Promises Promises [Part 13] : Mencintaimu Sekali Lagi
Ify menoleh ke jok belakang, dan mendapati Kejora
sedang tenggelam dalam novel yang dibacanya. Seulas senyum mengembang di
wajahnya. Gadis kecil itu benar-benar mirip dengan ayahnya, tidak bisa
melewati waktu senggang tanpa sebuah buku di tangan. Ify mengalihkan
pandangannya pada Rio saat merasakan tangannya digenggam, dan mendapati
laki-laki itu sedang menatapnya sambil tersenyum lembut.
“Capek, ya?” Rio meremas lembut tangan Ify.
“Nggak.”
“Bentar lagi nyampe, kok.”
Ify menyelipkan sejumput anak rambut yang terlepas dari
ikatannya ke balik telinga, lalu mengarahkan pandangannya keluar
jendela. Ia berusaha mengalihkan keresahannya dengan menikmati
pemandangan hutan pinus yang mereka lewati. Ia menghirup udara
sebanyak-banyaknya, membiarkan udara sejuk pegunungan mengisi
paru-parunya. Sudah sejak tadi Rio mematikan AC dan membiarkan kaca
jendela mobil terbuka. Membiatkan udara sejuk alami memenuhi mobil.
Rio memang penuh kejutan. Belum pukul 10.00 pagi,
lelaki itu telah muncul di rumahnya, dan mengatakan akan membawa Ify dan
Kejora ke kebun stroberi miliknya di Lembang—usaha iseng-iseng Rio.
Mereka akan menghabiskan weekend kali ini dengan menginap di pondok
milik Rio, dan menikmati buah stoberi yang masih segar—langsung dipetik
dari pohonnya. Awalnya Ify ragu. Ia memang mencintai Rio. Ia memang
selalu ingin di dekat lelaki ini—setiap saat. Namun, membayangkan akan
menginap bersama lelaki ini, walaupun hanya semalam, membuatnya gelisah.
Bersama Rio beberapa menit saja sudah menimbulkan berbagai reaksi yang
meresahkan pada tubuhnya. Apalagi lebih dari 24 jam? Namun melihat
betapa girang dan antusiasnya Kejora, ia pun mengalah.
Jalan semakin menanjak dan berkelok-kelok. Rio
memperlambat laju mobilnya, ketika melewati sebuah kedai sederhana yang
menjual buah stroberi segar dan susu stoberi. Mobilnya lalu berbelok
memasuki sebuah gerbang besi dengan tulisan besar di atasnya—Pondok
Stroberi. Tampaknya, mereka telah memasuki kawasan pribadi, karena jalan
yang mereka lalui hanya memiliki satu jalur. Tidak ada kendaraan lain,
pejalan kaki ataupun pengendara sepeda yang berpapasan dengan mereka.
Namun, Ify bisa melihat hamparan kebun stroberi di balik jajaran pohon
di pinggir jalan. Tidak terlalu luas. Mungkin hanya separuh lapangan
bola, dan kemudian berganti dengan pemandangan hutan pinus.
Ify mengalihkan pandangannya pada Rio. “Itu tadi kebun stroberimu?”
“Iya.” Rio mengangguk. “Nggak terlalu luas karena lebih
untuk kesenangan pribadi daripada usaha. Tapi, hasil panennya tetap
dijual olej karyawan kebun.”
“Di kedai kecil di depan pintu masuk tadi?”
“Yup.” Rio menghentikan mobilnya di depan sebuah
gerbang kayu, dan menarik rem tangan. “Kita udah sampai, Rara,” katanya
sambil membuka pintu mobil dan melangkah turun.
Kejora mendongak dari buku yang dibacanya. “Mana kebun
stroberinya?” ia memandang sekeliling dengan kening berkerut. “Kok hutan
gini?”
Ify memutar bola matanya. Kejora selalu begitu kalau
sudah membaca buku. Lupa akan keadaan sekelilingnya, dan lupa akan
segalanya. “Udah lewat, Ra,” jawab Ify sambil memperhatikan Rio yang
mendorong pintu pagar.
“Lho? Kok, nggak berhenti dulu? Katanya mau ke kebun stroberi?”
Rio, yang telah kembali masuk ke mobil, terbahak. “Iya,
kita istirahat dulu sebentar, terus ke kebun stroberi,” ia mengendarai
mobilnya melewati gerbang. “Nggak jauh kok, Ra.”
Jalan di hadapan mereka membelok ke kiri, dan langsung
bertemu dengan area terbuka, dengan sebuah pondok cantik di tengahnya.
Rio menghentikan mobilnya di depan anak tangga beranda, dan bergegas
turun. Ify dan Kejora tidak mau ketinggalan. Keduanya bergegas mengikuti
Rio turun dari mobil, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling
pekarangan. Ify berdecak kagum. Bangunan bercat putih dan beratap biru
itu terletak di tempat yang cukup tinggi, tetapi bersembunyi di antara
kerimbunan pohon pinus.
Ify menghampiri Rio yang sedang mengeluarkan travel bag
dan kantong-kantong belanjaan mereka dari bagasi. Ify meraih dua
kantong plastik besar, menunggu hingga Rio menutup bagasi, lalu
mengikuti lelaki itu menaiki tangga beranda yang terbuat dari batu alam.
Kejora mengikuti mereka dengan membawa setumpuk buku di tangan, dan tas
ransel di punggungnya.
Begitu Rio membuka pintu, Ify melangkah masuk, dan
menghentikan langkahnya di tengah ruangan. Ia menyapukan pandangannya ke
sekeliling, dan mendesah kagum. Interiornya mengusung gaya modern
dengan sentuhan tropis. Sebuah permadani oriental terpasang di lantainya
yang hanya berupa semen, bukan keramik seperti pada umumnya. Satu set
sofa dengan dudukan lebar dan nyaman mengelilingi sebuah coffee table
kayu besar.
“Kamu suka pondok ini?”
Ify mengangguk sambil melanjutkan langkahnya menghampiri sekat di tengah ruangan. “Suka sekali.”
Ify mendapati ruang makan di balik sekat, dengan
dinning table bundar di tengah ruangan, dapur di sisi kanan, tangga dari
batu alam yang menuju ke lantai atas di sisi kiri, dan sliding door
kaca—membatasi ruang makan dengan beranda belakang—di bagian ujung
ruangan.
“Kamarnya di atas ya, Om?” tanya Kejora yang mengikuti Ify mengamati ruangan.
Rio mengangguk. “Yuk, kita liat kamarnya.”
Ify meletakkan kantong plastic yang dibawanya di atas
meja pantry, lalu bergegas menaiki tangga untuk menyusul Rio dan Kejora
ke lantai atas. Langkahnya terhenti di anak tangga teratas. Ia
menyapukan pandangannya ke sekeliling ruang duduk luas. Lantainya
tetap—berupa semen, dengan jendela-jendela besar di satu sisi, dan—mata
Ify terbelalak—perapian! Ia selalu ingin memiliki perapian di rumahnya,
tetapi iklim Jakarta yang panas tentu saja membuat ide perapian di dalam
ruang duduknya terasa konyol. Namun, di pondok ini perapian akan sangat
berguna. Selain menghangatkan ruangan, mempercantik interior, juga
memberi kesan romantis.
Ify menghampiri perapian yang terbuat dari batu alam
warna gelap itu dan membelainya dengan penuh kekaguman. “Ini berfungsi?”
Ia membungkuk dan mengintip cerobong asapnya.
Rio tersenyum geli, “Tentu saja.” Ia mengalihkan
pandangannya pada Kejora. “Rara boleh pilih mau tidur di kamar yang
mana. Boleh di kamar yang itu,” ia menunjuk kamar di sisi kiri ruang
duduk, “atau yang itu,” ia mengalihkan telunjuknya ke kamar di sisi
kanan. “Tapi, sebelum Rara memilih kamar, Om mau nunjukin sesuatu.”
Kejora mendongak, mentap Rio penasaran. “Apa, Om?”
Ucapan Rio juga membuat Ify penasaran. Cepat, ia
memutar tubuhnya, dan mengikuti Rio dan Kejora. Mereka menghampiri
jendela, lalu berbelok ke kiri. Kening Ify berkerut saat mendapati
sebuah koridor tersembunyi di antara kamar tidur dan jendela besar.
Tidak ada apa-apa di koridor buntu dan sempit itu selain seuntai tali
yang tergantung dari langit-langit.
Kejora menatap Rio dengan pandangan bingung, “Om Cuma mau nunjukin Rara tali doang?”
Rio terkekeh. “Liat nih,” ia meraih tali yang terjulur,
lalu menariknya. Perlahan, sebuah tangga kayu turun dari langit-langit.
Mata Kejora terbelalak melihatnya. “Wuih, ruang rahasia ya, Om? Seperti
yang ada di cerita-cerita lima sekawan!” serunya antusias.
Rio tertawa sambil mengangguk. “Yuk, naik.”
Tanpa perlu ditawari dua kali, Kejora langsung menaiki tangga.
Seruan girang dan kagum yang tertangkap oleh telinga
Ify, membuat rasa penasarannya semakin menjadi. Ia segera menyusul
putrinya menaiki tangga. Ify sudah menduga, ruang tersembunyi itu pasti
loteng. Namun ia penasaran dengan interiornya. Hanya dalam waktu
beberapa detik ia sudah berada di kamar loteng. Ruangan itu sangat luas
karena menempati separuh pondok, dengan langit-langit yang tinggi di
satu sisi, lalu menurun hingga menyentuh lantai kayu di sisi lain.
Bidang-bidang plafon dan kisi-kisinya terbuat dari kayu pinus. Sebuah
bay window terletak di ujung ruangan, dilengkapi dengan puff berwarna
merah muda dan bantal-bantal warna-warni pada dudukannya. Sebuah single
bed diletakkan beberapa meter dari bay window, dengan bed cover putih
bercorak mawar merah, dan dipenuhi bantal-bantal warna merah di atasnya.
Beberapa syal dan stola disangkutkan secara sembarang pada headboard.
Di hadapan ranjang terdapat rak sederhana tetapi memiliki audio visual
yang canggih. Sebuah loveseat diletakkan di dekat tangga, dengan sebuah
throw bermotif—lagi-lagi mawar merah—di atasnya. Sebuah karpet tebal
berwarna cerah terhampar di bawah coffee table. Ruangan ini cukup
sederhana, tanpabanyak aplikasi, tetapi sangat nyaman dan…feminim.
Mungkinkah kamar ini khusus untuk ditempati Ashilla? Tanpa dikehendaki,
rasa tak suka merayapi hatinya. Walaupun ia tahu betapa Rio amat
mencintainya, namun ia tak dapat mencegah secuil rasa cemburu menyelinap
masuk ke hatinya. Ya, ia sedikit cemburu pada Ashilla. Pada perempuan
yang pernah mendampingi hidup lelaki yang dicintainya. Perempuan yang
pernah dicintai dan dilindungi Rio. Perempuan yang pernah berbagi suka
dan duka dengan Rio.
“Bagaimana menurutmu?”
Ify mengangkat bahu, santai. “Lumayan.” Ia mengalihkan
pandangannya ke sudut ruangan dan mendapati sebuah pintu di sisi lemari
pakaian besar.
“Itu kamar mandinya,” Rio segera menjelaskan, lalu
mengalihkan pandangannya pada Kejora yang sedang menempelkan hidungnya
pada jendela. “Jadi, Rara mau pilih kamar yang mana?”
Kejora memutar tubuhnya, menatap Rio dengan mata berbinar. “Rara boleh pilih kamar yang ini, om?”
Rio mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Tapi tempat tidurnya kecil, Ra,” celetuk Ify, “Nanti Mama tidur dimana?”
Kejora mendecakkan lidahnya sambil menggeleng-gelengkan
kepala. “C’mon Mom, kayak nggak ada kamar lain aja?” katanya tak sabar,
seakan sedang berbiacara pada anak yang lebih kecil saja.
Rio tertawa geli melihat ulah Kejora, sementara Ify hanya bisa memutar bola matanya.
“Ya udah, Rara istirahat dulu ya,” Rio mengalihkan pembicaraan. “Om mau bikin masakan yang enak buat makan siang.”
Kejora menatap Rio dengan pandangan tidak percaya. “Om bisa masak?”
“Bisa dong.”
Kejora menatap Rio kagum. “Cool…”
Rio tertawa pelan. Ia mencolek tangan Ify, mengajaknya turun.
“Jangan bikin berantakan ya, Ra,” pesan Ify sambil memutar tubuhnya, lalu menuruni tangga.
“Beres, Moooomm..”
“Sekarang, giliranmu memilih kamar,” kata Rio begitu kaki Ify menjejak di lantai semen.
Ify melangkah melewati Rio. “Rumah ini bersih, sama
sekali nggak ada debu,” ia menyolek jendela dengan jarinya. “Ada yang
menjaga?”
“Ada. Mandor kebun stroberi. Pak Sodiq, namanya.” Rio
mengikuti Ify. “Tinggalnya nggak jauh dari sini. Dan aku memang udah
memintanya untuk membersihkan pondok sejak kemarin. Aku bahkan sudah
meminta Pak Sodiq menyediakan kayu bakar untuk perapian.”
Ify melirik Rio dengan mata menyipit. “Jadi, liburan ini benar-benar sudah kamu rencanakan ya?”
“Ya..” Rio mengangkat bahunya dengan santai, “gitu deh,” jawabnya kalem.
Ify menghela napas panjang, lalu melongokkan kepalanya
ke kamar tidur yang menghadap ke pekarangan depan pondok. “Ini master
bedroom?”
“Bukan, kamar ini jarang digunakan.”
“Kalau begitu, aku pilih kamar ini.”
Rio memutar tubuhnya, menghampiri travel bag milik Ify,
lalu membawanya masuk ke kamar tidur yang dipilih perempuan itu.
Didapatinya Ify sedang berdiri di depan jendela, mengamati pemandangan
di bawah.
“sementara aku menyiapkan makan siang,” Rio meletakkan travel bag milik Ify di atas credenza, “kamu istirahat saja.”
Ify memutar tubuhnya, menghadap Rio. “Aku nggak capek.”
Ia melangkah menghampiri Rio. “Ayo, aku bantu,” katanya seraya menyusul
Rio.
**
Menurut Rio, ia ingin membuatkan sup ravioli untuk Ify
dan Kejora. Ya, tentu saja di daerah yang dingin seperti ini, makan sup
panas pasti terasa lebih nikmat. Istri Pak Sodiq sudah memasakkan nasi
dan membiarkannya tetap hangat di dalam magic jar, sehingga mengurangi
pekerjaan Rio. Lelaki itu cukup membuat sup saja. Rio mengeluarkan botol
plastic berisi air berwarna kecoklatan dan berminyak, menuangkannya ke
dalam panic lalu metelakkan pancinya di atas kompor. Ternyata, lelaki
itu sudah menyiapkan kaldu dari rumah.
Karena tak ingin menganggur, Ify mengeluarkan
barang-baring belanjaan mereka dari kantong plastic. Setelah membiarkan
Rio mengambil bahan-bahan yang dibutuhkannya untuk memasak, ia
memasukkan sisanya ke lemari es dan kitchen set. Namun, setelah itu, Ify
tidak tahu lagi harus melakukan apa. Ify mengamati Rio yang bekerja
dengan sangat cekatan. Sama sekali tidak tampak canggung berurusan
dengan peralatan dapur. Sudah jelas, lelaki itu sangat terbiasa memasak
sendiri. “Ada yang bisa aku bantu?”
“Ada,” jawab Rio tanpa menoleh. “Duduklah yang manis.”
Ify mengangkat bahunya, lalu duduk di balik meja
pantry. Mengamati Rio bekerja sambil bertopang dagu. “Hmm, Yo..?” Bosan
hanya berdiam diri, Ify pun tidak dapat menahan diri untuk tidak membuka
mulut. “Kamar yang di loteng itu,” ucapnya berhati-hati, “kamar Ashilla
ya?”
“Hmm..” Rio mengelap tangannya dengan serbet, “kok tau?” ia mengambil wajan dan meletakannya di atas kompor.
Ternyata Ify tidak salah duga. “Ya, tau aja…feminim
banget sih.” Ify menyesap orange juice perlahan, sambil memikirkan cara
terbaik untuk mengajukan pertanyaan berikutnya. Salah satu hal yang
sejak tadi membuatnya penasaran. “Single bed itu..baru diletakkan
disitu?” tanyanya dengan hati-hati sementara matanya mengawasi Rio
dengan seksama. Namun, lelaki itu memunggunginya, hingga ia tidak tahu
bagaimana reaksi lelaki itu begitu mendengar pertanyaannya.
“Udah lama kok,” jawab Rio kalem, tanpa menoleh. “Kami
jarang ke tempat ini bersama-sama. Kebanyakan Shilla yang kesini
sendirian.” Desisan minyak panas terdengar keras saat Rio memasukkan
bahan-bahan yang mengandung air. “Dia senang menyepi di sini, apalabgi
kalau beban kerjanya dirasanya sudah terlalu berat, atau saat ia sedang
jenuh, atau saat ia menghindari wartawan infotainment.” Ia menuangkan
kaldu ke dalam wajan. “Shilla nggak suka tidur sendirian di tempat tidur
besar. Membuatnya merasa kesepian, katanya.” Rio menoleh, menatap Ify.
“Aku nggak tau pasti alasannya membuat kamar di loteng, tapi itu
sebabnya ia menaruh single bed disana.”
Ify mengangguk paham, lalu menundukkan pandangannya.
Masih banyak yang ingin ditanyakannya pada lelaki itu. Ia ingin tahu apa
sebenarnya yang terjadi pada perkawinan Rio dan Ashilla. Namun, ia
khawatir, pertanyaannya akan membuat suasana menjadi tidak nyaman. Ify
menghela napas berat, dan memutuskan untuk tidak bertanya. Lebih baik
membiarkan Rio menceritakannya sendiri—itupun kalau lelaki itu mau
bercerita.
Rio mengambil sendok, menuangkan sedikit kuah sup di
atasnya, meniupnya sedikit, lalu mendekatkannya ke bibir Ify. “Cicipin,
deh.”
Dengan hati-hati, Ify menyeruput kuah sup, lalu menatap mata Rio dengan melebar. “Hmm, enak.”
Rio tertawa geli melihat kuah sup yang menetes dari
sudut bibir Ify. Tanpa pikir panjang, ia menjulurkan tangannyam menyeka
sudut bibir Ify. Namun, begitu jarinya merasakan kelembutan bibir Ify,
dorongan gelap mendesak keluar. Rio menelusuri bibir Ify dengan jarinya.
Namun, sekedar menyentuh tak lagi cukup baginya. Ia ingin merasakan
lebih banyak lagi. Ia ingin mencicipi bibir indah itu. Ia ingin
merasakan manisnya.
Sentuhan jari Rio membuat tubuh Ify menegang. Seakan
ada ribuan kupu-kupu berterbangan di seluruh tuuhnya. Cara Rio
menatapnya, membuat Ify seakan meleleh. Rio mengangkat dagu Ify, dan
membungkukkan tubuhnya. Ify hanya menatap wajah Rio yang semakin dekat
dengan pandangan kosong. Tidak mampu bergerak. Tidak mampu berpikir.
Saat bibir lelaki itu mengecup lembut bibirnya, seluruh saraf di
tubuhnya bergetar resah. Hasrat yang selama ini dikuncinya rapat-rapat,
kini terlepas begitu saja. Tanpa disadarinya, ia telah membalas lelaki
itu.
Merasakan Ify membalas menciumnya, membuat Rio semakin
berhasrat. Membuatnya ingin melumat bibir indah Ify. Membuatnya ingin
merasakan lebih banyak lagi. Untunglah hasrat belum mengambil alih
seluruh akal sehatnya. Walaupun harus berjuang sekuat tenaga melawan
hasratnya, Rio berhasil menarik diri.
Rasa kecewa menghajar Ify saat Rio berhenti menciumnya.
Namun rasa malu pada dirinya sendiri, pada gairahnya yang lepas
kendali, segera mengusir kekecewaannya. Ify tidak mengerti, mengapa ia
dapat begitu bergairah setiap kali Rio menyentuhnya dengan cara seperti
itu—tidak tiga belas tahun yang lalu, juga tidak saat ini. Wajah Ify
merona. “Aku cari Rara dulu,” katanya dengan napas sedikit tersengal.
Tanpa menunggu jawaban Rio, Ify melompat turun dari kursi dan melangkah cepat menghampiri tangga.
**
Usai makan siang, Rio mengajak Ify dan Kejora ke kebun
stroberi. Seperti dugaa Ify, kebun stroberi milik Rio tidak terlalu
besar. Pasti tidak membutuhkan banyak waktu untuk mengelilinginya. Para
pengunjung yang datang dapat memetik sendiri buah stroberinya, lalu
menikmatinya di saung-saung yang disediakan di pinggir kebun. Ify
merapatkan jaketnya sambil menyapukan pandangannya ke sekeliling.
Hamparan pohon stroberi dengan gerumbulan buahnya yang merah segar,
tampak amat indah di tengah hutan pinus yang mengelilinginya. Setelah
sekian lama berada di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta, lengkap dengan
kemacetan dan polusinya, berada di tempat seperti ini terasa begitu
menyenangkan dan menyegarkan. Ify menghirup udara pegunungan
sebanyak-banyaknya, lalu menghembuskan napas dnegan perlahan.
Kejora amat antusias melihat buah stroberi yang merah
dan gendut-gendut yang tersebar di sekelilingnya. Begitu Pak Sodiq
membekalinya dengan keranjang bambu kecil dan gunting khusus untuk
memetik buah, gadis kecil itu segera berlari menghampiri jajaran pohon
mungil yang memenuhi kebun. Memilih stroberi yang merah dan gendut, lalu
memetiknya. Ify senang melihat antusiasme Kejora. Ia tersentak kaget
saat merasakan tangannya diraih Rio. Tanpa berkata-kata, lelaki itu
menariknya menghampiri jajaran pohon stroberi. Seperti Kejora, Rio juga
sudah membekali diri dengan keranjang bamboo dan gunting.
“Lumayan juga pengunjungnya, Yo.” Ify menyapukan pandangannya ke sekeliling.
“Hati ini memang hari panen, jadi banyak yang datang.”
Rio memetik sebuah stroberi, lalu menyodorkannya ke mulut Ify. Melihat
Ify menatapnya ragu, ia tertawa. “Ayolah. Jangan takut begitu. Aku nggak
akan menciummu disini,” bisiknya, menggoda.
Wajah Ify menghangat, ia pun membuka mulut, dan
membiarkan Rio menyuapi stroberi gendut itu. Cairan manis langsung
memenuhi mulut Ify begitu ia menggigitnya. “Hmm, en—“
Belum sempat Ify menyelesaikan ucapannya, Rio sudah
membungkuk dan mengecup bibirnya sekilas. Ify begitu terkejut sehingga
selama beberapa saat ia tidak bisa berkata-kata. Hanya wajahnya saja
yang bereaksi, merona. Suaa tawa Rio yang merayap masuk ke telinganya,
akhirnya menyentak ketertegunannya. Ia melemparkan tatapan kesal kepada
lelaki itu.
“Maaf,” kata Rio kalem sambil menyeringai lebar. Tanpa secuil pun penyesalan di wajah tampannya.
“Penipu,” gerutu ify dengan wajah cemberut, berusaha menutupi debar resah di jantungnya.
Rio tertawa lirih. “Tau nggak, stroberi berbuah setelah
tiga bulan,” ia menjelaskan sambil kembali memetik buah stroberi, “dan
masa panennya setiap tiga hari selama tiga tahun.” Rio meletakkan
beberapa buah sekaligus pada keranjang bamboo yang dibawa Ify. “Kita
beruntung datang hari ini.”
“Ini sih bukan keberuntungan, Yo.” Ify mencibir. “Kamu
memang sudah merencanakan semuanya. Kamu tau pasti hari ini hari panen.
Jadi, apanya yang beruntung?”
Rio tertawa kecil. “Kamu benar. Bukan keberuntungan
namanya kalau direncanakan.” Ia menegakkan tubuhnya, menatap Ify dengan
pandangan teduh yang mampu menjungkir balikkan hati Ify. “Tapi aku
benar-benar merasa beruntung, Fy.” Nada suara Rio terdengar serius dan
lembut. “Aku beruntung kamu nggak menuruti permintaanku dulu. Aku
beruntung bisa bertemu denganmu lagi.” Ia meraih tangan Ify dan
menggenggamnya erat. “Aku beruntung bisa mendapatkan kembali cintamu.
Semua itu membuat aku merasa menjadi laki-laki paling beruntung di
dunia.”
Ucapan Rio membuat Ify tidak bisa berkata-kata. Ia
memandang Rio dengan mata menyipit, mengira laki-laki itu sedang
bercanda. Sedang menggodanya. Namun, cara Rio menatapnya, membuatnya
yakin lelaki itu serius dengan perkataannya. Perlahan, wajah Ify terasa
menghangat. Ify tahu, Rio masih mencintainya. Lelaki itu telah
mengatakannya ketika mereka masih di rumah sakit di Sukabumi. Namun,
entah mengapa, cara lelaki ini mengucapkannya—saat ini, di tempat
ini—membuat perasaannya lebih kacau balau. Ify mengerjapkan matanya yang
indah, lalu menunduk. Mencoba menyembunyikan kegugupannya.
“Mom! Om Rio!”
Suara Kejora mengejutkan Ify dan Rio. Serentak, keduanya menoleh pada gadis kecil yang berlar menghampiri mereka.
“Rara dapet banyak banget, Mom,” Kejora mengangkat
keranjang bambunya, memamerkan tumpukan buah stroberi yang sudah masak
dengan bangga.
“Waah, hebat, Om bagi ya.” Rio menjulurkan tangan dan
mencomot sebutir stroberi. Sambil mengunyah stroberi, Rio membiarkan
Kejora menariknya ke bagian lain kebun untuk memetik stroberi lagi.
Sementara Kejora asik berceloteh riang di sisinya. Rio menoleh kepada
Ify. Bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu.
Ify tertegun. Meskipun tak ada suara yang keluar dari
mulut Rio, tetapi ia tahu apa yang diucapkan lelaki itu. Wajahnya
kembali merona. Kehangatan memenuhi hatinya. Senyumnya mengembang. “I
love you, too,” balasnya, juga tanpa suara.
----
Aku ngepost satu part ada alasannya, mau wanti-wanti. Part 14
frontal banget. Jadi, yang masih di bawah umur jangan baca. Lanjut apa
enggak nih? :p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar