Promises Promises [11 & 12a] : Mencintaimu Sekali Lagi
“Dari hasil lab yang saya terima, Kejora positif terkena DBD.” Dokter
Fauzi menghela napas berat. “Mudah-mudahan Kejora bisa melewati masa
kritisnya dalam waktu tiga hari.”
Ucapan Dokter
Fauzi membuat jantung Ify seakan berhenti berdetak. Bibirnya menipis.
Kedua tangan di pangkuannya gemetar. Amarah yang telah mulai mereda,
merayap kembali ke permukaan. Ibunya memang keterlaluan! Seharusnya
beliau langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres pada Kejora saat anak
itu mulai kehilangan nafsu makan, dan terus mengurung diri di kamar.
Kejora memang selalu begitu kalau sedang tidak enak badan. Setelah
Kejora tidak keluar-keluar dari kamar barulah ibunya mengecek keadaan
anak itu. Namun, setelah mengetahui Kejora demam tinggi, alih-alih
langsung membawanya kerumah sakit, ibunya hanya memberikan obat-obatan
tradisional. Alasannya; beliau menyangka Kejora hanya sakit
biasa—kecapekan atau masuk angin.
Ify mendengus
dalam hati. Mana mungkin tidak ada yang serius kalau demamnya sudah
tinggi? Setelah mendapati Kejora muntah darah, barulah ibunya
pontang-panting melarikan anak itu ke rumah sakit. Ya, Tuhan. Untung
saja ibunya masih memiliki sedikit akal dan hati untuk melakukannya. Ify
tidak tahu apakah ia bisa bertahan kalau sampai terjadi sesatu yang
buruk pada putrid kecilnya. Ify merasakan tangan Rio menggenggam
tangannya, dan meremasnya lembut. Memberinya kekuatan, sekaligus
membantunya mengendalikan kemarahan.
“Hemoglobinnya juga sangat rendah,” Dokter Fauzi menatap Ify dan Rio
dari atas kacamatanya. “Kejora butuh transfusi.”
“Lalu, kenapa belum ditransfusi, Dok?” Suara Ify bergetar.
“Saya sudah meminta suster mengecek persediaan darah di sini, tapi
maaf, golongan darah AB memang sangat sulit dicari.”
Ucapan Dokter Fauzi bagaikan petir yang menyambar tubuh Rio, wajah Rio
kehilangan warna. Matanya terbelia, menatap kosong Dokter Fauzi. Apakah
ia tidak salah dengar? Golongan darah Kejora AB? Sama dengan golongan
darahnya? Mungkinkah kecurigaannya selama ini terbukti benar? Mungkinkah
Kejora adalah…. Rio mengerang dalam hati. Betapa bodohnya ia, tidak
memperhatikan data pasien yang tergantung di kaki ranjang Kejora.
Bukankah disitu tertera umur pasien? Tetapi, kalau Kejora memang
putrinya, mengapa Ify merahasiakannya? Mengapa perempuan ini tega
mengucapkan kata-kata yang begitu menyakitkan hatinya beberapa waktu
lalu? Perasaan Rio kacau balau. Rio mengalihkan pandangan pada perempuan
di sisinya.
Ify dapat merasakan tangan Rio yang
masih menggenggam tangannya menegang. Jantungnya berdegup kencang.
Resah, panik, dan cemas. Mungkinkan Rio langsung menyadarinya? Ia
menarik napas dalam-dalam, lalu melirik Rio dari sudut matanya.
Didapatinya lelaki itu sedang menatapnya dengan pandangan menuntut
penjelasan. Jantung Ify mencelos. Kebenaran telah terungkap.
Ify menundukkan pandangannya, menghindari tatapan Rio. Dapat
dirasakannya lelaki itu melepaskan genggamannya, lalu menarik tangannya.
Di luar dugaan, Ify merasa ada yang ikut tertarik keluar dari hatinya,
dan meninggalkan lubang menganga. Ia merasa kosong. Merasa kehilangan.
Namun, sebuah kesadaran menyentaknya. Dalam sekejap kekecewaan mengalir
masuk. Mengisi seluruh ruang kosong di hatinya, hingga melebihi
kapasitas yang mampu ditampungnya. Menyesakkan. Menyakitkan. Membuatnya
tak dapat bernapas. Ternyata lelaki ini telah membohonginya—lagi! Rio
tidak menyesali perbuatannya. Rio tidak pernah menyesal telah memintanya
membuang Kejora. Ternyata Rio tetap tidak menginginkan Kejora. Tak
peduli betapa inginnya Rio memiliki anak perempuan, lelaki ini tidak
menginginkan gadis kecilnya itu. Ify menarik napas dalam-dalam, berusaha
mengurangi sesak di dadanya.
“Ada yang ingin ditanyakan, Pak?” Dokter Fauzi mengalihkan pandangannya dari Rio, “Ibu?”
Pertanyaan Dokter Fauzi menyentak kesadaran Rio dan Ify. Entah berapa
lama mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing, hingga tidak
mendengar penjelasan Dokter Fauzi.
“Nggak, Dok,”
Rio menjawab dengan suara mengambang. Belum sepenuhnya pulih dari rasa
keterkejutannya, “Makasih, Dok.” Ia bangkit dari kursinya, dan melangkah
linglung keluar ruangan.
“Anda baik-baik saja, Bu?” tanya Dokter Fauzi kepada Ify yang masih duduk di tempatnya.
Ify menarik napas dalam-dalam berusaha mengendalikan dirinya.
“Bagaimana caranya mendapatkan darah golongan AB, dok?”
“Ibu bisa pergi ke PMI UTD Sukabumi—walaupun saya tidak terlalu yakin
mereka mempunyai persediaan—atau jalan terbaik, mencari keluarga atau
teman dekat yang mempunyai golongan darah AB.”
Ify
mengeluh dalam hati. Ia tahu satu orang yang bisa menyelamatkan Kejora,
tetapi—setelah melihat reaksi Rio tadi—ia tidak yakin lelaki itu masih
mau membantunya. Perlahan, ia bangkit dari kursinya. “Makasih, Dok.”
Katanya sebelum meninggalkan ruangan.
**
Ify mendesah resah saat tidak menemukan Rio di luar ruangan Dokter
Fauzi, bahkan tidak menemukannya di kamar Kejora. Mungkinkah Rio telah
pergi? Telah kembali ke Jakarta? Meninggalkannya untuk menghadapi
masalah ini seorang diri—seperti dulu? Rasa sakit semakin membengkak di
hati Ify. Ternyata lelaki itu tidak banyak berubah. Rio masih tetap
pengecut. Selalu mencoba untuk lari dari kenyataan. Lelaki itu tampak
berubah karena mengira ia telah menuruti keinginannya. Karena mengira
Kejora bukan darah dagingnya. Jadi, benar dugaannya selama ini. Rio
tidak pernah mencintai Ify. Lelaki iyu hanya menganggapnya tak lebih
dari sebuah benda yang bisa dipermainkannya. Tidak dulu tidak pula
sekarang. Rio tidak pernah berniat untuk menjadi bagian kehidupannya.
Tangis mulai merambati tenggorok Ify. Membuatnya semakin sulit bernapas.
Di depan kamar Kejora, Ify berhenti sejenak. Ia menyandarkan
punggungnya pada dinding, berusaha mengendalikan dirinya. Berusaha
mengendalikan kekecewaan dan amarah yang semakin pekat menyelubungi
hatinya. Namun, rasa sakit yang teramat sangat membuat tubuhnya mulai
gemetar. Membuat pandangannya memburam. Tangis sudah berkumpul di
pangkal tenggoroknya. Ia hampir tak kuat lagi menahannya. Ify
mengepalkan tangannya, dan menyumpalkan ke dalam mulutnya. Berusaha
keras meredam tangisnya yang mulai pecah.
Ify
tidak tahu, telah berapa lama ia menangis di depan kamar Kejora, hingga
akhirnya ia bisa mendapatkan kembali kendali dirinya. Ia mengeluarkan
sebungkus tisu dari tasnya dan segera menyeka air matanya. Ia menarik
napas dalam-dalam, lalu melangkah masuk ke kamar Kejora. Dengan langkah
pelan—agar tidak membangunkan Kejora yang sedang tidur—Ify menghampiri
ibunya yang duduk di sisi ranjang, menunggui Kejora—seperti yang diminta
Ify—sambil membaca majalah. Ify membungkukkan tubuhnya, dan berbisik.
“Titip Kejora bentar ya, Bu. Aku mau ke PMI dulu, mumpung belum terlalu
sore.” Ibunya hanya mengangguk, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Bahkan tanpa menoleh ke arahnya.
**
Entah telah berapa lama Rio berjalan tanpa tujuan di sepanjang koridor
rumah sakit dengan setengah melamun. Merenungkan semua yang baru saja
diketahuinya. Mungkinkah kecurigaannya selama ini benar? Itukan sebabnya
ada perasaan asing yang terus mengusiknya sejak ia bertemu Kejora?
Bayangan rambut ikal Kejora dan bentuk matanya yang mirip dirinya
terhampar di depan matanya. Rio menggeleng pelan. Tetapi, terlalu
sedikit bukti yang menunjukkan bahwa gadis kecil itu adalah putrinya.
Bisa saja mendiang suami Ify pun memiliki rambut ikal dan bentuk mata
yang sama dengannya. Rio tahu pasti, golongan darah Ify A. Jadi bisa
saja mendiang suami Ify pun memiliki golongan darah B. Atau AB..?
Rio menghela napas berat. Masih ada kemungkinan Kejora bukan anaknya.
Semua kemiripan Kejora dengannya tak lebih dari sebuah kebetulan.
Bukankah Ify mengatakan kepadanya bahwa anaknya telah—hatinya tiba-tiba
terasa nyeri—mati?
Rio mengerang dalam hati.
Selama tiga belas tahun ia begitu menderita. Hidup dihantui rasa
bersalah dan penyesalah. Setitik harapan muncul saat ia melihat beberapa
kemiripan Kejora dengan dirinya. Berharap Ify tidak pernah menuruti
permintaan bodohnya. Berharap gadis kecil itu adalah darah dagingnya.
Menemukan semakin banyak kemiripan, membuatnya ketakutan. Takut
harapannya semakin tumbuh. Takut tak sanggup menahan rasa kecewa saat
mengetahui Kejora bukan putrinya. Takut ia akan kehilangan Ify lagi.
Tiba-tiba langkah kaki Rio terhenti. Ia tertegun. Tetapi, kalaupun
Kejora bukan darah dagingnya, ia tetap amat menyayangi Kejora. Keceriaan
dan kecerdasan Kejora telah merebut hatinya. Membuatnya jatuh cinta.
Lalu kenapa memangnya, kalau tidak ada bagian dari dirinya di tubuh
gadis kecil itu? Bukankah pada diri Kejora ada bagian dari perempuan
yang paling dicintainya? Sebagian darah Ify mengalir dalam tubuh gadis
mungil itu. Tubuh mungil yang kini berbaring lemah tak berdaya, menunggu
datangnya pertolongan. Pertolongan yang hanya bisa—ia
terkesiap—diberikan olehnya.
Ya, Tuhan. Apa yang
telah dilakukannya? Ia hanya membuang waktu yanb tak akan mungkin
kembali. Rio segera memutar tubuhnya dan berlari menuju kamar Kejora.
**
“Ify mana, Bu?” tanya Rio begitu tiba di kamar Kejora.
Perempuan setengah baya itu mendongak menatap Rio dengan kening berkerut dalam. “Lho, bukannya pergi sama kamu?”
Alis Rio terangkat. “Pergi..?” Ia menatap ibu Ify dengan pandangan bingung. “Kemana?”
“Ke PMI. Memangnya kamu nggak tau?”
Rio segera memutar tubuhnya dan berlari ke luar kamar Kejora. Ia
mengeluarkan ponsel dari saku celananya, dan men-dial nomor ponsel Ify.
Namun, hingga nada panggilan berakhir, perempuan itu tidak juga
mengangkat teleponnya. Rio me-redial nomor ponsel Ify. Saat ia nyaris
putus asa dan hendak memutuskan panggilan, tiba-tiba sebuah suara
menyapa. Rio tertegun. Suara lelaki? Rasa cemburu menjalarinya hatinya.
Dengan siapa Ify pergi ke PMI? Mengapa lelaki ini yang menjawab
panggilannya?
“Ini HP-nya Ify kan?” tanya Rio tanpa membalas sapaan lelaki asing itu.
“Iya.”
“Ini siapa?” Rio tak dapat menutupi kegusarannya.
“Saya Danu, Pak, asisten Ibu Ify. Ibu Ify sedang pergi. HP-nya ketinggalan.”
Kelegaan yang luar biasa membanjiri Rio. Ia baru ingat, Ify menjatuhkan
ponselnya saat mendapat kabar mengenai Kejora. Rupanya, perempuan itu
lupa mengambilnya. Tanpa berkata-kata lagi, Rio mematikan ponsel, dan
berlari mencari perawat.
**
Seperti yang telah diprediksi Dokter Fauzi, PMI UTD Sukabumi tidak
memiliki persediaan golongan darah yang dibutuhkan Ify. Ia terpaksa
pulang dengan tangan kosong. Sambil setengah melamun ia melangkah
menelusuri koridor rumah sakit. Sebnarnya ada satu orang yang mampu
menyelamatkan Kejora. Tetapi sepertinya lelaki itu telah kembali ke
Jakarta, meninggalkannya dan Kejora begitu saja. Sedih, pahit, kecewa,
dan marah bercampur aduk di hati Ify. Menyesakkan dada.
Ia memang bodoh! Menaruh harapan pada lelaki yang pernah
meninggalkannya dalam ketidakberdayaan. Kini, persis seperti masa lalu,
Rio kembali meninggalkannya. Ternyata ia salah duga, ia terlalu
berlebihan menilai semua sikap Rio padanya. Dan, dengan bodohnya, ia
membiarkan dirinya kembali jatuh cinta pada lelaki itu. Ify menarik
napas dalam-dalam, berusaha mengurangi rasa nyeri di dadanya.
Rio boleh melakukan apa saja yang diinginkannya. Rio boleh menyakiti
dirinya, tetapi jangan menggoda perasaannya dengan mempermainkan nasib
Kejora. Lelaki itu bersikap seakan-akan begitu ingin membantuya. Begitu
tampak khawatir mendengar Kejora sakit. Namun, setelah tahu golongan
darah Kejora sama dengan golongan darahnya, lelaki itu langsung lari
tunggang langgang. Padahal Rio tahu, betapa sulitnya mencari golongan
darah AB. Ify masih ingat betul apa yang dikatakan oleh petugas PMI saat
sekolah mereka menyelenggarakan bakti sosial donor darah. Ia ingat
betul, karena Rio memiliki golongan darah yang langka itu.
Ify menghela napas berat. Sudahlah. Biarkan saja kalau Rio
meninggalkannya dan Kejora. Ini bukan hal baru baginya. Satu-satunya
yang harus dipikirkannya sekarang di mana ia dapat memperoleh darah atau
pendonor. Mungkin sebaiknya ia mendatangi PMI UTD Jakarta dan
menghubungi teman-temannya. Ify merogoh tasnya, mencari ponsel. Namun,
ia tidak dapat menemukan benda yang dicarinya. Ify mendengus kesal.
Ternyata bukan hanya Rio yang menghilang, bahkan ponselnya pun lenyap.
Ify melangkah masuk ke kamar Kejora, dan menghampiri ibunya yang belum
beranjak dari sisi ranjang. “Bu, sepertinya aku harus kembali ke Jakarta
sekarang juga.”
Ibunya mendongak, menatap Ify dengan kening berkerut hingga kerutan pada wajahnya tampak semakin dalam. “Untuk apa?”
“Aku nggak dapat darah yang dibutuhkan di PMI.” Ify menatap Kejora yang
belum terbangun. “Aku harus ke PMI Jakarta, dan mencari bantuan dari
teman-teman.”
“Kejora sudah dapat pendonor kok.”
Suara ibunya begitu tenang, dan pelan, tetapi mampu mengejutkan Ify.
Cepat, ia menoleh pada ibunya. “Kok bisa? Katanya rumah sakit kehabisan
persediaan?”
“Rio yang jadi pendonor.”
Ify terperangah. “R-Rio..?” Ia menatap ibunya tanpa berkedip. “Rio belum pulang ke Jakarta?”
Ibunya menatap Ify dengan pandangan seakan ia telah kehilangan akal sehatnya. “Tadi, dia malah nyariin kamu.”
Selama beberapa saat Ify hanya bisa tertegun. Sulit baginya untuk
memercayai apa yang didengarnya. Apakah semua ini nyata? Dalam sekejap,
semua amarah dan kekecewaan surut dari hatinya. Kelegaan membanjirinya.
Ternyata ia salah sangka. Rio belum pulang ke Jakarta. Lelaki itu tidak
meninggalkannya dan Kejora. Bahkan, tanpa diminta, lelaki itu mau
mendonorkan darahnya. Rio akan menyelamatkan putri kecilnya. Rasa syukur
dan bahagia merayapi hatinya. Mata Ify berkaca-kaca, menahan luapan
haru. Tanpa berkata-kata lagi, ia memutar tubuhnya, meninggalkan kamar
Kejora.
**
Ify melongok ke
dalam ruangan yang ditunjuk oleh perawat. Didapatinya Rio sedang
berbaring di salah satu ranjang. Sebuah selang menghubungkan lengannya
dengan kantong darah di sisi ranjang. Kehangatan menjalari hati Ify.
Perlahan, ia melangkahkan kakinya mendekati ranjang.
Merasakan kehadiran seseorang di dekatnya, Rio membuka mata. Seulas
senyum mengembang di wajanya saat melihat Ify berdiri di dekatnya,
tersenyum lembut padanya. Jantung Rio berdesir. Ternyata, dalam keadaan
lelah dan berantakan seperti ini, Ify masih mampu membuatnya resah. “HP
kamu hilang ya?”
Satu alis Ify terangkat, “Kok tau?”
Rio tersenyum geli. “Sebenarnya, nggak hilang sih, Cuma ketinggalan di
rumahku.” Ia memperbaiki letak kacamatanya. “Waktu ibumu bilang kamu ke
PMI, aku nyoba telepon kamu. Tapi, yang jawab malah si Danu,” ia tertawa
kecil. “Aku sampai kaget waktu tiba-tiba suara kamu jadi berubah
berat.”
Ify ikut tertawa.
Rio senang melihat Ify sudah tampak jauh lebih tenang. Gurat kecemasan
di wajahnya sudah jauh berkurang. “Kok kamu nggak bilang kalau mau ke
PMI?”
Dengan canggung, Ify menyelipkan seuntai
rambut ke belakang telinganya. “Aku pikir,” ia menundukkan pandangannya,
mencoba menyembunyikan wajahnya yang merona, “kamu udah pulang ke
Jakarta.”
“Pulang…?” Mata Rio melebar. “Mana
mungkin aku meninggalkan kamu dan Kejora begitu saja? Dalam keadaan
seperti ini pula?”
“Aku pikir,” Ify mengelus rangka besi dengan telunjuknya. Salah tingkah. “Kamu marah,” gumamnya lirih.
“Marah..?” Rio menatap Ify dengan pandangan bingung. “Kok, kamu bisa berpikiran seperti itu?”
“Aku—“ Ify tidak jadi berbicara karena seorang suster menghampiri mereka dan memeriksa kantong darah Rio.
“Sudah selesai, Pak.” Perawat itu mencabut jarum pada lengan Rio,
menaruh kapas di lengan lelaki itu dan melekatkan plester di atasnya.
“Sebaiknya bapak langsung minum susu dan makan supaya tenaga bapak pulih
kembali.”
“Makasih, Suster.”
Rio bergegas bangkit dari ranjangnya. Namun, saat ia turun dari ranjang
dan mencoba berdiri, pandangannya langsung berputar. Tubuhnya
terhuyung. Rio berusaha menggapai ranjang untuk berpegangan, tetapi
sebuah tangan telah melingkari pinggangnya dan menahan tubuhnya. Rio
menoleh. Jantungnya berdegup keras saat mendapati ify setengah
memeluknya sambil mendongak menataonya. SIrat cemas tampak jelas di mata
perempuan itu. Seulas senyum mengembang di wajah Rio. “Makasih.”
“Sebaiknya kita langsung ke kantin aja.” Ify menatap Rio dengan
pandangan khawatir, tanpa melepaskan lengannya dari pinggang lelaki itu.
“Kamu kan belum makan siang.”
Rio tersenyum lembut. “Kamu juga belum makan, kan?”
Ify balas tersenyum malu, lalu mengangguk.
**
Kantin rumah sakit tampak sepi. Mungkin karena jam makan siang telah
lewat lama. Saat itu hanya ada beberapa orang pengunjung yang sedang
menikmati makanan kecil. Rio dan Ify memilih meja di ujung sebelah
dalam. Tempat yang tidak dilalui banyak orang, hingga mereka bisa
mengbrol dengan nyaman, tanpa terganggu.
“Jadi,
apa yang membuat kamu berpikir aku marah?” Rio langsung membuka
percakapan begitu pelayan yang mencatat pesanan mereka beranjak pergi.
Ify menundukkan pandangannya. “Aku berpikir,” tangannya melipat-lipat
serbet kertas hingga membentuk lipatan kecil. Gugup. “Kamu marah setelah
tau aku,” ia menelan ludah dengan susah payah, “setelah tau aku nggak
menggugurkan kandunganku.”
Suara Ify begitu lirih,
nyaris tak terdengar, tetapi bagaikan gelegar halilintar di telinga
Rio. Ia menatap Ify tanpa berkedip, dan tanpa bisa berkata-kata. Jadi,
Kejora memang anaknya? Putrinya? Darah dagingnya! Walaupun selama ini
ada kecurigaan di hatinya, pengakuan Ify tetap saja membuatnya terkejut.
Jadi, itukah sebabnya perasaan asing itu muncul setelah ia bertemu
Kejora? Mungkinkah itu ikatan batin antara ayah dan putrinya? Rio
menelan ludahnya dengan susah payah. “Jadi, Kejora…benar-benar
putriku..?” tanyanya dengan suara mengambang.
Ify
mendongak. Menatap Rio dengan pandangan terkejut bercampur bingung/ ia
tak menduga Rio akan tampak begitu terkejut. Ia tak menyangka, meskipun
Dokter Fauzi telah menyebutkan golongan darah Kejora, namun rupanya Rio
masih belum bisa menebak kalau gadis kecil itu adalah putrid kandungnya.
Perlahan, Ify menganggukkan kepalanya.
“Tapi, bagaimana mungkin?” Rio menelan ludah, “bukankan umurnya baru sebelas tahun?”
Ify memilin-milin serbet kertas di tangannya. “Maafkan aku.” Ia
menundukkan kepala, menghindari tatapan Rio. “Aku berbohong.” Dengan
sedikit khawatir, ia melirik Rio dari balik bulu matanya. Mengawasi
perubahan ekspresi lelaki itu. Mempersiapkan diri untuk menerima
kemarahan Rio. Namun, ekspresi Rio tidak terbaca. Mata lelaki itu
menatap lurus ke arahnya. Kosong. Seakan menembusnya. Seakan ia tidak
berada di hadapan lelaki itu. Jantung Ify berdebar cemas. “Kamu marah…?”
tanyanya hati-hati.
Perlahan pandangan Rio
kembali focus, “Marah..?” Seulas senyum mengembang di wajanya. Ia
menghela napas panjang, penuh kelegaan. “Ya Tuhan Ify..” ia menatap Ify
dengan mata berbinar. “Aku bahagia, FY. Masih sulit untuk dipercaya,
tapi aku sangat bahagia.”
Ucapan Rio, ekspresi
wajah lelaki itu, dan binary di matanya, membuat semua beban yang
ditanggung Ify selama ini terangkat. Ia menundukkan pandangannya, lalu
diam-diam menghela napas lega.
“Kamu tahu Ify?”
suara Rio terdengar lembut dan dalam. “Seperti apa hidupku saat
meninggalkan kamu ke Jerman?” ia memperbaiki letak kacamataya, “Aku
nggak bahagia, Fy. Aku selalu dihantui rasa bersalah. Nggak pernah
sedetik pun aku berhenti menyesali kepengecutanku.”
Ify mendongak. Menatap Rio dengan pandangan tak percaya. Tak bisa
berkata-kata. Benarkah Rio begitu merasa bersalah? Ia membuka mulut
hendak mengatakan sesuatu, tetapi membatalkan niatnya saat pelayan
datang membawakan pesanan mereka. Begitu pelayan meninggalkan meja
mereka, ia kembali membuka mulut, hendak bertanya. Namun, Rio telah
mendahuluinya.
“Kamu tau Fy?” Rio mengaduk susu
hangat di hadapannya. “Aku sedih sekali karena nggak ada satupun suratku
yang kamu balas. Begitu ada kesempatan pulang ke Indonesia, orang
pertama yang aku cari adalah kamu.” Ia menyesap susunya perlahan, lalu
melanjutan. “Tapi ternyata kamu udah pindah. Semua tetanggamu aku
datangi, aku tanya apakah ada yang tau alamat barumu, tapi tidak satu
pun yang tahu.”
Ify tercengang. Menatap Rio tanpa
bisa berkata-kata. Sulit baginya memecrayai semua yang tertangkap oleh
telinganya. Jadi, dulu Rio mencarinya?
Perlahan.
Rio mendongak. “Kamu tahu FY?” ia menatap Ify dengan pandangan sedih.
“Waktu itu aku sudah memutuskan untuk menikahimu dan nggak akan kembali
lagi ke Jerman.” Ia menghela napas berat. “Aku sudah nggak peduli kalau
papa marah dan kecewa. Aku bahkan nggak peduli kalau papa mengusirku
atau nggak mau mengakuiku sebagai anak lagi.”
Ify
tertegun. Ia mengaduk-aduk soto di hadapannya, tanpa bisa berkata-kata.
Berbagai perasaan bercampur aduk di hatinya. “Tapi, bagaimana kamu bisa
melakukannya?” tanyanya setelah dapat kembali bersuara. “Kamu kan sayang
banget sama papa?”
“Memang nggak gampang, tapi
aku terlalu mengkhawatirkan kamu.” Rio menyuap makanannya, mengunyahnya
perlahan, dan menelannya. “Kalaupun akhirnya papa marah dan mengusirku,
aku Cuma busa berharap suatu hari nanti Papa akan memaafkan aku.”
Ify tidak dapat berkata-kata. Penjelasan Rio begitu di luar dugaannya.
Ternyata, selama ini ia telah salah menilai laki-laki di hadapannya ini.
Ternyata Rio tidak pengecut seperti yang dituduhkannya selama ini.
Lelaki itu memang ketakutan. Namun, menurut Ify, itu sesuatu yang wajar
mengingat usianya yang masih amat muda. Mengingat mereka belum memiliki
penghasilan. Mungkin dulu Rio bukan seorang gentleman seperti sekarang,
tetapi paling tidak ia bukan pengecut. Diam-diam, Ify menghela napas
panjang. Namun—yang terpenting—akhirnya Rio memutuskan untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Dan kini, nilai Rio bertambah
tinggi dimatanya karena lelaki ini memutuskan untuk mendonorkan darahnya
pada Kejora, meskipun ia tidak tahu bahwa gadis kecil itu adalah
putrinya. Sentuhan pada tangannya membuyarkan lamunan Ify. Jantungnya
berdebar keras saat Rio menggenggam tangannya.
“Aku mencintaimu, Ify,” Rio menatap Ify dalam. “Aku nggak pernah berhenti mencintai kamu.”
Selama beberapa saat, Ify tak bisa berkata-kata. Ucapan Rio terlalu
mengejutkannya. Jantungnya berdegup semakin cepat. Ia gugup, tetapi
bahagia. Namun, bayangan Ashilla tiba-tiba memasuki benaknya, segera
mengusir kebahagiannya. “Tapi, kamu juga mencintai Shilla, dan menikah
dengannya.” Ia tidak dapat menyembunyikan rasa cemburunya.
Bagaimanapun aku lelaki normal, Ify.” Rio meremas tangan Ify lembut,
mencoba untuk menenangkan perempuan itu. “Sama seperti kamu, aku pun
membutuhkan pendamping hidup.”
Ify menatap Rio
dengan tatapan bingung, tak mengerti maksud lelaki itu. Namun, perlahan,
sebuah pemahaman memasuki benaknya. Ia lupa bahwa Rio mengiranya telah
menikah. Ify tersenyum gugup. “Aku..” ia membasahi tenggoroknya yang
terasa kering. “Aku nggak pernah menikah, Rio.”
Seluruh darah di tubuh Ify seakan membeku. Ia menatap Ify dengan mata
terbelakak. Tanpa sadar, ia melepaskan tangan Ify.
“Sejak aku memutuskan untuk mempertahankan Kejora, ibu memutuskan untuk
pindah ke Sukabumi, dan mengarang cerita itu untuk menutupi rasa
malunya.” Ify menundukkan pandangannya. Tangannya mengaduk-aduk kuah
sotonya dengan resah. “Dan akhirnya, aku juga terbiasa dengan cerita
karangannya, bahkan mulai percaya bahwa aku memang sudah menikah dan
suamiku meninggal saat aku hamil Kejora.”
Rio
tidak bisa berkata-kata. Terlalu terkejut oleh fakta yang dihamparkan ke
hadapannya. “Lalu bagaimana dengan pekerjaan ayahmu?” tanyanya setelah
mampu kembali bersuara. “Ayah terpaksa pindah kerja ke Sukabumi? Atau
kalian hidup terpisah?”
“Ayah meninggal nggak lama setelah tau keadaanku,” suara Ify bergetar. “Serangan jantung.”
Hening.
Hati Rio mencelos. Rasa bersalah mencengkram hatinya. Menyesakkan
dadanya. Perlahan, Rio meraih tangan Ify dan menggenggamnya erat.
“Maafkan aku, Ify,” ia tercekat. “Aku nggak nyangka, kepengecutanku
sudah membuat kamu begitu menderita.” Ia menghela napas berat. “Aku
tahu, permintaan maafku sama sekali nggak berarti apa-apa. Aku tau, aku
nggak mungkin bisa membalikkan waktu—walaupun aku sangat berharap aku
mampu melakykannya. Tapi, aku janji Ify,” ia membelai tangan Ify lembut.
“Aku nggak akan pernah membuat kamu menderita lagi. Aku janji, aku akan
selalu membuatmu bahagia. Aku janji, aku nggak akan meninggalkan kamu
lagi—apapun situasinya.”
Ify diam, tidak dapat
berkata-kata. Ia menundukkan pandangan, menyembunyikan matanya yang
mulai berkaca-kaca. Menyembunyikan kebahagiannya yang terlalu membuncah
ini. Ia tahu, Rio bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia yakin, Rio
akan menepati janjinya. Lelaki ini bahkan telah menepati janjinya
meskipun belum mengucapkannya. Bukankah selama ini Rio selalu ada di
sisinya setiap kali ia membutuhkan pertolongan? Dan, yang lebih
menyentuh hati Ify, lelaki ini bersedia mendonorkan darahnya meskipun
tidak tahu bahwa Kejora adalah darah dagingnya. Lelaki ini begitu tulus
padanya….dan Kejora.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar