Rabu, 09 Januari 2013

Promises Promises[Part 14]:Mencintaimu Sekali Lagi

PS: Baca doa sebelum baca ini, kalo nggak kuat iman langsung close aja, Pokoknya kalo udah nggak kuat iman, langsung close atau buka yang lain. Oke? Aku nggak bakal ngedit apapun. Hal-hal yang menyangkut kekuatan iman nggak ditanggung :p

 

Promises Promises [Part 14] : Mencintaimu Sekali Lagi

 

            Selesai mandi, Ify berdiri di depan jendela kamarnya. Menikmati kerlip bintang di langit. Ia menghela napas panjang penuh kepuasan. Acara memetik buah stroberi dan menikmati buahnya sambil berjalan-jalan di hutan pinus sungguh menyenangkan, sekaligus melelahkan. Saking lelahnya, Kejora tidak bisa menahan kuap sepanjang makan malam. Begitu Kejora menghabiskan supnya, Ify langsung menyuruhnya tidur. Tanpa membantah sedikitpun, gadis kecil itu segera naik ke loteng.

            Suara ketukan pintu mengusik lamunan Ify. “Masuk,” serunya tanpa mengalihkan pandangannya dari hamparan bintang di langit. Tanpa perlu menoleh pun ia sudah tahu, pasti Rio yang datang.

            Ify dapat mendengar langkah kaki mendekat, tetapi ia masih enggan mengalihkan pandangannya dari bintang-bintang di langit. Lengan kokoh yang tiba-tiba melingkari pinggangnya membuatnya tersentak kaget. Napasnya tercekat di tenggorok, saaat tubuhnya ditarik hingga merapat pada tubuh lelaki itu. Geletar samar menjalari punggungnya. Ify ingin melepaskan diri, tetapi seluruh tubuhnya seakan menolak perintah otaknya.

            “Kamu kedinginan?”

            Embusan napas Rio yang menyentuh kulitnya saat berbisik di telinganya, membuat bibir Ify mongering. “Sedikit.”

            Rio terkejut saar menyadari hanya dengan memeluk Ify seperti ini, sudah mampu membuat seluruh sel di tubuhnya bergetar resah. Darahnya mengalir deras saat harum shampoo yang menguar dari rambut basah Ify terhirup hidungnya. Rio segera melepaskan tubuh Ify, sebelum kendali dirinya benar-benar lenyap. Diraihnya tangan perempuan itu dan diajaknya meninggalkan kamar.

            Alis Ify terangkat saat mendapati seluruh lampu di ruang duduk telah dipadamkan. Satu-satunya penerangan hanya berasal dari perapian yang telah dinyalakan. Cahaya api menciptakan siluet tubuhnya dan Rio pada dinding. Mengikuti setiap gerak yang mereka lakukan. Ify mengalihkan pandangannya pada coffee table, dan terbeliak saat mendapati tiga tangkai bunga matahari di atasnya. Ia menoleh pada Rio, yang tengah memperhatikannya sambil tersenyum penuh arti. “Bunga matahari…?”

            “Kamu suka?”

            Ingatan Ify kembali ke saat ia menampik bunga matahari yang di bawa Rio dulu, dan ucapannya pada lelaki itu. Tanpa dikehendakinya, wajahnya menghangat. Ternyata, Rio tahu kalau ia telah berdusta. Perlahan, Ify menganggukkan kepala. “Beli di mana?”

            Rio mengangkat bahunya santai, sambil menatap Ify penuh rahasia.

            Ify menyipitkan matanya, berpura-pura kesal. Seulas senyum kemudian mengembang di wajahnya. “Makasih ya.”

            Ify kembali mengalihkan pandangannya ke coffee table. Kedua alisnya terangkat saat melihat sepiring sandwich dan sebotol wine telah tersedia di atasnya. Ia menoleh kepada Rio, dengan tatapan penuh tanya.

            “Aku selalu kelaparan kalau berada di tempat dingin,” Rio meraih botol wine, “Jadi aku membuat shrimp sandwich. Cobain deh, kamu pasti suka.”

            “Dan, wine itu..?”

            “Untuk menghangatkan badan,” jawab Rio kalem sambil memasang alat pembuka botol pada gabus wine, memutarnya, lalu menariknya hingga terbuka.

            “Ya, kurasa begitu.” Ify duduk di lantai yang ditutupi karpet tebal, dan menyandarkan punggungnya pada sofa. Matanya menatap lurus pada api di perapian. Terpesona pada warna kuning kemerahan yang meliuk-liuk dengan indah di hadapannya, dan gemeratak kayu bakar yang sesekali terdengar.

            “Minumlah, biar kamu lebih hangat.”

            Ify mendongak, menatap gelas wine yang disodorkan Rio selama beberapa saat, lalu meraihnya. Ia menyesap wine-nya perlahan sambil mengamati perapian.

            Rio menjatuhkan diri di sisi Ify, menatap perapian dengan pandangan kosong, lalu menghela napas panjang. “Makasih, Alyssa,” gumamnya lirih.

            Ify menoleh, menatap Rio dengan satu alis terangkat. “Untuk…?”

            Rio kembali menyesap wine-nya perlahan. “Untuk memberiku kebahagiaan yang nggak pernah aku rasakan sebelumnya.”

            “Omong kosong!” tukas Ify. “Nggak mungkin sepanjang hidupmu, nggak pernah satu kalipun kamu bahagia.”

            Rio menoleh. “Aku serius. Saat-saat yang paling membahagiakan dala hidupku hanya saat aku bersamamu—tiga belas tahun yang lalu, dan hari ini.”

            “Bersama Ashilla?” Ify langsung menyesali ucapan yang terlontar begitu saja dari mulutnya tanpa pikir panjang, “Maaf,” ia menundukkan pandangannya, menyembunyikan rasa tak enak yang muncul di hatinya.

            Rio menggeleng. “Nggak apa-apa,” ia menyesap wine dalam diam, lalu menghela napas berat. “Yaaaah,” ia mengangkat bahunya, “mungkin aku memang pernah merasa bahagia bersama Shilla, tetapi nggak pernah sebahagia saat bersamamu.” Rio meraih botol wine, dan kembali mengisi gelasnya.

            “Apa yang membuatmu—akhirnya—merasa nggak bahagia bersama Shilla?” tanya Ify hati-hati. “Apa karena masalah anak?”

            Rio menggeleng. Ia membuka kacamatanya, meletakkan di atas coffee table, lalu kembali bersandar. Rio menghela napas berat. “Ketidakinginan Shilla mempunyai anak memang membuat aku sedih,” ia menggoyangkan gelasnya, “tapi aku masih bisa menolerirnya.”

            Ify menatap Rio tanpa berkata-kata. Rio sedang membuka diri. Ia tidak ingin ucapan tak pentingnya merusak mood lelaki ini, dan akhirnya mengurungkan niatnya untuk bercerita. Ia tidak ingin itu terjadi. Ia ingin mengetahui segalanya.

            “Aku…,” Rio tercekat. “Dia..” Ia tidak dapat melanjutkan ucapannya. Rasa nyeri yang menghajar dadanya, membuatnya tidak dapat bernapas. Rio mengalihkan pandangannya pada perapian, lalu menyesap wine-nya perlahan. Berusaha membasahi tenggoroknya yang kering. Berusaha mengurangi nyeri di hatinya.

            Walaupun tak dapat melihat mata Rio, Ify dapat merasakan lelaki ini terluka. Rasa iba meremas hatinya. Ify menjulurkan tangannya, meraih tangan besar lelaki itu dan menggenggamnya. Ia tahu, apa yang dilakukannya mungkin tidak akan bisa menyembuhkan luka di hati lelaki ini, tetapi paling tidak ia bisa mencoba menghiburnya. “Kamu nggak perlu menceritkannya, kalau memang terasa sakit.”

            Perlahan Rio menggeleng. “Aku ingin kamu tau.” Ia mengalihkan pandangannya kepada Ify. “Aku nggak ingin ada rahasia apapun di antara kita.” Ia meremas lembut tangan Ify yang menggenggam tangannya, seakan ia membutuhkan tangan Ify untuk dijadikan pegangan. Untuk memberinya kekuatan. Untuk meyakinkan dirinya bahwa perempuan ini akan tetap berada di sisinya di saat terapuhnya.

            Ify meraih gelas wine Rio, lalu meletakkannya di atas coffee table, berikut gelasnya. Kemudian ia memutar tubuhnya hingga menghadap Rio, meraih tangan Rio yang lain dan menggenggamnya. “Kalau kamu memang ingin menceritakannya, aku bisa mendengarkan. Tapi kalau kamu berubah pikiran, aku bisa mengerti.” Ditatapnya lelaki itu dengan pandangan lembut dan penuh pengertian.

            Kehangatan dalam suara Ify bagaikan selimut yang menyelubungi hati Rio. Begitu mententramkan. Genggaman tangan Ify, seakan mengalirkan dukungan dan kekuatan kepada Rio. Cara Ify menatapnya, seakan memberinya kepastian bahwa perempuan ini tetap akan di sisinya pada saat dirinya hancur dan jatuh. Rio menarik napas dalam-dalam. “Aku memergoki Shilla selingkuh.” Akhirnya kalimat yang amat menyakitkan itu keluar juga dari bibirnya. “Aku mendapatinya tidur dengan lelaki lain di kamarku—kamar kami.”

            Ify terperangah. Tak bisa berkata-kata. Luka di mata Rio, membuat jantungnya terpilin. Nyeri. Walaupun belum pernah mengalaminya, namun ia paham betapa menyakitkannya kejadian itu.

            “Sejak saat itu, aku nggak sanggup lagi menginjakkan kakiku di kamar itu.” Rio menundukkan pandangannya. “Aku bahkan nggak sanggup berada terlalu lama di rumah itu. Itu sebabnya aku membeli rumah yang kamu kerjakan sekarang.”

            Mengikuti dorongan hatinya, Ify berlutut. Ia meraih kepala Rio, dan menariknya hingga bersandar di bahunya.

            Rio telah memperlihatkan kerapuhannya kepada Ify, dan ia amat terkejut saat mendapati dirinya merasa nyaman. Cara Ify memeluknya, bagaikan magnet yang menarik kepingan-kepingan hatinya yang terserak, lalu merekatkannya kembali. Menyembuhkannya. Tanpa pikir panjang, Rio melingkarkan lengannya ke sekeliling tubuh Ify, menariknya hingga merapat pada tubuhnya, lalu menyurukkan wajahnya ke leher perempuan itu. Di luar kehendaknya, kelembutan tubuh Ify yang menempel padanya membuat darahnya mengalir deras. Kelembutan kulit Ify yang melekat pada bibirnya, membuat seluruh saraf di tubuhnya bergetar resah. Harum manis dan lembut yang terhirup oleh hidungnya, membuat otaknya seakan lenyap dari tempurung kepalanya.

            Selama beberapa saat Ify tertegun. Terkejut saat Rio menarik tubuhnya dan mendekapnya erat. Jantungnya seakan-akan mengentak-entak di dalam rongga dadanya. Ia ingin segera melepaskan diri, tetapi kecupan-kecupan ringan di lehernya, menghilangkan akal sehatnya dalam sekejap. Alih-alih mendorong tubuh Rio, ia melingkarkan kedua lengannya pada bahu lelaki itu. Mendekapnya erat. Napas berat Rio yang menyentuh kulitnya, membuat seluruh kulit di tubuhnya mengencang. Desakan panas menjalari tubuhnya dalam gelombang respon yang membuatnya terkejut. Sesuatu yang tersembunyi dalam diri Ify bergolak hebat. Ify mendengar dirinya mengerang pelan di dasar tenggorok karena rasa mendamba yang terasa semakin merobeknya, seiring dengan setiap gerakan mulut Rio di sepanjang lehernya. Erangan lembut yang keluar dari tenggorok Ify, semakin membakar hasrat Rio. Rasa lapar menyala dalam dirinya seperti serbuan adrenalin yang menyakitkan.

            Rio menjauhkan bibirnya dari leher Ify, dan menatap perempuan dalam pelukannya. Kedua mata Ify terpejam, dan bibir indahnya setengah terbuka. Begitu menggairahkan. Begitu mengundang. Membuat secuil akal sehat yang masih tersisa di benaknya, menghilang dalam sekejap. Membuatnya kehilangan seluruh kendali dirinya. Satu-satunya realita yang disadarinya hanyalah kebutuhan yang dirasakan tubuhnya. Kebutuhan yang hanya bisa dipenuhi oleh Ify. Rio menundukkan wajahnya. Ciuman Rio begitu lembut, tetapi mampu mengobrak-abrik emosi Ify.

            Seluruh tulang di tubuh Ify seakan lenyap begitu saja. Ciuman Rio semakin bergairah. Semakin menuntut. Ify merasakan hasratnya semakin meningkat. Seluruh tubuhnya bergetar dengan hasrat. Ia mencengkram rambut lelaki itu, membalas ciuman Rio, membuatnya lupa diri. Lupa akan segalanya. Ia terlena. Ia bahkan tidak menyadari tubuhnya telah terbaring di atas karpet. Sentuhan lembut jari-jari panjan dan kokoh Rio pada kulitnya yang terbuka dirasakan Ify bagaikan setrum yang mengalirkan listrik ke sekujur tubuhnya. Menuntut untuk dipuaskan. Dan… Rio memberikan apa yang diinginkannya. Memenuhi kebutuhannya, hingga membawanya ke puncak.

            Perlahan, deru napas mulai mereda. Peluh membasahi tubuh mereka. Rio bertumpu pada sikunya, menatap dalam ke mata Ify. Tatapan yang selalu membuat hati Ify seakan meleleh, dan wajahnya merona. Apa yang ditakutkan Ify sebelum berangkat ke pondok ini telah terjadi. Namun anehnya, tak ada sedikitpun penyesalan di hatinya. Justru sebaliknya, ia merasa amat bahagia. Dan, cara Rio menatapnya, membuatnya merasa begitu dicintai.

            “Kamu nggak apa-apa?” tanya Rio lembut. Ada kecemasan dalam suaranya.

            Ify menggeleng.

            Rio tersenyum lega. “I’m so addicted to you,” ia menundukkan kepalanya, mengecup kening Ify.

            Hati Ify seakan teremas. Baru saja tangannya terulur untuk membelai wajah tampan di hadapannya, tiba-tiba sebuah kesadaran memasuki benaknya. Menyentaknya. Di pondok ini, selain ada mereka berdua, juga ada…Kejora!

            Kening Rio berkerut saat Ify mendorongnya hingga menyingkir dari atas tubuh perempuan itu. Sambil bertumpu pada sikutnya, Ify mengangkat tubuhnya dari karpet dan duduk. Matanya berkeliaran panic. Ify menyambar sweater yang tergeletak tak jauh darinya, lalu mengenakannya dengan tergesa-gesa. Rio menjulurkan tangannya, hendak meraih kembali tubuh Ify. Namun perempuan itu mengelak dan bergegas bangkit.

            “Cepaat berpakaian, Yo,” bisik Ify. “Aku nggak mau Kejora melihat kita dalam keadaan seperti ini.”

            Rio mengerang perlahan. Ia terlalu hanyut hingga melupakan hal yang satu itu; putrinya ada di loteng. Tanpa membantah, Rio bangkit. Ia menyapukan pandangannya ke sekeliling mencari pakaian yang terserak. Dengan tergesa-gesa, ia menyambar pakaiannya, sementara matanya mengamati Ify yang bergerak panic memunguti pakaiannya.

            Melihat sweater yang dikenakan Ify hanya sebatas pangkal paha, hingga mempertontonkan kakinya yang jenjang, membuat Rio menelan ludah. Rio mengerang dalam hati saat ia menyadari hasratnya kembali muuncul. Tanpa memedulikan T-shirt yang masih tergeletak di bawah coffee table, Rio menghampiri Ify. Ia meraih tubuh perempuan itu, lalu mengangkatnya. Mata Ify membelalak lebar, mulutnya terbuka hendak mengajukan protes. Namun suaranya hanya bisa tertahan di tenggorok. Rio kembali menciumnya. Dalam sekejap, geletar samar kembali menjalari tubuh Ify. Ia merangkulkan tangannya ke pundak Rio, membalas ciumannya, dan membiarkan lelaki itu menggendongnya ke kamar.

 

**

            “Moom, where are you?”

            Teriakan Kejora menyentak Ify dari tidurnya. Matanya mengerjap bingung saat menyadari dirinya terbangun di tempat asing—ia terkesiap—dengan Rio di sisinya! Perlahan, ingatannya kembali pada apa yang mereka lakukan semalam. Dalam sekejap, geletar samar kembali merayapi seluruh tubuhnya. Sambil bertumpu pada sikunya, Ify bangkit dari tempat tidur. Namun, sebuah lengan kokoh meraih tubuhnya dan menariknya kembali ke tempat tidur.

            “Mau kemana sih?” Rio memeluk pinggang Ify. Ia menyurukkan kepalanya ke punggung perempuan itu, dan menciumnya, membuat Ify mendesah pelan dan lupa pada tujuannya.

            “Mommm..?”

            Tubuh Ify menegang seketika. Bagai tersambar petir kilat, Rio melepaskan pelukannya. Bagai kesetanan, keduanya bangkit dari tempat tidur dan mengenakan pakaian. Cepat, Ify menyisir rambutnya dengan tangan, lalu melangkah menghampiri pintu. Namun, cengkraman tangan Rio menahan langkahnya. Ify memutar tubuhnya dan melemparkan tatapan kesal. “Apa-apaan sih, Yo?” bisiknya, memprotes sekaligus panic. “Gimana kalau ketauan Rara?”

            Rio menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum geli. “Kamu pikir Rara nggak curiga kalau liat kamu keluar dari kamarku?” tanyanya kalem.

            Menyadari ucapan Rio benar, kepanikan Ify meningkat. “Terus, gimana dong?”

            “Biar aku yang keluar, dan mengalihkan perhatiannya.” Rio mendorong tubuh Ify hingga menyingkir dari depan pintu. Sambil melemparkan senyuman penuh arti, ia membuka pintu dan melangkah keluar.

            Begitu pintu kembali tertutup, Ify menempelkan telinganya pada daun pintu. Didengarnya Rio mengajak Kejora mencarinya di bawah. Setelah suara Rio dan Kejora terdengar menjauh, Ify membuka pintu, dan mengintip dari celahnya. Begitu ia yakin, situasinya sudah aman, tanpa membuang waktu ia berlari keluar, dan menyeberangi ruang duduk.

            Begitu selamat tiba di kamarnya, Ify menyandarkan punggungnya di balik pintu dan menghela napas lega. Dasar ia memang ceroboh. Untung Rio mencegahnya keluar. Ia tidak dapat membayangkan dampaknya pada Kejora jika mendapati ibunya keluar dari kamar lelaki itu. Walaupun ia tidak menyesali apa yang dilakukannya dengan Rio semalam, walaupun ia tidak pernah menyesali kehadiran Kejora, tetapi ia menyesali kejadian tiga belas tahun yang lalu. Ia tidak ingin Kejora meniru perbuatannya. Ia tidak ingin Kejora berpikiran bahwa apa yang dilakukan ibunya adalah hal yang biasa dan wajar. Ify telah berbuat kesalahan saat masih remaja, dan telah menjalani hidup yang penuh penderitaan setelahnya. Ia tidak ingin Kejora mengalami semua itu. Ia menginginkan kehidupan yang jauh lebih baik untuk Kejora. Ify menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah ke kamar mandi.

 

**

            Ketika ada kesempatan berbicara berdua dengan Rio, Ify menjelaskan bahwa ia tidak ingin mereka terlalu memperlihatkan kemesraan di depan Kejora. Dan ia bisa menghela napas lega karena Rio pun berpendapat sama. Bagi Rio, bagaimanapun, Kejora adalah putrinya. Putri yang amat ia sayangi dan begitu ingin dilindunginya. Ia pun ingin gadis kecil itu memiliki hidup yang lebih baik. Mendapatkan cinta seorang pemuda baik-baik—yang sudah pasti tidak seperti dirinya—dan menikah.

            Namun, walaupun kesepakatan telah tercipta, tetap saja sulit bagi Rio untuk menahan diri. Ia seakan tidak bisa berhenti curi pandang ke arah Ify. Tak bisa berhenti menyentuh perempuan itu—tentu saja setiap kali ia yakin Kejora tidak memperhatikan—seakan takut tidak bisa melihat Ify lagi. Seakan takut tidak dapat merakan kehadiran Ify di dekatnya. Seakan takut akan kehilangan perempuan itu. Bahkan, begitu berat baginya untuk meninggalkan rumah Ify, saat mengantarnya pulang.

            Rio mengeluh dalam hati. Seandainya ia bisa membereskan semua masalahnya dalam waktu singkat. Seandainya Ashilla tidak mempersulit perceraian ini, mungkin ia tidak perlu merasa tersiksa seperti ini. Kehilangan Ify selama tiga tahun sudah lebih dari cukup. Ia tidak ingin kehilangan lagi. Ia tidak sabar untuk segera memulai kehidupan baru dengan dua perempuan yang paling dicintainya itu. Kehidupan yang—ia yakin—akan membuatnya amat bahagia. Selamanya.

 

---

Ada yang tahan bacanya? :p ampun part ini frontal bangeeeeetttt-___-v

Hehe, maaf.-.

7 komentar: