Promises Promises [09] : Mencintaimu Sekali Lagi
Keinginan Ify untuk dapat segera berbicara dengan Rio terpaksa ditunda.
Lelaki itu ternyata telah berangkat ke luar negeri saat Ify datang ke
kediamannya. Ify mengetahuinya dari mandor yang mengerjakan ruang kerja
Rio. Namun, mandor itu tidak tahu kemana dan berapa lama Rio pergi. Ify
mendesah berat. Itu artinya ia harus lebih lama tinggal dalam
kekhawatiran yang meresahkannya seperti beberapa hari terakhir ini. Ia
tidak suka berada dalam posisi seperti ini—harus menunggu tanpa bisa
berbuat apa-apa. Situasi seperti ini selalu membuatnya resah, dan
akhirnya membuat ia kesal. Namun, di sisi lain, ia bisa tenang—untuk
sementara waktu. Dengan kepergian Rio, lelaki itu tidak mungkin
mendekati Kejora di belakangnya, sehingga ia pun dapat berbelanja dengan
tenang. Memang, Rio bukan jenis klien yang bawel dan menyebalkan.
Justru sebaliknya. Lelaki itu selalu menerima sarannya, dan tidak pernah
mengkomplain perabot yang dipilih Ify—tidak peduli berapa pun harganya.
Namun, keberadaan Rio di dekatnya selalu mengusik ketenangannya.
Membuat jantungnya berdebar cepat dan membuatnya sulit berkonsentrasi.
Apalagi setelah lelaki itu menciumnya.
**
Hari ini Riko dan Goldi—yang biasa membantunya mengerjakan dekorasi
rumah Rio—sedang diperbantukan ke kantor baru Pak Santoso. Karena tidak
bayak yang bisa dikerjakan di kediaman Rio, Ify sengaja datang sore hari
hanya untuk mengawasi pembuatan ruang kerja Rio dan menata beberapa art work pribadi Rio di ruang duduk lantai atas.
Seluruh ruang di lantai atas telah selesai dikerjakan kecuali satu
kamar tidur. Rio belum dapat memutuskan apakah ia ingin mendekornya
sebagai guestroom atau membiarkannya kosong. Akhirnya Ify
menggunakan kamar itu sebagai gudang sementara, untuk meletakkan perabot
yang dipesannya. Ruang duduk yang mengusung konsep ruang modern dengan
tampilan clean itu, kini tampak sangat nyaman. Pada satu bidang dinding telah terpasang niche berbentuk floral. Sebuah single sofa diletakkan berhadapan dengan drawer console
simple—yang kini telah terisi audio pribadi Rio—dengan sebuah top table
tanpa kaki diletakkan di antaranya. Ify juga telah menaruh satu set
kursi santai dengan footstool di dekat jendela, dengan soft furnishing yang bersterktur.
Ify meletakkan beberapa batang lilin putih besar di atas meja, dan
sebuah tanaman hias dalam pot kecil. Setelah merapikan bantal-bantal
sofa, ia meraih sebuah lukisan. Lebih tepatnya foto hitam-putih sebuah
kota kuno—mungkin di Jerman atau kota di Eropa lainnya—yang telah
dibingkai. Ify menyapukan pandangannya ke sekeliling ruangan,
mengira-ngira di mana sebaikna ia menggantung foto tersebut. Akhirnya,
pilihannya jatuh pada dinding di dekat tangga. Ify mengambil peralatan
dari kotak perkakas yang ditinggalkan Riko, dan mulai memasang paku.
“Kok sepi?”
Suara berat yang amat dikenal Ify, memasuki gendang telinganya. Dan,
membuat tubuhnya tegang seketika. Dengan cepat, Ify menoleh ke arah
datangnya suara. Matanya melebar saat mendapati Rio telah berdiri di
anak tangga teratas. Lelaki itu Nampak begitu gagah dalam jaket
kulitnya, hingga—tanpa dikehendaki—membuat jantung Ify berdesir. Mata
lelaki itu mentapu sekeliling ruangan, lalu kembali pada Ify.
“Kamu sendirian?” Rio menyeret kopernya, menghampiri Ify.
“Nggak,” Ify memalingkan wajahnya dari Rio, berusaha menutupo
keresahannya. Ia meraih bingkai foto kemudian memasangnya di dinding.
“Tuh, di bawah banyak orang.”
“Iya aku tau.” Rio menghentikan langkahnya. “Tapi aku nggak liat anak buah kamu.”
“Lagi diperbantukan di kantor baru Pak Santoso.” Ify melirik Rio dari sudut matanya. “Kamu nggak keberatan, kan?”
Rio menggeleng. “Nggak apa-apa.” Ia menatap foto hitam-putih yang baru
saja dipasang Ify. “Maaf, aku nggak kasih tau kamu kalau harus pergi
selama seminggu.”
“Nggak masalah.” Ify mundur
beberapa langkah, lalu mengamati foto hitam-putih dari jarak yang tepat
agar dapat mengetahui apakah foto itu tidak tergantung miring. “Kamu
bebas melakukan apapun yang kamu mau. Kamu yang membayarku,”
Hening. Canggung.
“Ada masalah selama aku pergi?” Rio mengalihkan percakapan.
“Nggak.” Ify terdiam, saat teringat ada yang harus dibicarakannya
dengan lelaki ini. Mengenai Kejora. Namun, kedatangan Rio yang begitu
tiba-tiba telah mengacaukan file memorinya. Semya kalimat yang telah
disusunnya sejak beberapa hari lalu, kini lenyap tak berbekas dari
benaknya. “Kata Rara, dia ketemu kamu di mall?” Akhirnya hanya kalimat itu yang dapat keluar dari mulutnya.
Tatapan Rio melembut saat teringat kejadian itu. “Iya.”
“Kok bisa?” Ify kembali maju mendekati foto hitam-putih itu dan
meluruskan posisinya, sementara otaknya berusaha keras mengingat
kalimat-kalimat yang telah disusunnya—kalimat yang terkesan kasar. Yah,
bagaimanapun lelaki ini kliennya. Dan, sahabat Cakka. Ia tidak ingin
ucapannya menimbulkan masalah di kemudian hari,
“Nggak sengaja.” Rio memperbaiki letak kacamatanya. “Aku lagi makan
siang dengan pengacaraku, tiba-tiba aku liat dia.” Ia mendesah pelan.
“Rara cantik sekali ya? Benar-benar mirip kamu.”
Ify kembali mundur beberapa langkah, dan mengamati lukisan seakan tidak
mendengar ucapan Rio. Otaknya masih belum bisa menemukan file yang
dibutuhkannya, mungkin terselip di memorinya. Yang ia ingat hanyalah
intinya—ia tidak ingin Rio menemui Kejora lagi.
“Pintar, lagi.” Rio memasukkan kedua tangannya ke saku jaket.
Akhirnya Ify memutuskan untuk mengatakannya apa adanya. Tidak perlu
dengan cara halus seperti yang telah disusunnya—tetapi akhirnya malah
terlupakan. “Aku nggak—“
“Aku akan sangat bangga
sekali,” Rio meneruskan ucapannya, tanpa menyadari ada yang ingin Ify
katakan, “Kalau dia putriku.”
Jantung Ify seakan
berhenti berdetak. Kalimat yang akan diucapkannya kini hanya tergantung
di ujung lidahnya. Tangannya gemetar. Apakah Rio sudah curiga bahwa
Kejora ada putrinya? Rasa takut yang harus ditanggungnya sejak Rio
bertemu Kejora, dan sudah diredamnya, kini meluap keluar dalam bentuk
amarah. Tak terkendali. “Tapi Rara bukan anakmu, Yo,” sergahnya cepat.
Ia menoleh pada Rio dan menatapnya dengan maata berkilat. “Bahkan,
setetes darahmu pun nggak ada di tubuhnya. Anakmu udah mati-atas
permintaanmu sendiri, ingat?” cerocosnya tanpa pikir panjang.
Tubuh Rio membeku seketika. Ia menatap Ify dengan pandangan kosong. Ia
tidak mengerti mengapa tiba-tiba Ify jadi semarah ini. Yang
dibicarakannya adalah Kejora, bukan masa lalu mereka. Namun, ucapan
perempuan ini benar. Ia telah membunuh anaknya. Ia tidak akan
menyangkal, apalagi memberi pembenaran. Namun, hatinya teramat nyeri
saat perempuan ini mengingatkannya dengan cara seperti ini. Membuatnya
amat terpukul. Tidak tahukah Ify, bahwa ia tidak pernah bisa melupakan
peristiwa itu? Tidak mengertikah Ify bahwa selama ini ia tersiksa oleh
rasa bersalahnya? Seandainya ia bisa memutar waktu, ia akan membatalkan
kepergiannya ke Jerman dan menikahi perempuan ini.
Ify menatap Rio dengan pandangan dingin. Dilihatnya lelaki itu
menundukkan pandangannya, tetapi ia masish menangkap sirat luka di mata
lelaki itu. Di luar kehendaknya, amarah mulai surut dari hatinya. Kini,
ia menyesali ucapannya. Sejujurnya, bukan kalimat itu yang ingin
diucapkannya pada Rio. Ia sama sekali tidak bermaksud menyinggung masa
lalu. Sama sekali tidak berniat mengingatkan Rio pada kejadian itu.
“Maafkan aku, Ify,” Rio mendongak. Menatap Ify dengan penuh sesal. “Aku
tahu perbuatanku salah. Aku memang pengecut. Tapi, satu hal yang harus
kamu tau, aku menyesal memintamu melakukan…,” tenggoroknya tercekat,
“aborsi.” Begitu sulit baginya mengucapkan sepatah kata itu. Begitu
menyakitkan. “Aku menyesal, Ify. Sangat menyesal.” Suaranya bergetar.
“Seandainya aku bisa mengulang kembali semuanya…” ia mendesah sedih.
Ify menatap Rio tanpa berkata-kata selama beberapa saat. Perasaannya
kacau-balau mendengar ucapan Rio. Benarkah Rio menyesali perbuatannya?
Ah, tidak mungkin. Rio pasti hanya mencari simpatinya saja. Ia sudah
tidak dapat mempercayai Rio lagi. Ia tidak ingin. Sebaiknya ia
meninggalkan kediaman Rio secepatnya, sebelum ia jatuh iba pada lelaki
ini. Ia tidak ingin hatinya luluh mendengar ucapan Rio, dan akhirnya
mengulangi kebodohannya lagi. Ia juga tidak ingin kembali kehilangan
kendali, dan mengucapkan kata-kata yang akan memperburuk keadaan.
Ify menarik napas dalam-dalam dengan suara datar. “Yah, sayang,
penyesalan memang selalu datang terlambat, dan waktu nggak bisa diputar
kembali. Apa yang udah hilang, nggak mungkin kembali.” Ia memutar
tubuhnya, lalu menghampiri coffee table. “Udah nggak ada lagi yang bisa aku kerjakan hari ini.” Ia meraih tasnya, dan menyampirkannya di pundak.
“Ify tunggu sebentar,” Rio berusaha mencegah kepergian Ify. “Masih ada yang ingin kukatakan.”
“Aku rasa, semua udah jelas, Yo. Nggak ada lagi yang perlu
dibicarakan.” Ify melangkah menuju tangga. “Selamat sore, Mario.”
Rio menatap punggung Ify yang menuruni tangga dengan pandangan sedih.
Nyeri di hatinya terasa semakin menjadi, hingga membuatnya sulit
bernapas.
**
“Mommy nggak serius kan?” Kejora menatap Ify dengan mata terbelalak lebar.
Ify menghela napas berat, lalu menggeleng.
“Nggak mau ah, Mooom,” rengek Kejora. “Rara nggak mau liburan di rumah nenek. Nenek kan nggak sayang sama Rara.”
“Kata siapa nenek nggak sayang sama Rara?”
“Ya kata Rara.” Kejora cemberut. “Nenek kan selalu jutek gitu, kalo sama Rara.”
“Nenek
kan memang begitu, Ra. Sama Mama juga begitu,” Ify membelai rambut
putrinya. “Tapi nggak berarti nenek nggak sayang sama Mama, kan?”
Kejora duduk bersedekap dengan wajah cemberut.
“Memangnnya
Rara nggak sayang sama nenek?” Ify membujuk. “Nenek udah tua dan
tinggal sendirian, lho. Udah gitu, Rara kan udah lama nggak nengok
nenek.”
“Tapi rumah nenek kan sepi.”
“Rumah kita juga sepi,” kilah Ify. “Rara kan punya teman disana. Siapa
tuh namanya?” keningnya berkerut, berusaha mengingat nama gadis kecil
seumuran Rara.
“Neneng.”
“Ooh iya, si Neneng. Nah, Rara kan biasanya main sama dia?” Ify menatap
Kejora dengan penuh arti. “Lagian kalau Rara mau nemenin nenek selama
liburan, nanti Mama beliin buku yang banyak untuk Rara.”
Kejora mendongak secepat kilat, menatap Ify. Wajahnya tampak sedikit cerah mendengar janji ibunya. “Bener, Mom?”
Ify menganggul. “Besok, setelah Mama pulang kerja, kita ke toko buku.”
“Banyak itu berapa?” Kejora menatap Ify, penuh antisipasi.
Ify tersenyum geli, “Lima..?” godanya.
Kejora kembali cemberut. “Biasanya, jatah Rara untuk satu minggu dua
buku.” Kejora membalik-balik majalah di pangkuannya dengan kesal. “Kalo
udah capek-capek nemenin nenek selama dua minggu, terus cuma dapet bonus
satu buku sih, nggak banget deh, Mom.”
Ify memutar bola matanya. “Iya deh, kali ini Mama beliin sepuluh. Gimana? Jatah lima minggu tuh.”
Mata Kejora berbinar. “OK! Deal!” Ia bangkit dari sofa, berdiri di hadapan Ify, lalu menjulurkan tangannya.
Sambil tertawa geli, Ify menjabat tangan Kejora. “Deal.”
Kejora berbalik dan melangkah riang ke kamarnya.
Ify meraih mug
dari atas meja, dan menyesap teh manisnya. Sejak awal tahun, Ify sudah
membuat rencana liburan untuk Kejora. Ia ingin mengambil cuti, dan
mengajak putrinya berlibur ke Bali. Namun ternyata, jadwalnya sangat
padat, dan tidak bisa ditinggal walau hanya sementara. Rumah Rio belum
selesai—akibat daftar permintaan Rio yang terus bertambah—ditambah lagi
proyek besar dari Pak Santoso, dan satu proyek lagi yang harus
ditanganinya. Ify tidak ingin membiarkan Kejora melewatkan libur
sekolahnya di rumah saja. Ia khawatir peristiwa itu terjadi lagi. Ia
tidak ingin Kejora bertemu Rio di mall ataupun di tempat
lainnya. Ia tidak ingin Kejora menjadi dekat dengan Rio. Namun
sejujurnya, ia juga tidak ingin mengirim Kejora ke rumah ibunya. Ify
menghela napas panjang, dan menyandarkan punggungnya.
Walaupun Ify selalu menyangkal, ia tahu pasti apa yang dikatakan Kejora
benar. Ibunya tidak pernah menyayangi Kejora. Bahkan, hingga detik ini
beliau masih menyalahkan Ify sebagai penyebab kematian ayahnya. Ify
mendesah sedih. Ya, memang dirinya yang telah membuat ayahnya meninggal.
Ayahnya terkena serangan jantung pada saat ia memberi tahu bahwa
dirinya hamil dan lelaki yang seharusnya bertanggung jawab sudah
berangkah ke Jerman. Dan, beberapa hari kemudian, beliau meninggal dunia
di rumah sakit. Sepeninggal ayah Ify, ibunya berusaha membujuknya untuk
menggugurkan kandungannya, tetapi ia tetap berkeras mempertahankannya.
Akhirnya—demi menghindari pergunjingan tetangga—ibunya menjual rumah dan
mereka pundah ke sebuah desa kecil di Sukabumi.
Di tempat tinggal yang baru, ibunya mengarang cerita demi menghindari
gunjingan dan hinaan tetangga baru mereka. Beliau mengatakan kepada
semua tetangga bahwa suami Ify baru saja meningga;, dan biaya hidup yang
semakin tinggi di Jakarta telah membuat peninggalan suaminya cepat
habis. Itu sebabnya mereka memutuskan untuk pindah ke Sukabumi. Ify sama
sekali tidak berusaha membantah semua kebohongan yang diucapkan ibunya.
Ia bahkan membiarkan ibunya menceritakan plot yang sama pada Kejora.
Bagaimanapun, kebodohannya telah banyak membuat orang tuanya menderita.
Semua memang karena kesalahannya. Ia memang amat menyesali kebodohannya,
tetapi ia tidak pernah menyesali keputusannya untuk mempertahankan
Kejora. Tidak secuilpun!
Ngaret kebangetan kan? Hore._. makasih buat yang mau nunggu, makasih…. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar