Promises Promises [08] : Mencintaimu Sekali Lagi
Rio meletakkan gelasnya, menyeka bibirnya dengan serbet, dan menghela
napas berat. Urusan perceraian dengan Ashilla ini selalu menyedot
seluruh energinya. Begitu melelahkan. Tanpa semangat ia melirik jam
tangannya. “Saya harus kembali ke kantor,” gumamnya pada lelaki
pertengahan tiga puluh yang duduk di hadapannya—pengacarannya.
Lelaki itu mengangguk.
Rio memanggil seorang pelayan yang kebetulan lewat di dekatnya, dan
meminta bon pembayaran. “Kalau ada apa-apa, tolong beri tahu saya.”
“Tentu, Pak.”
Rio menyandarkan punggungnya, matanya menatap kosong keluar jendela di sisinya. Siang ini mall
tampak cukup ramai dengan pengunjung. Rio mengamati tiga
remaja—tampaknya mahasiswa—yang melewati jendela di sisi mejanya sambil
berbicara, dengan wajah serius. Sementara, pemandangan kontras tampak di
belakang mereka; empat gadis remaja tanggung dengan seragam sekolah,
sedang mengobrol sambil cekikikan. Rio hendak mengalihkan pandangannya
pada pelayan yang menghampiri mejanya, namun ia segera membatalkan
niatnya. Ia baru menyadari bahwa satu dari empat gadis remaja itu cukup
familiar. Matanya terbelalak. Kejora!
Tak ingin
menyia-nyiakan kesempatan yang datang begitu saja, Rio segera
menandatangani slip pembayaran, meminta maaf pada pengacaranya karena ia
harus secepatnya pergi, lalu setengah berlari menuju pintu. Sama sekali
tidak memedulikan tatapan bingung pengacaranya.
Langkah kaki Rio terhenti di depan pintu masuk restotan. Matanya
berkeliaran panik mencari Kejora. Ia tidak ingin kehilangan jejak gadis
kecil itu. Ini adalah momen yang paling tepat untuk mencari tahu tentang
perasaan aneh yang beberapa waktu terakhir terus mengusiknya. Momen
yang akan membuatnya selamat dari kemarahan Ify—kalau perempuan itu tahu
bahwa ia bertemu dengan Kejora. Toh, Ify tidak bisa mencegah sebuah
pertemuan yang tidak disengaja seperti saat ini. Rio melanjutkan
langkahnya, sementara matanya tak berhenti mencari Kejora dan
teman-temannya. Di saat rasa putus asa mulai merayapinya, matanya
menangkap sosok gadis kecil itu berdiri di depan sebuah gerai, sedang
mengamati sambil menunjuk pakaian remaja yang terpajang di etalase. Rio
mempercepat langkahnya. Ia tidak boleh kehilangan jejak Kejora lagi.
Belum tentu keberuntungan akan kembali menghampirinya seperti hari ini.
Rio menghentikan langkahnya di belakang gerombolan gadis remaja itu. “Hai, Kejora.”
Gadis kecil itu menoleh cepat. Rambutnya yang dikuncir dua melayang di
udara saat ia memalingkan kepala. Rio tertegun saat mendapati mata
Kejora menyipit, menatapnya curiga. Bentuk mata gadis itu benar-benar
sama dengan bentuk matanya. Namun, jantung Rio mencelos kecewa saat
mendapati warna mata Kejora yang hitam—mata Ify.
“Siapa, Ra?” salah seorang teman Kejora menyikut gadis kecil itu pelan.
Pertanyaan yang diajukan gadis berbuntut kuda itu, menyentak Rio dari
ketertegunannya. “Kejora masih ingat Om?” tanyanya sambil tersenyum
ramah. “Om, teman mama Kejora…yang waktu Minggu pagi dateng ke rumah
Kejora.”
Mata Kejora melebar. Dari cara gadis kecil itu menatapnya, Rio dapat melihat Kejora ingat padanya. “Ingat kan?”
Kejora mengangguk perlahan.
“Sayang, kita belum sempat kenalan ya.” Rio mengulurkan tangannya. “Rio.”
Ragu, Kejora mengulurkan tangan, menjabat tangan Rio. “Rara.”
Agar tidak membuat gadis remaja lainnya merasa di abaikan, Rio pun
memperkenalkan diri kepada mereka. Ketiga gadis remaja itu
memperkenalkan diri dengan ragu dan sedikit curiga. “Baru pulang sekolah
ya?”
Kejora dan ketiga temannya mengangguk.
“Udah makan siang?”
Keempat remaja itu saling lirik, lalu menggeleng perlahan. Malu-malu.
“Belom,” gumam Kejora, mewakili ketiga temannya.
“Mau Om traktir makan pizza?”
Dalam sekejap, keraguan dan kecurigaan pada keempat pasang mata di
hadapannya lenyap, dan berganti dengan pandangan berbinar. Diam-diam Rio
menghela napas lega. Ternyata tidak sulit menaklukan hati keempat gadis
remaja ini. Seulas senyum mengembang di wajah Rio saat membawa keempat
gadis remaja itu ke restoran pizza.
Rio sama
sekali tidak terkejut saat mendapati dirinya tidak terganggu dengan
celoteh riang keempat gadis remaja itu. Justru ia merasa nyaman. Dan,
tampaknya, keempat gadis remaja itu pun merasa nyaman berada di
dekatnya. Sepanjang makan siang, ada saja yang mereka obrolkan dengan
Rio. Namun, meski telinganya menangkap apa yang mereka bicarakan, Rio
tidak dapat mencegah keinginannya untuk mengamati Kejora yang duduk di
hadapannya. Ia ingin dapat menyelami perasaan aneh yang tidak mau
berhenti mengusiknya ini.
“Om udah lama kenal sama Mommy?” tanya Kejora dengan mulut penuh.
Suara Kejora membuyarkan lamunan Rio. “Udah lama, Ra. Sejak SMA.”
Sudut bibir Kejora terangkat. “Dulu Om pacar Mommy, ya?” godanya.
Selama beberapa saat Rio tidak bisa berkata-kata. Ia menatap Kejora
dengan alis terangkat. Rio tidak mengerti, mengapa wajahnya terasa
menghangat hanya karena digoda seorang anak kecil seperti ini. Namun,
itulah yang terjadi. Rio memperbaiki letak kacamatanya, dengan salah
tingkah. “Rara sendiri punya pacar?” Ia mengalihkan percakapan dari
dirinya.
Ketiga temannya terkikik geli mendengar pertanyaan Rio.
“Sok jual mahal dia, Om,” celetuk gadis berbando pink.
“Iya, padahal yang naksir dia itu si Deva,” timpal gadis berbuntut kuda dengan mulut penuh.
Kejora melempar tatapan kesal pada temannya itu.
“Memangnya kenapa, Ra?” tanya Rio penasaran.
Kejora memutar bola matanya. “Iiih, yang bener aja. Anak mami gitu?” Ia bergidik.
“Tapi kan cakep, Ra,” celetuk si rambut lurus berponi. “Cowok palling keren di sekolah gitu lo!”
“Keren sih keren, tapi kalo ke mana-mana dianter nyokap atau sopir,
padahal rumahnya deket banget dari sekolah.” Kejora kembali bergidik.
“Iiih, nggak banget deh!” Ia mengambil botol saus dan menuangkannya di
pinggir piring. “Itu namanya manja. Nggak cowok banget, gitu.” Ia
mencolek saus dengan pizza-nya, lalu kembali menggiggitnya. “Udah gitu
nggak suka baca,” gumamnya dengan mulut penuh. “Masa, Enid Blyton aja
dia nggak tau.”
Dengan susah payah Rio berusaha
menyembunyikan senyum gelinya. Namun—ia terkejut—sebersit rasa bangga
mengaliri hatinya, seakan gadis kecil di hadapannya ini adalah putrinya
sendiri. Kejora gadis yang cerdas, punya prinsip, dan—yang membuatnya
semakin senang—mempunyai hobi yang sama dengannya. “Om juga suka
novel-novel Enid Blyton.”
Kejora mendongak cepat. matanya melebar dan berbinar. “Om juga suka baca?”
Rio mengangguk. “Waktu Om masih seusia Rara, Om punya koleksi Enid Blyton. Komplit.”
Kejora menatap Rio dengan pandangan kagum. “Koleksi Rara sih belum lengkap,” binar di matanya meredup. “Abis Mommy
cuma ngasih jatah beli bukunya seminggu sekali. Itu pun cuma dua buku.
Padahal nggak cuma novel Enid Blyton aja yang Rara pengen punya. Rara
kan jadi bingung, mau milih novel Enid Blyton atau yang lain.”
Rio tersenyum geli. “Memangnya, masih banyak novel Enid Blyton yang Rara belum punya?”
“Hmm…” Kejora menatap langit-langit restoran, mencoba menghitung
koleksi Enid Blyton-nya. “Lumayan juga sih,” ia kembali menurunkan
pandangannya, kembali menatap Rio. “Paling sepuluh buku.”
Rio menatap Kejora dengan pandangan penuh arti. “Rara mau ngelengkapin koleksi Rara?”
“Ya, maulah, Om…” Kejora meraih gelas coke-nya, memasukkan sedotan ke mulut mungilnya, lalu menyedotnya.
“Kalo gitu abis makan, kita ke toko buku.”
Kejora nyaris tersedak mendengar tawaran tak terduga itu. Matanya
melebar, menatap Rio dengan pandangan tak percaya. Perlahan keterkejutan
di matanya berganti dengan bina yang begitu indah. Binar yang membuat
Rio seakan teremas melihatnya. Membuatnya jatuh cinta. “Bener, Om?”
tanyanya antusias.
Rio mengangguk, lalu terkekeh
geli melihat Kejora bertepuk tangan gembira. Ify memang tidak salah
memberikan nama pada gadis ini. Mata kecil gadis ini memang berbinar
bagaikan bintang. Rio menghela napas panjang. Seandainya saja Kejora
adalah putrinya, pasti ia akan menjadi ayah paling bangga dan paling
bahagia di dunia. Diam-diam Rio mendesah sedih. Sayang, di dalam tubuh
gadis kecil ini tidak mengalir darahnya.
Rio
menghela napas panjang. Tidak seperti yang diduganya, bertemu dengan
Kejora ternyata tidak dapat membuatnya mampu memahami perasaan aneh yang
terus mengusiknya. Perasaan it uterus bercokol di hatinya dan
membuatnya resah. Ternyata, tidak da yang bisa dilakukannya untuk
mengenyahkan perasaan itu, ataupun memahaminya.
**
Wajah Ify memucat. Matanya menatap kosong Kejora yang sedang berceloteh
riang sambil merobeki bungkus plastic novel-novel Enid Blyton barunya.
Asyik bercerita mengenai pertemuannya dengan Rio dan betapa baiknya
lelaki itu. Tubuh Ify bergetar. Tanpa di sadarinya, ia melepas mug yang
tengah di pegangnya.
PRANG!!!
Bunyi gelas pecah, menghentikan ocehan Kejora dalam sekejap. Gadis
kecil itu menoleh cepat ke arah Ify. Menatap ibunya dengan mata
terbelalak lebar. “Mom…?” Ia bangkiy, dan menghampiri Ify yang berdiri mematung di depan pintu kamarnya. “Mom, kenapa?”
Sentuhan Kejora pada lengannya, menyentak kesadaran Ify. Perlahan, ia
menunduk, menatap gadis kecil yang tengah menatapnya cemas itu. Dengan
susah payah, ia memaksa dirinya untuk tersenyum. “Nggak apa-apa.” Ia
menunduk, menatap pecahan mug di antara genangan teh dengan pandangan
kosong.
“Rara panggilin Mbak Yem ya, Mom,” Kejora melangkah hati-hati melewati pecahan mug, dan melesat pergi ke dapur, mencari pembantunya.
Perlahan Ify berbalik, dan melangkah menghampiri sofa berbentuk daybed.
Seakan kehabisan seluruh tenaganya, tubuhnya terjatuh lemas di atas
sofa itu. Ia menyandarkan punggungnya, dan meletakkan kedua tangannya
yang gemetar di pangkuan. Rasa panic dan takut membanjirinya. Apakah Rio
telah curiga? Itukah sebabnya lelaki itu berusaha mendekati Kejora?
Apakah yang selalu dikhawatirkannya selama ini akan segera menjadi
kenyataan?
Sejak bertemu kembali dengan Rio, Ify
selalu dihantui kecemasan. Ia takut Rio akan menemukan kebenaran bahwa
ia tidak menuruti keinginan lelaki itu. Tidak. Ia bukan takut Rio akan
murka karena ia memutuskan untuk mempertahankan Kejora. Yang ia takutkan
adalah kemungkinan bahwa Rio akan menuntut haknya sebagai ayah kandung
Kejora. Apalagi setelah ia tahu, betapa lelaki itu begitu mendambakan
anak—terutama seorang putri.
Ify tidak ingin
kehilangan Kejora. Bahkan tidak ingin membaginya dengan Rio. Baginya,
Rio telah kehilangan seluruh haknya atas Kejora di hari lelaki itu
menyuruhnya menggugurkan kandungan. Itu sebabnya ia selalu berusaha
menjaga jarak dengan Rio. Itu pula sebabnya ia tidak ingin membicarakan
kehidupan pribadinya dengan lelaki itu. Ia hanya berusaha melindungi
hartanya yang paling berharga. Bagian dari jiwanya. Namun, tampaknya ada
kekuatan lain yang bergerak di luar kehendaknya. Yang
memorak-porandakan rencananya. Tanpa diduga Rio bertemu dengan Kejora—di
belakangnya. Dan sepertinya…ia pun telah kembali jatuh cinta pada
lelaki itu. Atau mungkin masih mencintai lelaki itu?
Ify menyembunyikan wajah dalam telapak tangannya. Dulu, ia memang amat
membenci Rio. Namun perlahan, kebencian itu semakin memudar dari
hatinya. Ia bahkan tak pernah bisa melupakan lelaki itu. Bagaimana
mungkin ia sanggup terus membenci lelaki itu yang telah memberinya
putrid secantik dan secerdas Kejora? Bagaimana mungkin ia bisa
melenyapkan bayangan lelaki, yang sebagian dari dirinya, hidup di dalam
tubuh putri yang amat dicintainya? Setiap kali menatap Kejora, setiap
kali ia melihat putrinya tersenyum, ia seakan sedang berhadapan dengan
Rio. Kalaupun ada kebencian yang tersisa, bukan pada Rio, tetapi pada
sikap pengecut lelaki itu.
Ify mendesah resah.
Walaupun demikian, tidak berarti ia ingin Rio kembali masuk ke
kehidupannya. Ify mendesah resah. Ia tidak pernah menyesali keputusannya
untuk mempertahankan Kejora, walaupun ia harus menanggung semua
resikonya. Ia sama sekali tidak menyesal. Baginya, Kejora adalah
anugerah terbesar dalam hidupnya. Bintangnya. Mataharinya. Sumber
semangatnya. Sumber inspirasinya. Satu-satunya hal yang disesalinya
hanyalah pertemuannya kembali dengan Rio.
“Bu, minum dulu.”
Suara Iyem, pembantunya, membuyarkan lamunan Ify. Ia menjauhkan
tangannya dari wajahnya, dan menatap pembantunya sambil memaksakan
seulas senyum. “Makasih, Yem.” Ia meraih mug yang diletakkan Iyem di
atas meja, dan menyesap teh manis hangatnya perlahan.
“Ibu mau saya kerokin?”
Ify menggeleng lemah. “Nggak, Yem, aku nggak sakit kok.”
Iyem mengangguk lalu meninggalkan ruang duduk.
Ify mengalihkan pandangannya pada Kejora yang duduk tak jauh darinya.
Menatapnya dengan pandangan cemas. Entah telah berapa lama gadis kecil
itu duduk disana, mengamatinya.
“Mommy kenapa?” tanya Kejora pelan.
“Nggak apa-apa, Sayang. Hanya capek.” Sekali lagi Ify memaksa dirinya tersenyum. “Rara udah belajar?”
“Belom.”
“Belajar dulu gih. Besok Rara ada ulangan, kan?”
Perlahan dan ragu-ragu, Kejora bangkit dari sofa. Gadis itu menatap Ify beberapa saat, lalu melangkah ke kamarnya.
Ify kembali menyesap tehnya. Otaknya berputar keras mencari cara untuk
menjauhkan Kejora dan Rio—sebelum terlambat. Namun, ia tahu, ia tidak
bisa begitu saja melarang Kejora. Kejora terlalu cerdas, hingga ia harus
bisa memberikan alasan yang kuat untuk membuat gadis kecil itu menuruti
perintahnya. Dan, masalahnya menjadi semakin rumit karena tampaknya
Kejora sudah mulai menyukai—bahkan mengagumi—lelaki itu. Cukup
mengejutkan bagi Ify mengingat mereka baru dua kali bertemu. Kejora
bukan tipe anak yang cepat akrab dengan orang baru. Butuh waktu sedikit
lama untuk meluluhkan hatinya. Jantung Ify berdegup resah. Apakah ini
terjadi karena ada ikatan batin ayah dan anak di antara keduanya?
Ify menarik napas dalam-dalam. Satu-satunya cara hanyalah meminta Rio
yang menjauhi Kejora. Tapi, alasan apa yang akan diberikannya? Ify
mendesah resah. Entahlah, ia tidak tahu alasan apa yang tepat untuk ia
katakan kepada Rio. Mungkin ia dapat menemukan satu alasan yang cukup
bagus jika bertemu dengan lelaki itu besok. Ify meletakkan mug-nya di
atas meja. Ia lalu beranjak dari sofa dan melangkah menuju kamar
tidurnya.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar