Rabu, 09 Januari 2013

Promises Promises[09]:Mencintaimu Sekali Lagi

Promises Promises [09] : Mencintaimu Sekali Lagi

 

            Keinginan Ify untuk dapat segera berbicara dengan Rio terpaksa ditunda. Lelaki itu ternyata telah berangkat ke luar negeri saat Ify datang ke kediamannya. Ify mengetahuinya dari mandor yang mengerjakan ruang kerja Rio. Namun, mandor itu tidak tahu kemana dan berapa lama Rio pergi. Ify mendesah berat. Itu artinya ia harus lebih lama tinggal dalam kekhawatiran yang meresahkannya seperti beberapa hari terakhir ini. Ia tidak suka berada dalam posisi seperti ini—harus menunggu tanpa bisa berbuat apa-apa. Situasi seperti ini selalu membuatnya resah, dan akhirnya membuat ia kesal. Namun, di sisi lain, ia bisa tenang—untuk sementara waktu. Dengan kepergian Rio, lelaki itu tidak mungkin mendekati Kejora di belakangnya, sehingga ia pun dapat berbelanja dengan tenang. Memang, Rio bukan jenis klien yang bawel dan menyebalkan. Justru sebaliknya. Lelaki itu selalu menerima sarannya, dan tidak pernah mengkomplain perabot yang dipilih Ify—tidak peduli berapa pun harganya. Namun, keberadaan Rio di dekatnya selalu mengusik ketenangannya. Membuat jantungnya berdebar cepat dan membuatnya sulit berkonsentrasi. Apalagi setelah lelaki itu menciumnya.

 

**

            Hari ini Riko dan Goldi—yang biasa membantunya mengerjakan dekorasi rumah Rio—sedang diperbantukan ke kantor baru Pak Santoso. Karena tidak bayak yang bisa dikerjakan di kediaman Rio, Ify sengaja datang sore hari hanya untuk mengawasi pembuatan ruang kerja Rio dan menata beberapa art work pribadi Rio di ruang duduk lantai atas.

            Seluruh ruang di lantai atas telah selesai dikerjakan kecuali satu kamar tidur. Rio belum dapat memutuskan apakah ia ingin mendekornya sebagai guestroom atau membiarkannya kosong. Akhirnya Ify menggunakan kamar itu sebagai gudang sementara, untuk meletakkan perabot yang dipesannya. Ruang duduk yang mengusung konsep ruang modern dengan tampilan clean itu, kini tampak sangat nyaman. Pada satu bidang dinding telah terpasang niche berbentuk floral. Sebuah single sofa diletakkan berhadapan dengan drawer console simple—yang kini telah terisi audio pribadi Rio—dengan sebuah top table tanpa kaki diletakkan di antaranya. Ify juga telah menaruh satu set kursi santai dengan footstool di dekat jendela, dengan soft furnishing yang bersterktur.

            Ify meletakkan beberapa batang lilin putih besar di atas meja, dan sebuah tanaman hias dalam pot kecil. Setelah merapikan bantal-bantal sofa, ia meraih sebuah lukisan. Lebih tepatnya foto hitam-putih sebuah kota kuno—mungkin di Jerman atau kota di Eropa lainnya—yang telah dibingkai. Ify menyapukan pandangannya ke sekeliling ruangan, mengira-ngira di mana sebaikna ia menggantung foto tersebut. Akhirnya, pilihannya jatuh pada dinding di dekat tangga. Ify mengambil peralatan dari kotak perkakas yang ditinggalkan Riko, dan mulai memasang paku.

            “Kok sepi?”

            Suara berat yang amat dikenal Ify, memasuki gendang telinganya. Dan, membuat tubuhnya tegang seketika. Dengan cepat, Ify menoleh ke arah datangnya suara. Matanya melebar saat mendapati Rio telah berdiri di anak tangga teratas. Lelaki itu Nampak begitu gagah dalam jaket kulitnya, hingga—tanpa dikehendaki—membuat jantung Ify berdesir. Mata lelaki itu mentapu sekeliling ruangan, lalu kembali pada Ify.

            “Kamu sendirian?” Rio menyeret kopernya, menghampiri Ify.

            “Nggak,” Ify memalingkan wajahnya dari Rio, berusaha menutupo keresahannya. Ia meraih bingkai foto kemudian memasangnya di dinding. “Tuh, di bawah banyak orang.”

            “Iya aku tau.” Rio menghentikan langkahnya. “Tapi aku nggak liat anak buah kamu.”

            “Lagi diperbantukan di kantor baru Pak Santoso.” Ify melirik Rio dari sudut matanya. “Kamu nggak keberatan, kan?”

            Rio menggeleng. “Nggak apa-apa.” Ia menatap foto hitam-putih yang baru saja dipasang Ify. “Maaf, aku nggak kasih tau kamu kalau harus pergi selama seminggu.”

            “Nggak masalah.” Ify mundur beberapa langkah, lalu mengamati foto hitam-putih dari jarak yang tepat agar dapat mengetahui apakah foto itu tidak tergantung miring. “Kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau. Kamu yang membayarku,”

            Hening. Canggung.

            “Ada masalah selama aku pergi?” Rio mengalihkan percakapan.

            “Nggak.” Ify terdiam, saat teringat ada yang harus dibicarakannya dengan lelaki ini. Mengenai Kejora. Namun, kedatangan Rio yang begitu tiba-tiba telah mengacaukan file memorinya. Semya kalimat yang telah disusunnya sejak beberapa hari lalu, kini lenyap tak berbekas dari benaknya. “Kata Rara, dia ketemu kamu di mall?” Akhirnya hanya kalimat itu yang dapat keluar dari mulutnya.

            Tatapan Rio melembut saat teringat kejadian itu. “Iya.”

            “Kok bisa?” Ify kembali maju mendekati foto hitam-putih itu dan meluruskan posisinya, sementara otaknya berusaha keras mengingat kalimat-kalimat yang telah disusunnya—kalimat yang terkesan kasar. Yah, bagaimanapun lelaki ini kliennya. Dan, sahabat Cakka. Ia tidak ingin ucapannya menimbulkan masalah di kemudian hari,

            “Nggak sengaja.” Rio memperbaiki letak kacamatanya. “Aku lagi makan siang dengan pengacaraku, tiba-tiba aku liat dia.” Ia mendesah pelan. “Rara cantik sekali ya? Benar-benar mirip kamu.”

            Ify kembali mundur beberapa langkah, dan mengamati lukisan seakan tidak mendengar ucapan Rio. Otaknya masih belum bisa menemukan file yang dibutuhkannya, mungkin terselip di memorinya. Yang ia ingat hanyalah intinya—ia tidak ingin Rio menemui Kejora lagi.

            “Pintar, lagi.” Rio memasukkan kedua tangannya ke saku jaket.

            Akhirnya Ify memutuskan untuk mengatakannya apa adanya. Tidak perlu dengan cara halus seperti yang telah disusunnya—tetapi akhirnya malah terlupakan. “Aku nggak—“

            “Aku akan sangat bangga sekali,” Rio meneruskan ucapannya, tanpa menyadari ada yang ingin Ify katakan, “Kalau dia putriku.”

            Jantung Ify seakan berhenti berdetak. Kalimat yang akan diucapkannya kini hanya tergantung di ujung lidahnya. Tangannya gemetar. Apakah Rio sudah curiga bahwa Kejora ada putrinya? Rasa takut yang harus ditanggungnya sejak Rio bertemu Kejora, dan sudah diredamnya, kini meluap keluar dalam bentuk amarah. Tak terkendali. “Tapi Rara bukan anakmu, Yo,” sergahnya cepat. Ia menoleh pada Rio dan menatapnya dengan maata berkilat. “Bahkan, setetes darahmu pun nggak ada di tubuhnya. Anakmu udah mati-atas permintaanmu sendiri, ingat?” cerocosnya tanpa pikir panjang.

            Tubuh Rio membeku seketika. Ia menatap Ify dengan pandangan kosong. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba Ify jadi semarah ini. Yang dibicarakannya adalah Kejora, bukan masa lalu mereka. Namun, ucapan perempuan ini benar. Ia telah membunuh anaknya. Ia tidak akan menyangkal, apalagi memberi pembenaran. Namun, hatinya teramat nyeri saat perempuan ini mengingatkannya dengan cara seperti ini. Membuatnya amat terpukul. Tidak tahukah Ify, bahwa ia tidak pernah bisa melupakan peristiwa itu? Tidak mengertikah Ify bahwa selama ini ia tersiksa oleh rasa bersalahnya? Seandainya ia bisa memutar waktu, ia akan membatalkan kepergiannya ke Jerman dan menikahi perempuan ini.

            Ify menatap Rio dengan pandangan dingin. Dilihatnya lelaki itu menundukkan pandangannya, tetapi ia masish menangkap sirat luka di mata lelaki itu. Di luar kehendaknya, amarah mulai surut dari hatinya. Kini, ia menyesali ucapannya. Sejujurnya, bukan kalimat itu yang ingin diucapkannya pada Rio. Ia sama sekali tidak bermaksud menyinggung masa lalu. Sama sekali tidak berniat mengingatkan Rio pada kejadian itu.

            “Maafkan aku, Ify,” Rio mendongak. Menatap Ify dengan penuh sesal. “Aku tahu perbuatanku salah. Aku memang pengecut. Tapi, satu hal yang harus kamu tau, aku menyesal memintamu melakukan…,” tenggoroknya tercekat, “aborsi.” Begitu sulit baginya mengucapkan sepatah kata itu. Begitu menyakitkan. “Aku menyesal, Ify. Sangat menyesal.” Suaranya bergetar. “Seandainya aku bisa mengulang kembali semuanya…” ia mendesah sedih.

            Ify menatap Rio tanpa berkata-kata selama beberapa saat. Perasaannya kacau-balau mendengar ucapan Rio. Benarkah Rio menyesali perbuatannya? Ah, tidak mungkin. Rio pasti hanya mencari simpatinya saja. Ia sudah tidak dapat mempercayai Rio lagi. Ia tidak ingin. Sebaiknya ia meninggalkan kediaman Rio secepatnya, sebelum ia jatuh iba pada lelaki ini. Ia tidak ingin hatinya luluh mendengar ucapan Rio, dan akhirnya mengulangi kebodohannya lagi. Ia juga tidak ingin kembali kehilangan kendali, dan mengucapkan kata-kata yang akan memperburuk keadaan.

            Ify menarik napas dalam-dalam dengan suara datar. “Yah, sayang, penyesalan memang selalu datang terlambat, dan waktu nggak bisa diputar kembali. Apa yang udah hilang, nggak mungkin kembali.” Ia memutar tubuhnya, lalu menghampiri coffee table. “Udah nggak ada lagi yang bisa aku kerjakan hari ini.” Ia meraih tasnya, dan menyampirkannya di pundak.

            “Ify tunggu sebentar,” Rio berusaha mencegah kepergian Ify. “Masih ada yang ingin kukatakan.”

            “Aku rasa, semua udah jelas, Yo. Nggak ada lagi yang perlu dibicarakan.” Ify melangkah menuju tangga. “Selamat sore, Mario.”

            Rio menatap punggung Ify yang menuruni tangga dengan pandangan sedih. Nyeri di hatinya terasa semakin menjadi, hingga membuatnya sulit bernapas.

 

**

            “Mommy nggak serius kan?” Kejora menatap Ify dengan mata terbelalak lebar.

            Ify menghela napas berat, lalu menggeleng.

“Nggak mau ah, Mooom,” rengek Kejora. “Rara nggak mau liburan di rumah nenek. Nenek kan nggak sayang sama Rara.”

“Kata siapa nenek nggak sayang sama Rara?”

“Ya kata Rara.” Kejora cemberut. “Nenek kan selalu jutek gitu, kalo sama Rara.”

“Nenek kan memang begitu, Ra. Sama Mama juga begitu,” Ify membelai rambut putrinya. “Tapi nggak berarti nenek nggak sayang sama Mama, kan?”

Kejora duduk bersedekap dengan wajah cemberut.

“Memangnnya Rara nggak sayang sama nenek?” Ify membujuk. “Nenek udah tua dan tinggal sendirian, lho. Udah gitu, Rara kan udah lama nggak nengok nenek.”

            “Tapi rumah nenek kan sepi.”

            “Rumah kita juga sepi,” kilah Ify. “Rara kan punya teman disana. Siapa tuh namanya?” keningnya berkerut, berusaha mengingat nama gadis kecil seumuran Rara.

            “Neneng.”

            “Ooh iya, si Neneng. Nah, Rara kan biasanya main sama dia?” Ify menatap Kejora dengan penuh arti. “Lagian kalau Rara mau nemenin nenek selama liburan, nanti Mama beliin buku yang banyak untuk Rara.”

            Kejora mendongak secepat kilat, menatap Ify. Wajahnya tampak sedikit cerah mendengar janji ibunya. “Bener, Mom?”

            Ify menganggul. “Besok, setelah Mama pulang kerja, kita ke toko buku.”

            “Banyak itu berapa?” Kejora menatap Ify, penuh antisipasi.

            Ify tersenyum geli, “Lima..?” godanya.

            Kejora kembali cemberut. “Biasanya, jatah Rara untuk satu minggu dua buku.” Kejora membalik-balik majalah di pangkuannya dengan kesal. “Kalo udah capek-capek nemenin nenek selama dua minggu, terus cuma dapet bonus satu buku sih, nggak banget deh, Mom.”

            Ify memutar bola matanya. “Iya deh, kali ini Mama beliin sepuluh. Gimana? Jatah lima minggu tuh.”

            Mata Kejora berbinar. “OK! Deal!” Ia bangkit dari sofa, berdiri di hadapan Ify, lalu menjulurkan tangannya.

            Sambil tertawa geli, Ify menjabat tangan Kejora. “Deal.”

            Kejora berbalik dan melangkah riang ke kamarnya.

            Ify meraih mug dari atas meja, dan menyesap teh manisnya. Sejak awal tahun, Ify sudah membuat rencana liburan untuk Kejora. Ia ingin mengambil cuti, dan mengajak putrinya berlibur ke Bali. Namun ternyata, jadwalnya sangat padat, dan tidak bisa ditinggal walau hanya sementara. Rumah Rio belum selesai—akibat daftar permintaan Rio yang terus bertambah—ditambah lagi proyek besar dari Pak Santoso, dan satu proyek lagi yang harus ditanganinya. Ify tidak ingin membiarkan Kejora melewatkan libur sekolahnya di rumah saja. Ia khawatir peristiwa itu terjadi lagi. Ia tidak ingin Kejora bertemu Rio di mall ataupun di tempat lainnya. Ia tidak ingin Kejora menjadi dekat dengan Rio. Namun sejujurnya, ia juga tidak ingin mengirim Kejora ke rumah ibunya. Ify menghela napas panjang, dan menyandarkan punggungnya.

            Walaupun Ify selalu menyangkal, ia tahu pasti apa yang dikatakan Kejora benar. Ibunya tidak pernah menyayangi Kejora. Bahkan, hingga detik ini beliau masih menyalahkan Ify sebagai penyebab kematian ayahnya. Ify mendesah sedih. Ya, memang dirinya yang telah membuat ayahnya meninggal. Ayahnya terkena serangan jantung pada saat ia memberi tahu  bahwa dirinya hamil dan lelaki yang seharusnya bertanggung jawab sudah berangkah ke Jerman. Dan, beberapa hari kemudian, beliau meninggal dunia di rumah sakit. Sepeninggal ayah Ify, ibunya berusaha membujuknya untuk menggugurkan kandungannya, tetapi ia tetap berkeras mempertahankannya. Akhirnya—demi menghindari pergunjingan tetangga—ibunya menjual rumah dan mereka pundah ke sebuah desa kecil di Sukabumi.

            Di tempat tinggal yang baru, ibunya mengarang cerita demi menghindari gunjingan dan hinaan tetangga baru mereka. Beliau mengatakan kepada semua tetangga bahwa suami Ify baru saja meningga;, dan biaya hidup yang semakin tinggi di Jakarta telah membuat peninggalan suaminya cepat habis. Itu sebabnya mereka memutuskan untuk pindah ke Sukabumi. Ify sama sekali tidak berusaha membantah semua kebohongan yang diucapkan ibunya. Ia bahkan membiarkan ibunya menceritakan plot yang sama pada Kejora. Bagaimanapun, kebodohannya telah banyak membuat orang tuanya menderita. Semua memang karena kesalahannya. Ia memang amat menyesali kebodohannya, tetapi ia tidak pernah menyesali keputusannya untuk mempertahankan Kejora. Tidak secuilpun!

 

Ngaret kebangetan kan? Hore._. makasih buat yang mau nunggu, makasih…. J

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar