Rabu, 09 Januari 2013

Promises Promises[11 &12a]:Mencintaimu Sekali Lagi

Promises Promises [11 & 12a] : Mencintaimu Sekali Lagi

 

            “Dari hasil lab yang saya terima, Kejora positif terkena DBD.” Dokter Fauzi menghela napas berat. “Mudah-mudahan Kejora bisa melewati masa kritisnya dalam waktu tiga hari.”

            Ucapan Dokter Fauzi membuat jantung Ify seakan berhenti berdetak. Bibirnya menipis. Kedua tangan di pangkuannya gemetar. Amarah yang telah mulai mereda, merayap kembali ke permukaan. Ibunya memang keterlaluan! Seharusnya beliau langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres pada Kejora saat anak itu mulai kehilangan nafsu makan, dan terus mengurung diri di kamar. Kejora memang selalu begitu kalau sedang tidak enak badan. Setelah  Kejora tidak keluar-keluar dari kamar barulah ibunya mengecek keadaan anak itu. Namun, setelah mengetahui Kejora demam tinggi, alih-alih langsung membawanya kerumah sakit, ibunya hanya memberikan obat-obatan tradisional. Alasannya; beliau menyangka Kejora hanya sakit biasa—kecapekan atau masuk angin.

            Ify mendengus dalam hati. Mana mungkin tidak ada yang serius kalau demamnya sudah tinggi? Setelah mendapati Kejora muntah darah, barulah ibunya pontang-panting melarikan anak itu ke rumah sakit. Ya, Tuhan. Untung saja ibunya masih memiliki sedikit akal dan hati untuk melakukannya. Ify tidak tahu apakah ia bisa bertahan kalau sampai terjadi sesatu yang buruk pada putrid kecilnya. Ify merasakan tangan Rio menggenggam tangannya, dan meremasnya lembut. Memberinya kekuatan, sekaligus membantunya mengendalikan kemarahan.

            “Hemoglobinnya juga sangat rendah,” Dokter Fauzi menatap Ify dan Rio dari atas kacamatanya. “Kejora butuh transfusi.”

            “Lalu, kenapa belum ditransfusi, Dok?” Suara Ify bergetar.

            “Saya sudah meminta suster mengecek persediaan darah di sini, tapi maaf, golongan darah AB memang sangat sulit dicari.”

            Ucapan Dokter Fauzi bagaikan petir yang menyambar tubuh Rio, wajah Rio kehilangan warna. Matanya terbelia, menatap kosong Dokter Fauzi. Apakah ia tidak salah dengar? Golongan darah Kejora AB? Sama dengan golongan darahnya? Mungkinkah kecurigaannya selama ini terbukti benar? Mungkinkah Kejora adalah…. Rio mengerang dalam hati. Betapa bodohnya ia, tidak memperhatikan data pasien yang tergantung di kaki ranjang Kejora. Bukankah disitu tertera umur pasien? Tetapi, kalau Kejora memang putrinya, mengapa Ify merahasiakannya? Mengapa perempuan ini tega mengucapkan kata-kata yang begitu menyakitkan hatinya beberapa waktu lalu? Perasaan Rio kacau balau. Rio mengalihkan pandangan pada perempuan di sisinya.

            Ify dapat merasakan tangan Rio yang masih menggenggam tangannya menegang. Jantungnya berdegup kencang. Resah, panik, dan cemas. Mungkinkan Rio langsung menyadarinya? Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melirik Rio dari sudut matanya. Didapatinya lelaki itu sedang menatapnya dengan pandangan menuntut penjelasan. Jantung Ify mencelos. Kebenaran telah terungkap.

            Ify menundukkan pandangannya, menghindari tatapan Rio. Dapat dirasakannya lelaki itu melepaskan genggamannya, lalu menarik tangannya. Di luar dugaan, Ify merasa ada yang ikut tertarik keluar dari hatinya, dan meninggalkan lubang menganga. Ia merasa kosong. Merasa kehilangan. Namun, sebuah kesadaran menyentaknya. Dalam sekejap kekecewaan mengalir masuk. Mengisi seluruh ruang kosong di hatinya, hingga melebihi kapasitas yang mampu ditampungnya. Menyesakkan. Menyakitkan. Membuatnya tak dapat bernapas. Ternyata lelaki ini telah membohonginya—lagi! Rio tidak menyesali perbuatannya. Rio tidak pernah menyesal telah memintanya membuang Kejora. Ternyata Rio tetap tidak menginginkan Kejora. Tak peduli betapa inginnya Rio memiliki anak perempuan, lelaki ini tidak menginginkan gadis kecilnya itu. Ify menarik napas dalam-dalam, berusaha mengurangi sesak di dadanya.

            “Ada yang ingin ditanyakan, Pak?” Dokter Fauzi mengalihkan pandangannya dari Rio, “Ibu?”

            Pertanyaan Dokter Fauzi menyentak kesadaran Rio dan Ify. Entah berapa lama mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing, hingga tidak mendengar penjelasan Dokter Fauzi.

            “Nggak, Dok,” Rio menjawab dengan suara mengambang. Belum sepenuhnya pulih dari rasa keterkejutannya, “Makasih, Dok.” Ia bangkit dari kursinya, dan melangkah linglung keluar ruangan.

            “Anda baik-baik saja, Bu?” tanya Dokter Fauzi kepada Ify yang masih duduk di tempatnya.

            Ify menarik napas dalam-dalam berusaha mengendalikan dirinya. “Bagaimana caranya mendapatkan darah golongan AB, dok?”

            “Ibu bisa pergi ke PMI UTD Sukabumi—walaupun saya tidak terlalu yakin mereka mempunyai persediaan—atau jalan terbaik, mencari keluarga atau teman dekat yang mempunyai golongan darah AB.”

            Ify mengeluh dalam hati. Ia tahu satu orang yang bisa menyelamatkan Kejora, tetapi—setelah melihat reaksi Rio tadi—ia tidak yakin lelaki itu masih mau membantunya. Perlahan, ia bangkit dari kursinya. “Makasih, Dok.” Katanya sebelum meninggalkan ruangan.

 

**

            Ify mendesah resah saat tidak menemukan Rio di luar ruangan Dokter Fauzi, bahkan tidak menemukannya di kamar Kejora. Mungkinkah Rio telah pergi? Telah kembali ke Jakarta? Meninggalkannya untuk menghadapi masalah ini seorang diri—seperti dulu?  Rasa sakit semakin membengkak di hati Ify. Ternyata lelaki itu tidak banyak berubah. Rio masih tetap pengecut. Selalu mencoba untuk lari dari kenyataan. Lelaki itu tampak berubah karena mengira ia telah menuruti keinginannya. Karena mengira Kejora bukan darah dagingnya. Jadi, benar dugaannya selama ini. Rio tidak pernah mencintai Ify. Lelaki iyu hanya menganggapnya tak lebih dari sebuah benda yang bisa dipermainkannya. Tidak dulu tidak pula sekarang. Rio tidak pernah berniat untuk menjadi bagian kehidupannya. Tangis mulai merambati tenggorok Ify. Membuatnya semakin sulit bernapas.

            Di depan kamar Kejora, Ify berhenti sejenak. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding, berusaha mengendalikan dirinya. Berusaha mengendalikan kekecewaan dan amarah yang semakin pekat menyelubungi hatinya. Namun, rasa sakit yang teramat sangat membuat tubuhnya mulai gemetar. Membuat pandangannya memburam. Tangis sudah berkumpul di pangkal tenggoroknya. Ia hampir tak kuat lagi menahannya. Ify mengepalkan tangannya, dan menyumpalkan ke dalam mulutnya. Berusaha keras meredam tangisnya yang mulai pecah.

            Ify tidak tahu, telah berapa lama ia menangis di depan kamar Kejora, hingga akhirnya ia bisa mendapatkan kembali kendali dirinya. Ia mengeluarkan sebungkus tisu dari tasnya dan segera menyeka air matanya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah masuk ke kamar Kejora. Dengan langkah pelan—agar tidak membangunkan Kejora yang sedang tidur—Ify menghampiri ibunya yang duduk di sisi ranjang, menunggui Kejora—seperti yang diminta Ify—sambil membaca majalah. Ify membungkukkan tubuhnya, dan berbisik. “Titip Kejora bentar ya, Bu. Aku mau ke PMI dulu, mumpung belum terlalu sore.” Ibunya hanya mengangguk, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan tanpa menoleh ke arahnya.

 

**

            Entah telah berapa lama Rio berjalan tanpa tujuan di sepanjang koridor rumah sakit dengan setengah melamun. Merenungkan semua yang baru saja diketahuinya. Mungkinkah kecurigaannya selama ini benar? Itukan sebabnya ada perasaan asing yang terus mengusiknya sejak ia bertemu Kejora? Bayangan rambut ikal Kejora dan bentuk matanya yang mirip dirinya terhampar di depan matanya. Rio menggeleng pelan. Tetapi, terlalu sedikit bukti yang menunjukkan bahwa gadis kecil itu adalah putrinya. Bisa saja mendiang suami Ify pun memiliki rambut ikal dan bentuk mata yang sama dengannya. Rio tahu pasti, golongan darah Ify A. Jadi bisa saja mendiang suami Ify pun memiliki golongan darah B. Atau AB..?

            Rio menghela napas berat. Masih ada kemungkinan Kejora bukan anaknya. Semua kemiripan Kejora dengannya tak lebih dari sebuah kebetulan. Bukankah Ify mengatakan kepadanya bahwa anaknya telah—hatinya tiba-tiba terasa nyeri—mati?

            Rio mengerang dalam hati. Selama tiga belas tahun ia begitu menderita. Hidup dihantui rasa bersalah dan penyesalah. Setitik harapan muncul saat ia melihat beberapa kemiripan Kejora dengan dirinya. Berharap Ify tidak pernah menuruti permintaan bodohnya. Berharap gadis kecil itu adalah darah dagingnya. Menemukan semakin banyak kemiripan, membuatnya ketakutan. Takut harapannya semakin tumbuh. Takut tak sanggup menahan rasa kecewa saat mengetahui Kejora bukan putrinya. Takut ia akan kehilangan Ify lagi.

            Tiba-tiba langkah kaki Rio terhenti. Ia tertegun. Tetapi, kalaupun Kejora bukan darah dagingnya, ia tetap amat menyayangi Kejora. Keceriaan dan kecerdasan Kejora telah merebut hatinya. Membuatnya jatuh cinta. Lalu kenapa memangnya, kalau tidak ada bagian dari dirinya di tubuh gadis kecil itu? Bukankah pada diri Kejora ada bagian dari perempuan yang paling dicintainya? Sebagian darah Ify mengalir dalam tubuh gadis mungil itu. Tubuh mungil yang kini berbaring lemah tak berdaya, menunggu datangnya pertolongan. Pertolongan yang hanya bisa—ia terkesiap—diberikan olehnya.

            Ya, Tuhan. Apa yang telah dilakukannya? Ia hanya membuang waktu yanb tak akan mungkin kembali. Rio segera memutar tubuhnya dan berlari menuju kamar Kejora.

 

**

            “Ify mana, Bu?” tanya Rio begitu tiba di kamar Kejora.

            Perempuan setengah baya itu mendongak menatap Rio dengan kening berkerut dalam. “Lho, bukannya pergi sama kamu?”

            Alis Rio terangkat. “Pergi..?” Ia menatap ibu Ify dengan pandangan bingung. “Kemana?”

            “Ke PMI. Memangnya kamu nggak tau?”

            Rio segera memutar tubuhnya dan berlari ke luar kamar Kejora. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, dan men-dial nomor ponsel Ify. Namun, hingga nada panggilan berakhir, perempuan itu tidak juga mengangkat teleponnya. Rio me-redial nomor ponsel Ify. Saat ia nyaris putus asa dan hendak memutuskan panggilan, tiba-tiba sebuah suara menyapa. Rio tertegun. Suara lelaki? Rasa cemburu menjalarinya hatinya. Dengan siapa Ify pergi ke PMI? Mengapa lelaki ini yang menjawab panggilannya?

            “Ini HP-nya Ify kan?” tanya Rio tanpa membalas sapaan lelaki asing itu.

            “Iya.”

            “Ini siapa?” Rio tak dapat menutupi kegusarannya.

            “Saya Danu, Pak, asisten Ibu Ify. Ibu Ify sedang pergi. HP-nya ketinggalan.”

            Kelegaan yang luar biasa membanjiri Rio. Ia baru ingat, Ify menjatuhkan ponselnya saat mendapat kabar mengenai Kejora. Rupanya, perempuan itu lupa mengambilnya. Tanpa berkata-kata lagi, Rio mematikan ponsel, dan berlari mencari perawat.

 

**

            Seperti yang telah diprediksi Dokter Fauzi, PMI UTD Sukabumi tidak memiliki persediaan golongan darah yang dibutuhkan Ify. Ia terpaksa pulang dengan tangan kosong. Sambil setengah melamun ia melangkah menelusuri koridor rumah sakit. Sebnarnya ada satu orang yang mampu menyelamatkan Kejora. Tetapi sepertinya lelaki itu telah kembali ke Jakarta, meninggalkannya dan Kejora begitu saja. Sedih, pahit, kecewa, dan marah bercampur aduk di hati Ify. Menyesakkan dada.

            Ia memang bodoh! Menaruh harapan pada lelaki yang pernah meninggalkannya dalam ketidakberdayaan. Kini, persis seperti masa lalu, Rio kembali meninggalkannya. Ternyata ia salah duga, ia terlalu berlebihan menilai semua sikap Rio padanya. Dan, dengan bodohnya, ia membiarkan dirinya kembali jatuh cinta pada lelaki itu. Ify menarik napas dalam-dalam, berusaha mengurangi rasa nyeri di dadanya.

            Rio boleh melakukan apa saja yang diinginkannya. Rio boleh menyakiti dirinya, tetapi jangan menggoda perasaannya dengan mempermainkan nasib Kejora. Lelaki itu bersikap seakan-akan begitu ingin membantuya. Begitu tampak khawatir mendengar Kejora sakit. Namun, setelah tahu golongan darah Kejora sama dengan golongan darahnya, lelaki itu langsung lari tunggang langgang. Padahal Rio tahu, betapa sulitnya mencari golongan darah AB. Ify masih ingat betul apa yang dikatakan oleh petugas PMI saat sekolah mereka menyelenggarakan bakti sosial donor darah. Ia ingat betul, karena Rio memiliki golongan darah yang langka itu.

            Ify menghela napas berat. Sudahlah. Biarkan saja kalau Rio meninggalkannya dan Kejora. Ini bukan hal baru baginya. Satu-satunya yang harus dipikirkannya sekarang di mana ia dapat memperoleh darah atau pendonor. Mungkin sebaiknya ia mendatangi PMI UTD Jakarta dan menghubungi teman-temannya. Ify merogoh tasnya, mencari ponsel. Namun, ia tidak dapat menemukan benda yang dicarinya. Ify mendengus kesal. Ternyata bukan hanya Rio yang menghilang, bahkan ponselnya pun lenyap.

            Ify melangkah masuk ke kamar Kejora, dan menghampiri ibunya yang belum beranjak dari sisi ranjang. “Bu, sepertinya aku harus kembali ke Jakarta sekarang juga.”

            Ibunya mendongak, menatap Ify dengan kening berkerut hingga kerutan pada wajahnya tampak semakin dalam. “Untuk apa?”

            “Aku nggak dapat darah yang dibutuhkan di PMI.” Ify menatap Kejora yang belum terbangun. “Aku harus ke PMI Jakarta, dan mencari bantuan dari teman-teman.”

            “Kejora sudah dapat pendonor kok.”

            Suara ibunya begitu tenang, dan pelan, tetapi mampu mengejutkan Ify. Cepat, ia menoleh pada ibunya. “Kok bisa? Katanya rumah sakit kehabisan persediaan?”

            “Rio yang jadi pendonor.”

            Ify terperangah. “R-Rio..?” Ia menatap ibunya tanpa berkedip. “Rio belum pulang ke Jakarta?”

            Ibunya menatap Ify dengan pandangan seakan ia telah kehilangan akal sehatnya. “Tadi, dia malah nyariin kamu.”

            Selama beberapa saat Ify hanya bisa tertegun. Sulit baginya untuk memercayai apa yang didengarnya. Apakah semua ini nyata? Dalam sekejap, semua amarah dan kekecewaan surut dari hatinya. Kelegaan membanjirinya. Ternyata ia salah sangka. Rio belum pulang ke Jakarta. Lelaki itu tidak meninggalkannya dan Kejora. Bahkan, tanpa diminta, lelaki itu mau mendonorkan darahnya. Rio akan menyelamatkan putri kecilnya. Rasa syukur dan bahagia merayapi hatinya. Mata Ify berkaca-kaca, menahan luapan haru. Tanpa berkata-kata lagi, ia memutar tubuhnya, meninggalkan kamar Kejora.

 

**

            Ify melongok ke dalam ruangan yang ditunjuk oleh perawat. Didapatinya Rio sedang berbaring di salah satu ranjang. Sebuah selang menghubungkan lengannya dengan kantong darah di sisi ranjang. Kehangatan menjalari hati Ify. Perlahan, ia melangkahkan kakinya mendekati ranjang.

            Merasakan kehadiran seseorang di dekatnya, Rio membuka mata. Seulas senyum mengembang di wajanya saat melihat Ify berdiri di dekatnya, tersenyum lembut padanya. Jantung Rio berdesir. Ternyata, dalam keadaan lelah dan berantakan seperti ini, Ify masih mampu membuatnya resah. “HP kamu hilang ya?”

            Satu alis Ify terangkat, “Kok tau?”

            Rio tersenyum geli. “Sebenarnya, nggak hilang sih, Cuma ketinggalan di rumahku.” Ia memperbaiki letak kacamatanya. “Waktu ibumu bilang kamu ke PMI, aku nyoba telepon kamu. Tapi, yang jawab malah si Danu,” ia tertawa kecil. “Aku sampai kaget waktu tiba-tiba suara kamu jadi berubah berat.”

            Ify ikut tertawa.

            Rio senang melihat Ify sudah tampak jauh lebih tenang. Gurat kecemasan di wajahnya sudah jauh berkurang. “Kok kamu nggak bilang kalau mau ke PMI?”

            Dengan canggung, Ify menyelipkan seuntai rambut ke belakang telinganya. “Aku pikir,” ia menundukkan pandangannya, mencoba menyembunyikan wajahnya yang merona, “kamu udah pulang ke Jakarta.”

            “Pulang…?” Mata Rio melebar. “Mana mungkin aku meninggalkan kamu dan Kejora begitu saja? Dalam keadaan seperti ini pula?”

            “Aku pikir,” Ify mengelus rangka besi dengan telunjuknya. Salah tingkah. “Kamu marah,” gumamnya lirih.

            “Marah..?” Rio menatap Ify dengan pandangan bingung. “Kok, kamu bisa berpikiran seperti itu?”

            “Aku—“ Ify tidak jadi berbicara karena seorang suster menghampiri mereka dan memeriksa kantong darah Rio.

            “Sudah selesai, Pak.” Perawat itu mencabut jarum pada lengan Rio, menaruh kapas di lengan lelaki itu dan melekatkan plester di atasnya. “Sebaiknya bapak langsung minum susu dan makan supaya tenaga bapak pulih kembali.”

            “Makasih, Suster.”

            Rio bergegas bangkit dari ranjangnya. Namun, saat ia turun dari ranjang dan mencoba berdiri, pandangannya langsung berputar. Tubuhnya terhuyung. Rio berusaha menggapai ranjang untuk berpegangan, tetapi sebuah tangan telah melingkari pinggangnya dan menahan tubuhnya. Rio menoleh. Jantungnya berdegup keras saat mendapati ify setengah memeluknya sambil mendongak menataonya. SIrat cemas tampak jelas di mata perempuan itu. Seulas senyum mengembang di wajah Rio. “Makasih.”

            “Sebaiknya kita langsung ke kantin aja.” Ify menatap Rio dengan pandangan khawatir, tanpa melepaskan lengannya dari pinggang lelaki itu. “Kamu kan belum makan siang.”

            Rio tersenyum lembut. “Kamu juga belum makan, kan?”

            Ify balas tersenyum malu, lalu mengangguk.

 

**

            Kantin rumah sakit tampak sepi. Mungkin karena jam makan siang telah lewat lama. Saat itu hanya ada beberapa orang pengunjung yang sedang menikmati makanan kecil. Rio dan Ify memilih meja di ujung sebelah dalam. Tempat yang tidak dilalui banyak orang, hingga mereka bisa mengbrol dengan nyaman, tanpa terganggu.

            “Jadi, apa yang membuat kamu berpikir aku marah?” Rio langsung membuka percakapan begitu pelayan yang mencatat pesanan mereka beranjak pergi.

            Ify menundukkan pandangannya. “Aku berpikir,” tangannya melipat-lipat serbet kertas hingga membentuk lipatan kecil. Gugup. “Kamu marah setelah tau aku,” ia menelan ludah dengan susah payah, “setelah tau aku nggak menggugurkan kandunganku.”

            Suara Ify begitu lirih, nyaris tak terdengar, tetapi bagaikan gelegar halilintar di telinga Rio. Ia menatap Ify tanpa berkedip, dan tanpa bisa berkata-kata. Jadi, Kejora memang anaknya? Putrinya? Darah dagingnya! Walaupun selama ini ada kecurigaan di hatinya, pengakuan Ify tetap saja membuatnya terkejut. Jadi, itukah sebabnya perasaan asing itu muncul setelah ia bertemu Kejora? Mungkinkah itu ikatan batin antara ayah dan putrinya? Rio menelan ludahnya dengan susah payah. “Jadi, Kejora…benar-benar putriku..?” tanyanya dengan suara mengambang.

            Ify mendongak. Menatap Rio dengan pandangan terkejut bercampur bingung/ ia tak menduga Rio akan tampak begitu terkejut. Ia tak menyangka, meskipun Dokter Fauzi telah menyebutkan golongan darah Kejora, namun rupanya Rio masih belum bisa menebak kalau gadis kecil itu adalah putrid kandungnya. Perlahan, Ify menganggukkan kepalanya.

            “Tapi, bagaimana mungkin?” Rio menelan ludah, “bukankan umurnya baru sebelas tahun?”

            Ify memilin-milin serbet kertas di tangannya. “Maafkan aku.” Ia menundukkan kepala, menghindari tatapan Rio. “Aku berbohong.” Dengan sedikit khawatir, ia melirik Rio dari balik bulu matanya. Mengawasi perubahan ekspresi lelaki itu. Mempersiapkan diri untuk menerima kemarahan Rio. Namun, ekspresi Rio tidak terbaca. Mata lelaki itu menatap lurus ke arahnya. Kosong. Seakan menembusnya. Seakan ia tidak berada di hadapan lelaki itu. Jantung Ify berdebar cemas. “Kamu marah…?” tanyanya hati-hati.

            Perlahan pandangan Rio kembali focus, “Marah..?” Seulas senyum mengembang di wajanya. Ia menghela napas panjang, penuh kelegaan. “Ya Tuhan Ify..” ia menatap Ify dengan mata berbinar. “Aku bahagia, FY. Masih sulit untuk dipercaya, tapi aku sangat bahagia.”

            Ucapan Rio, ekspresi wajah lelaki itu, dan binary di matanya, membuat semua beban yang ditanggung Ify selama ini terangkat. Ia menundukkan pandangannya, lalu diam-diam menghela napas lega.

            “Kamu tahu Ify?” suara Rio terdengar lembut dan dalam. “Seperti apa hidupku saat meninggalkan kamu ke Jerman?” ia memperbaiki letak kacamataya, “Aku nggak bahagia, Fy. Aku selalu dihantui rasa bersalah. Nggak pernah sedetik pun aku berhenti menyesali kepengecutanku.”

            Ify mendongak. Menatap Rio dengan pandangan tak percaya. Tak bisa berkata-kata. Benarkah Rio begitu merasa bersalah? Ia membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, tetapi membatalkan niatnya saat pelayan datang membawakan pesanan mereka. Begitu pelayan meninggalkan meja mereka, ia kembali membuka mulut, hendak bertanya. Namun, Rio telah mendahuluinya.

            “Kamu tau Fy?” Rio mengaduk susu hangat di hadapannya. “Aku sedih sekali karena nggak ada satupun suratku yang kamu balas. Begitu ada kesempatan pulang ke Indonesia, orang pertama yang aku cari adalah kamu.” Ia menyesap susunya perlahan, lalu melanjutan. “Tapi ternyata kamu udah pindah. Semua tetanggamu aku datangi, aku tanya apakah ada yang tau alamat barumu, tapi tidak satu pun yang tahu.”

            Ify tercengang. Menatap Rio tanpa bisa berkata-kata. Sulit baginya memecrayai semua yang tertangkap oleh telinganya. Jadi, dulu Rio mencarinya?

            Perlahan. Rio mendongak. “Kamu tahu FY?” ia menatap Ify dengan pandangan sedih. “Waktu itu aku sudah memutuskan untuk menikahimu dan nggak akan kembali lagi ke Jerman.” Ia menghela napas berat. “Aku sudah nggak peduli kalau papa marah dan kecewa. Aku bahkan nggak peduli kalau papa mengusirku atau nggak mau mengakuiku sebagai anak lagi.”

            Ify tertegun. Ia mengaduk-aduk soto di hadapannya, tanpa bisa berkata-kata. Berbagai perasaan bercampur aduk di hatinya. “Tapi, bagaimana kamu bisa melakukannya?” tanyanya setelah dapat kembali bersuara. “Kamu kan sayang banget sama papa?”

            “Memang nggak gampang, tapi aku terlalu mengkhawatirkan kamu.” Rio menyuap makanannya, mengunyahnya perlahan, dan menelannya. “Kalaupun akhirnya papa marah dan mengusirku, aku Cuma busa berharap suatu hari nanti Papa akan memaafkan aku.”

            Ify tidak dapat berkata-kata. Penjelasan Rio begitu di luar dugaannya. Ternyata, selama ini ia telah salah menilai laki-laki di hadapannya ini. Ternyata Rio tidak pengecut seperti yang dituduhkannya selama ini. Lelaki itu memang ketakutan. Namun, menurut Ify, itu sesuatu yang wajar mengingat usianya yang masih amat muda. Mengingat mereka belum memiliki penghasilan. Mungkin dulu Rio bukan seorang gentleman seperti sekarang, tetapi paling tidak ia bukan pengecut. Diam-diam, Ify menghela napas panjang. Namun—yang terpenting—akhirnya Rio memutuskan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Dan kini, nilai Rio bertambah tinggi dimatanya karena lelaki ini memutuskan untuk mendonorkan darahnya pada Kejora, meskipun ia tidak tahu bahwa gadis kecil itu adalah putrinya. Sentuhan pada tangannya membuyarkan lamunan Ify. Jantungnya berdebar keras saat Rio menggenggam tangannya.

            “Aku mencintaimu, Ify,” Rio menatap Ify dalam. “Aku nggak pernah berhenti mencintai kamu.”

            Selama beberapa saat, Ify tak bisa berkata-kata. Ucapan Rio terlalu mengejutkannya. Jantungnya berdegup semakin cepat. Ia gugup, tetapi bahagia. Namun, bayangan Ashilla tiba-tiba memasuki benaknya, segera mengusir kebahagiannya. “Tapi, kamu juga mencintai Shilla, dan menikah dengannya.” Ia tidak dapat menyembunyikan rasa cemburunya.

            Bagaimanapun aku lelaki normal, Ify.” Rio meremas tangan Ify lembut, mencoba untuk menenangkan perempuan itu. “Sama seperti kamu, aku pun membutuhkan pendamping hidup.”

            Ify menatap Rio dengan tatapan bingung, tak mengerti maksud lelaki itu. Namun, perlahan, sebuah pemahaman memasuki benaknya. Ia lupa bahwa Rio mengiranya telah menikah. Ify tersenyum gugup. “Aku..” ia membasahi tenggoroknya yang terasa kering. “Aku nggak pernah menikah, Rio.”

            Seluruh darah di tubuh Ify seakan membeku. Ia menatap Ify dengan mata terbelakak. Tanpa sadar, ia melepaskan tangan Ify.

            “Sejak aku memutuskan untuk mempertahankan Kejora, ibu memutuskan untuk pindah ke Sukabumi, dan mengarang cerita itu untuk menutupi rasa malunya.” Ify menundukkan pandangannya. Tangannya mengaduk-aduk kuah sotonya dengan resah. “Dan akhirnya, aku juga terbiasa dengan cerita karangannya, bahkan mulai percaya bahwa aku memang sudah menikah dan suamiku meninggal saat aku hamil Kejora.”

            Rio tidak bisa berkata-kata. Terlalu terkejut oleh fakta yang dihamparkan ke hadapannya. “Lalu bagaimana dengan pekerjaan ayahmu?” tanyanya setelah mampu kembali bersuara. “Ayah terpaksa pindah kerja ke Sukabumi? Atau kalian hidup terpisah?”

            “Ayah meninggal nggak lama setelah tau keadaanku,” suara Ify bergetar. “Serangan jantung.”

            Hening.

            Hati Rio mencelos. Rasa bersalah mencengkram hatinya. Menyesakkan dadanya. Perlahan, Rio meraih tangan Ify dan menggenggamnya erat. “Maafkan aku, Ify,” ia tercekat. “Aku nggak nyangka, kepengecutanku sudah membuat kamu begitu menderita.” Ia menghela napas berat. “Aku tahu, permintaan maafku sama sekali nggak berarti apa-apa. Aku tau, aku nggak mungkin bisa membalikkan waktu—walaupun aku sangat berharap aku mampu melakykannya. Tapi, aku janji Ify,” ia membelai tangan Ify lembut. “Aku nggak akan pernah membuat kamu menderita lagi. Aku janji, aku akan selalu membuatmu bahagia. Aku janji, aku nggak akan meninggalkan kamu lagi—apapun situasinya.”

            Ify diam, tidak dapat berkata-kata. Ia menundukkan pandangan, menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. Menyembunyikan kebahagiannya yang terlalu membuncah ini. Ia tahu, Rio bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia yakin, Rio akan menepati janjinya. Lelaki ini bahkan telah menepati janjinya meskipun belum mengucapkannya. Bukankah selama ini Rio selalu ada di sisinya setiap kali ia membutuhkan pertolongan? Dan, yang lebih menyentuh hati Ify, lelaki ini bersedia mendonorkan darahnya meskipun tidak tahu bahwa Kejora adalah darah dagingnya. Lelaki ini begitu tulus padanya….dan Kejora.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar