Rabu, 09 Januari 2013

Promises Promises[08]:Mencintaimu Sekali Lagi

Promises Promises [08] : Mencintaimu Sekali Lagi

 

            Rio meletakkan gelasnya, menyeka bibirnya dengan serbet, dan menghela napas berat. Urusan perceraian dengan Ashilla ini selalu menyedot seluruh energinya. Begitu melelahkan. Tanpa semangat ia melirik jam tangannya. “Saya harus kembali ke kantor,” gumamnya pada lelaki pertengahan tiga puluh yang duduk di hadapannya—pengacarannya.

            Lelaki itu mengangguk.

            Rio memanggil seorang pelayan yang kebetulan lewat di dekatnya, dan meminta bon pembayaran. “Kalau ada apa-apa, tolong beri tahu saya.”

            “Tentu, Pak.”

            Rio menyandarkan punggungnya, matanya menatap kosong keluar jendela di sisinya. Siang ini mall tampak cukup ramai dengan pengunjung. Rio mengamati tiga remaja—tampaknya mahasiswa—yang melewati jendela di sisi mejanya sambil berbicara, dengan wajah serius. Sementara, pemandangan kontras tampak di belakang mereka; empat gadis remaja tanggung dengan seragam sekolah, sedang mengobrol sambil cekikikan. Rio hendak mengalihkan pandangannya pada pelayan yang menghampiri mejanya, namun ia segera membatalkan niatnya. Ia baru menyadari bahwa satu dari empat gadis remaja itu cukup familiar. Matanya terbelalak. Kejora!

            Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang datang begitu saja, Rio segera menandatangani slip pembayaran, meminta maaf pada pengacaranya karena ia harus secepatnya pergi, lalu setengah berlari menuju pintu. Sama sekali tidak memedulikan tatapan bingung pengacaranya.

            Langkah kaki Rio terhenti di depan pintu masuk restotan. Matanya berkeliaran panik mencari Kejora. Ia tidak ingin kehilangan jejak gadis kecil itu. Ini adalah momen yang paling tepat untuk mencari tahu tentang perasaan aneh yang beberapa waktu terakhir terus mengusiknya. Momen yang akan membuatnya selamat dari kemarahan Ify—kalau perempuan itu tahu bahwa ia bertemu dengan Kejora. Toh, Ify tidak bisa mencegah sebuah pertemuan yang tidak disengaja seperti saat ini. Rio melanjutkan langkahnya, sementara matanya tak berhenti mencari Kejora dan teman-temannya. Di saat rasa putus asa mulai merayapinya, matanya menangkap sosok gadis kecil itu berdiri di depan sebuah gerai, sedang mengamati sambil menunjuk pakaian remaja yang terpajang di etalase. Rio mempercepat langkahnya. Ia tidak boleh kehilangan jejak Kejora lagi. Belum tentu keberuntungan akan kembali menghampirinya seperti hari ini.

            Rio menghentikan langkahnya di belakang gerombolan gadis remaja itu. “Hai, Kejora.”

            Gadis kecil itu menoleh cepat. Rambutnya yang dikuncir dua melayang di udara saat ia memalingkan kepala. Rio tertegun saat mendapati mata Kejora menyipit, menatapnya curiga. Bentuk mata gadis itu benar-benar sama dengan bentuk matanya. Namun, jantung Rio mencelos kecewa saat mendapati warna mata Kejora yang hitam—mata Ify.

            “Siapa, Ra?” salah seorang teman Kejora menyikut gadis kecil itu pelan.

            Pertanyaan yang diajukan gadis berbuntut kuda itu, menyentak Rio dari ketertegunannya. “Kejora masih ingat Om?” tanyanya sambil tersenyum ramah. “Om, teman mama Kejora…yang waktu Minggu pagi dateng ke rumah Kejora.”

            Mata Kejora melebar. Dari cara gadis kecil itu menatapnya, Rio dapat melihat Kejora ingat padanya. “Ingat kan?”

            Kejora mengangguk perlahan.

            “Sayang, kita belum sempat kenalan ya.” Rio mengulurkan tangannya. “Rio.”

            Ragu, Kejora mengulurkan tangan, menjabat tangan Rio. “Rara.”

            Agar tidak membuat gadis remaja lainnya merasa di abaikan, Rio pun memperkenalkan diri kepada mereka. Ketiga gadis remaja itu memperkenalkan diri dengan ragu dan sedikit curiga. “Baru pulang sekolah ya?”

            Kejora dan ketiga temannya mengangguk.

            “Udah makan siang?”

            Keempat remaja itu saling lirik, lalu menggeleng perlahan. Malu-malu.

            “Belom,” gumam Kejora, mewakili ketiga temannya.

            “Mau Om traktir makan pizza?”

            Dalam sekejap, keraguan dan kecurigaan pada keempat pasang mata di hadapannya lenyap, dan berganti dengan pandangan berbinar. Diam-diam Rio menghela napas lega. Ternyata tidak sulit menaklukan hati keempat gadis remaja ini. Seulas senyum mengembang di wajah Rio saat membawa keempat gadis remaja itu ke restoran pizza.

            Rio sama sekali tidak terkejut saat mendapati dirinya tidak terganggu dengan celoteh riang keempat gadis remaja itu. Justru ia merasa nyaman. Dan, tampaknya, keempat gadis remaja itu pun merasa nyaman berada di dekatnya. Sepanjang makan siang, ada saja yang mereka obrolkan dengan Rio. Namun, meski telinganya menangkap apa yang mereka bicarakan, Rio tidak dapat mencegah keinginannya untuk mengamati Kejora yang duduk di hadapannya. Ia ingin dapat menyelami perasaan aneh yang tidak mau berhenti mengusiknya ini.

            “Om udah lama kenal sama Mommy?” tanya Kejora dengan mulut penuh.

            Suara Kejora membuyarkan lamunan Rio. “Udah lama, Ra. Sejak SMA.”

            Sudut bibir Kejora terangkat. “Dulu Om pacar Mommy, ya?” godanya.

            Selama beberapa saat Rio tidak bisa berkata-kata. Ia menatap Kejora dengan alis terangkat. Rio tidak mengerti, mengapa wajahnya terasa menghangat hanya karena digoda seorang anak kecil seperti ini. Namun, itulah yang terjadi. Rio memperbaiki letak kacamatanya, dengan salah tingkah. “Rara sendiri punya pacar?” Ia mengalihkan percakapan dari dirinya.

            Ketiga temannya terkikik geli mendengar pertanyaan Rio.

            “Sok jual mahal dia, Om,” celetuk gadis berbando pink.

            “Iya, padahal yang naksir dia itu si Deva,” timpal gadis berbuntut kuda dengan mulut penuh.

            Kejora melempar tatapan kesal pada temannya itu.

            “Memangnya kenapa, Ra?” tanya Rio penasaran.

            Kejora memutar bola matanya. “Iiih, yang bener aja. Anak mami gitu?” Ia bergidik.

            “Tapi kan cakep, Ra,” celetuk si rambut lurus berponi. “Cowok palling keren di sekolah gitu lo!”

            “Keren sih keren, tapi kalo ke mana-mana dianter nyokap atau sopir, padahal rumahnya deket banget dari sekolah.” Kejora kembali bergidik. “Iiih, nggak banget deh!” Ia mengambil botol saus dan menuangkannya di pinggir piring. “Itu namanya manja. Nggak cowok banget, gitu.” Ia mencolek saus dengan pizza-nya, lalu kembali menggiggitnya. “Udah gitu nggak suka baca,” gumamnya dengan mulut penuh. “Masa, Enid Blyton aja dia nggak tau.”

            Dengan susah payah Rio berusaha menyembunyikan senyum gelinya. Namun—ia terkejut—sebersit rasa bangga mengaliri hatinya, seakan gadis kecil di hadapannya ini adalah putrinya sendiri. Kejora gadis yang cerdas, punya prinsip, dan—yang membuatnya semakin senang—mempunyai hobi yang sama dengannya. “Om juga suka novel-novel Enid Blyton.”

            Kejora mendongak cepat. matanya melebar dan berbinar. “Om juga suka baca?”

            Rio mengangguk. “Waktu Om masih seusia Rara, Om punya koleksi Enid Blyton. Komplit.”

            Kejora menatap Rio dengan pandangan kagum. “Koleksi Rara sih belum lengkap,” binar di matanya meredup. “Abis Mommy cuma ngasih jatah beli bukunya seminggu sekali. Itu pun cuma dua buku. Padahal nggak cuma novel Enid Blyton aja yang Rara pengen punya. Rara kan jadi bingung, mau milih novel Enid Blyton atau yang lain.”

            Rio tersenyum geli. “Memangnya, masih banyak novel Enid Blyton yang Rara belum punya?”

            “Hmm…” Kejora menatap langit-langit restoran, mencoba menghitung koleksi Enid Blyton-nya. “Lumayan juga sih,” ia kembali menurunkan pandangannya, kembali menatap Rio. “Paling sepuluh buku.”

            Rio menatap Kejora dengan pandangan penuh arti. “Rara mau ngelengkapin koleksi Rara?”

            “Ya, maulah, Om…” Kejora meraih gelas coke-nya, memasukkan sedotan ke mulut mungilnya, lalu menyedotnya.

            “Kalo gitu abis makan, kita ke toko buku.”

            Kejora nyaris tersedak mendengar tawaran tak terduga itu. Matanya melebar, menatap Rio dengan pandangan tak percaya. Perlahan keterkejutan di matanya berganti dengan bina yang begitu indah. Binar yang membuat Rio seakan teremas melihatnya. Membuatnya jatuh cinta. “Bener, Om?” tanyanya antusias.

            Rio mengangguk, lalu terkekeh geli melihat Kejora bertepuk tangan gembira. Ify memang tidak salah memberikan nama pada gadis ini. Mata kecil gadis ini memang berbinar bagaikan bintang. Rio menghela napas panjang. Seandainya saja Kejora adalah putrinya, pasti ia akan menjadi ayah paling bangga dan paling bahagia di dunia. Diam-diam Rio mendesah sedih. Sayang, di dalam tubuh gadis kecil ini tidak mengalir darahnya.

            Rio menghela napas panjang. Tidak seperti yang diduganya, bertemu dengan Kejora ternyata tidak dapat membuatnya mampu memahami perasaan aneh yang terus mengusiknya. Perasaan it uterus bercokol di hatinya dan membuatnya resah. Ternyata, tidak da yang bisa dilakukannya untuk mengenyahkan perasaan itu, ataupun memahaminya.

 

**

            Wajah Ify memucat. Matanya menatap kosong Kejora yang sedang berceloteh riang sambil merobeki bungkus plastic novel-novel Enid Blyton barunya. Asyik bercerita mengenai pertemuannya dengan Rio dan betapa baiknya lelaki itu. Tubuh Ify bergetar. Tanpa di sadarinya, ia melepas mug yang tengah di pegangnya.

            PRANG!!!

            Bunyi gelas pecah, menghentikan ocehan Kejora dalam sekejap. Gadis kecil itu menoleh cepat ke arah Ify. Menatap ibunya dengan mata terbelalak lebar. “Mom…?” Ia bangkiy, dan menghampiri Ify yang berdiri mematung di depan pintu kamarnya. “Mom, kenapa?”

            Sentuhan Kejora pada lengannya, menyentak kesadaran Ify. Perlahan, ia menunduk, menatap gadis kecil yang tengah menatapnya cemas itu. Dengan susah payah, ia memaksa dirinya untuk tersenyum. “Nggak apa-apa.” Ia menunduk, menatap pecahan mug di antara genangan teh dengan pandangan kosong.

            “Rara panggilin Mbak Yem ya, Mom,” Kejora melangkah hati-hati melewati pecahan mug, dan melesat pergi ke dapur, mencari pembantunya.

            Perlahan Ify berbalik, dan melangkah menghampiri sofa berbentuk daybed. Seakan kehabisan seluruh tenaganya, tubuhnya terjatuh lemas di atas sofa itu. Ia menyandarkan punggungnya, dan meletakkan kedua tangannya yang gemetar di pangkuan. Rasa panic dan takut membanjirinya. Apakah Rio telah curiga? Itukah sebabnya lelaki itu berusaha mendekati Kejora? Apakah yang selalu dikhawatirkannya selama ini akan segera menjadi kenyataan?

            Sejak bertemu kembali dengan Rio, Ify selalu dihantui kecemasan. Ia takut Rio akan menemukan kebenaran bahwa ia tidak menuruti keinginan lelaki itu. Tidak. Ia bukan takut Rio akan murka karena ia memutuskan untuk mempertahankan Kejora. Yang ia takutkan adalah kemungkinan bahwa Rio akan menuntut haknya sebagai ayah kandung Kejora. Apalagi setelah ia tahu, betapa lelaki itu begitu mendambakan anak—terutama seorang putri.

            Ify tidak ingin kehilangan Kejora. Bahkan tidak ingin membaginya dengan Rio. Baginya, Rio telah kehilangan seluruh haknya atas Kejora di hari lelaki itu menyuruhnya menggugurkan kandungan. Itu sebabnya ia selalu berusaha menjaga jarak dengan Rio. Itu pula sebabnya ia tidak ingin membicarakan kehidupan pribadinya dengan lelaki itu. Ia hanya berusaha melindungi hartanya yang paling berharga. Bagian dari jiwanya. Namun, tampaknya ada kekuatan lain yang bergerak di luar kehendaknya. Yang memorak-porandakan rencananya. Tanpa diduga Rio bertemu dengan Kejora—di belakangnya. Dan sepertinya…ia pun telah kembali jatuh cinta pada lelaki itu. Atau mungkin masih mencintai lelaki itu?

            Ify menyembunyikan wajah dalam telapak tangannya. Dulu, ia memang amat membenci Rio. Namun perlahan, kebencian itu semakin memudar dari hatinya. Ia bahkan tak pernah bisa melupakan lelaki itu. Bagaimana mungkin ia sanggup terus membenci lelaki itu yang telah memberinya putrid secantik dan secerdas Kejora? Bagaimana mungkin ia bisa melenyapkan bayangan lelaki, yang sebagian dari dirinya, hidup di dalam tubuh putri yang amat dicintainya? Setiap kali menatap Kejora, setiap kali ia melihat putrinya tersenyum, ia seakan sedang berhadapan dengan Rio. Kalaupun ada kebencian yang tersisa, bukan pada Rio, tetapi pada sikap pengecut lelaki itu.

            Ify mendesah resah. Walaupun demikian, tidak berarti ia ingin Rio kembali masuk ke kehidupannya. Ify mendesah resah. Ia tidak pernah menyesali keputusannya untuk mempertahankan Kejora, walaupun ia harus menanggung semua resikonya. Ia sama sekali tidak menyesal. Baginya, Kejora adalah anugerah terbesar dalam hidupnya. Bintangnya. Mataharinya. Sumber semangatnya. Sumber inspirasinya. Satu-satunya hal yang disesalinya hanyalah pertemuannya kembali dengan Rio.

            “Bu, minum dulu.”

            Suara Iyem, pembantunya, membuyarkan lamunan Ify. Ia menjauhkan tangannya dari wajahnya, dan menatap pembantunya sambil memaksakan seulas senyum. “Makasih, Yem.” Ia meraih mug yang diletakkan Iyem di atas meja, dan menyesap teh manis hangatnya perlahan.

            “Ibu mau saya kerokin?”

            Ify menggeleng lemah. “Nggak, Yem, aku nggak sakit kok.”

            Iyem mengangguk lalu meninggalkan ruang duduk.

            Ify mengalihkan pandangannya pada Kejora yang duduk tak jauh darinya. Menatapnya dengan pandangan cemas. Entah telah berapa lama gadis kecil itu duduk disana, mengamatinya.

            “Mommy kenapa?” tanya Kejora pelan.

            “Nggak apa-apa, Sayang. Hanya capek.” Sekali lagi Ify memaksa dirinya tersenyum. “Rara udah belajar?”

            “Belom.”

            “Belajar dulu gih. Besok Rara ada ulangan, kan?”

            Perlahan dan ragu-ragu, Kejora bangkit dari sofa. Gadis itu menatap Ify beberapa saat, lalu melangkah ke kamarnya.

            Ify kembali menyesap tehnya. Otaknya berputar keras mencari cara untuk menjauhkan Kejora dan Rio—sebelum terlambat. Namun, ia tahu, ia tidak bisa begitu saja melarang Kejora. Kejora terlalu cerdas, hingga ia harus bisa memberikan alasan yang kuat untuk membuat gadis kecil itu menuruti perintahnya. Dan, masalahnya menjadi semakin rumit karena tampaknya Kejora sudah mulai menyukai—bahkan mengagumi—lelaki itu. Cukup mengejutkan bagi Ify mengingat mereka baru dua kali bertemu. Kejora bukan tipe anak yang cepat akrab dengan orang baru. Butuh waktu sedikit lama untuk meluluhkan hatinya. Jantung Ify berdegup resah. Apakah ini terjadi karena ada ikatan batin ayah dan anak di antara keduanya?

            Ify menarik napas dalam-dalam. Satu-satunya cara hanyalah meminta Rio yang menjauhi Kejora. Tapi, alasan apa yang akan diberikannya? Ify mendesah resah. Entahlah, ia tidak tahu alasan apa yang tepat untuk ia katakan kepada Rio. Mungkin ia dapat menemukan satu alasan yang cukup bagus jika bertemu dengan lelaki itu besok. Ify meletakkan mug-nya di atas meja. Ia lalu beranjak dari sofa dan melangkah menuju kamar tidurnya.

 

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar