membasahi
tubuh mereka. Rio bertumpu pada sikunya, menatap dalam ke mata Ify.
Tatapan yang selalu membuat hati Ify seakan meleleh, dan wajahnya
merona. Apa yang ditakutkan Ify sebelum berangkat ke pondok ini telah
terjadi. Namun anehnya, tak ada sedikitpun penyesalan di hatinya. Justru
sebaliknya, ia merasa amat bahagia. Dan, cara Rio menatapnya,
membuatnya merasa begitu dicintai.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Rio lembut. Ada kecemasan dalam suaranya.
Ify menggeleng.
Rio tersenyum lega. “I’m so addicted to you,” ia menundukkan kepalanya, mengecup kening Ify.
Hati Ify seakan teremas. Baru saja tangannya terulur
untuk membelai wajah tampan di hadapannya, tiba-tiba sebuah kesadaran
memasuki benaknya. Menyentaknya. Di pondok ini, selain ada mereka
berdua, juga ada…Kejora!
Kening Rio berkerut saat Ify mendorongnya hingga
menyingkir dari atas tubuh perempuan itu. Sambil bertumpu pada sikutnya,
Ify mengangkat tubuhnya dari karpet dan duduk. Matanya berkeliaran
panic. Ify menyambar sweater yang tergeletak tak jauh darinya, lalu
mengenakannya dengan tergesa-gesa. Rio menjulurkan tangannya, hendak
meraih kembali tubuh Ify. Namun perempuan itu mengelak dan bergegas
bangkit.
“Cepaat berpakaian, Yo,” bisik Ify. “Aku nggak mau Kejora melihat kita dalam keadaan seperti ini.”
Rio mengerang perlahan. Ia terlalu hanyut hingga
melupakan hal yang satu itu; putrinya ada di loteng. Tanpa membantah,
Rio bangkit. Ia menyapukan pandangannya ke sekeliling mencari pakaian
yang terserak. Dengan tergesa-gesa, ia menyambar pakaiannya, sementara
matanya mengamati Ify yang bergerak panic memunguti pakaiannya.
Melihat sweater yang dikenakan Ify hanya sebatas
pangkal paha, hingga mempertontonkan kakinya yang jenjang, membuat Rio
menelan ludah. Rio mengerang dalam hati saat ia menyadari hasratnya
kembali muuncul. Tanpa memedulikan T-shirt yang masih tergeletak di
bawah coffee table, Rio menghampiri Ify. Ia meraih tubuh perempuan itu,
lalu mengangkatnya. Mata Ify membelalak lebar, mulutnya terbuka hendak
mengajukan protes. Namun suaranya hanya bisa tertahan di tenggorok. Rio
kembali menciumnya. Dalam sekejap, geletar samar kembali menjalari tubuh
Ify. Ia merangkulkan tangannya ke pundak Rio, membalas ciumannya, dan
membiarkan lelaki itu menggendongnya ke kamar.
**
“Moom, where are you?”
Teriakan Kejora menyentak Ify dari tidurnya. Matanya
mengerjap bingung saat menyadari dirinya terbangun di tempat asing—ia
terkesiap—dengan Rio di sisinya! Perlahan, ingatannya kembali pada apa
yang mereka lakukan semalam. Dalam sekejap, geletar samar kembali
merayapi seluruh tubuhnya. Sambil bertumpu pada sikunya, Ify bangkit
dari tempat tidur. Namun, sebuah lengan kokoh meraih tubuhnya dan
menariknya kembali ke tempat tidur.
“Mau kemana sih?” Rio memeluk pinggang Ify. Ia
menyurukkan kepalanya ke punggung perempuan itu, dan menciumnya, membuat
Ify mendesah pelan dan lupa pada tujuannya.
“Mommm..?”
Tubuh Ify menegang seketika. Bagai tersambar petir
kilat, Rio melepaskan pelukannya. Bagai kesetanan, keduanya bangkit dari
tempat tidur dan mengenakan pakaian. Cepat, Ify menyisir rambutnya
dengan tangan, lalu melangkah menghampiri pintu. Namun, cengkraman
tangan Rio menahan langkahnya. Ify memutar tubuhnya dan melemparkan
tatapan kesal. “Apa-apaan sih, Yo?” bisiknya, memprotes sekaligus panic.
“Gimana kalau ketauan Rara?”
Rio menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum
geli. “Kamu pikir Rara nggak curiga kalau liat kamu keluar dari
kamarku?” tanyanya kalem.
Menyadari ucapan Rio benar, kepanikan Ify meningkat. “Terus, gimana dong?”
“Biar aku yang keluar, dan mengalihkan perhatiannya.”
Rio mendorong tubuh Ify hingga menyingkir dari depan pintu. Sambil
melemparkan senyuman penuh arti, ia membuka pintu dan melangkah keluar.
Begitu pintu kembali tertutup, Ify menempelkan
telinganya pada daun pintu. Didengarnya Rio mengajak Kejora mencarinya
di bawah. Setelah suara Rio dan Kejora terdengar menjauh, Ify membuka
pintu, dan mengintip dari celahnya. Begitu ia yakin, situasinya sudah
aman, tanpa membuang waktu ia berlari keluar, dan menyeberangi ruang
duduk.
Begitu selamat tiba di kamarnya, Ify menyandarkan
punggungnya di balik pintu dan menghela napas lega. Dasar ia memang
ceroboh. Untung Rio mencegahnya keluar. Ia tidak dapat membayangkan
dampaknya pada Kejora jika mendapati ibunya keluar dari kamar lelaki
itu. Walaupun ia tidak menyesali apa yang dilakukannya dengan Rio
semalam, walaupun ia tidak pernah menyesali kehadiran Kejora, tetapi ia
menyesali kejadian tiga belas tahun yang lalu. Ia tidak ingin Kejora
meniru perbuatannya. Ia tidak ingin Kejora berpikiran bahwa apa yang
dilakukan ibunya adalah hal yang biasa dan wajar. Ify telah berbuat
kesalahan saat masih remaja, dan telah menjalani hidup yang penuh
penderitaan setelahnya. Ia tidak ingin Kejora mengalami semua itu. Ia
menginginkan kehidupan yang jauh lebih baik untuk Kejora. Ify menarik
napas dalam-dalam, lalu melangkah ke kamar mandi.
**
Ketika ada kesempatan berbicara berdua dengan Rio, Ify
menjelaskan bahwa ia tidak ingin mereka terlalu memperlihatkan kemesraan
di depan Kejora. Dan ia bisa menghela napas lega karena Rio pun
berpendapat sama. Bagi Rio, bagaimanapun, Kejora adalah putrinya. Putri
yang amat ia sayangi dan begitu ingin dilindunginya. Ia pun ingin gadis
kecil itu memiliki hidup yang lebih baik. Mendapatkan cinta seorang
pemuda baik-baik—yang sudah pasti tidak seperti dirinya—dan menikah.
Namun, walaupun kesepakatan telah tercipta, tetap saja
sulit bagi Rio untuk menahan diri. Ia seakan tidak bisa berhenti curi
pandang ke arah Ify. Tak bisa berhenti menyentuh perempuan itu—tentu
saja setiap kali ia yakin Kejora tidak memperhatikan—seakan takut tidak
bisa melihat Ify lagi. Seakan takut tidak dapat merakan kehadiran Ify di
dekatnya. Seakan takut akan kehilangan perempuan itu. Bahkan, begitu
berat baginya untuk meninggalkan rumah Ify, saat mengantarnya pulang.
Rio mengeluh dalam hati. Seandainya ia bisa membereskan
semua masalahnya dalam waktu singkat. Seandainya Ashilla tidak
mempersulit perceraian ini, mungkin ia tidak perlu merasa tersiksa
seperti ini. Kehilangan Ify selama tiga tahun sudah lebih dari cukup. Ia
tidak ingin kehilangan lagi. Ia tidak sabar untuk segera memulai
kehidupan baru dengan dua perempuan yang paling dicintainya itu.
Kehidupan yang—ia yakin—akan membuatnya amat bahagia. Selamanya.
---
Ada yang tahan bacanya? :p ampun part ini frontal bangeeeeetttt-___-v
terusin dong ceritanya ..
BalasHapuskeren keren :D
Next donk--'
BalasHapusngaretnya kebangetan banget sih kak :(
Yahh Kok Sampai Part Ini Aja
BalasHapussampe berapa part nih sebenar.a??
BalasHapuslanjutin don'k!!!!!
BalasHapusudah lanjut noh..:)
BalasHapusBoleh Izin Copast Gak :)
BalasHapus