Promises Promises [Part 15]: Mencintaimu Sekali Lagi
IFY terbelalak tak percaya saat melihat isi kotak di hadapannya. Perlahan, ia meraih gaun putih dari dalam kotak dan menghamparkannya diatas ranjang. Dipandanginya gaun one shoulder yang chic itu dengan penuh kekaguman.
“Wooow, Herve Leger!” Kejora membelalak menatap gaun ibunya. “Pasti mahal nih, Mom,” ia membelai bahan gaun yang halus.
Ify melirik Kejora dengan mata menyipit. “Tau dari mana kalau ini mahal?”
“Please deh, Mom.” Kejora memutar bola matanya. “Om Rio tuh, nggak mungkin beliin kita barang murah. Liat aja tuh sepatu yang dihadiahin untuk Mommy,” ia menunjuk heels yang masih berada di kotaknya. “Semua cewek disekolah Rara juga tau, kalo Louboutin itu mahal.”
“Kayaknya Mama salah deh, biarin kamu sekolah disitu,” gerutu Ify, berpura-pura menyesal.
Kejora mencibir, lali menyeringai lebar.
Ify mendesah bahagia. Rio terlalu memanjakannya. Hanya karena meminta Ify makan malam dengannya saja, lelaki itu sampai menghadiahkan Ify gaun dan sepasang sepatu yang begitu indah.
“Mom udah jadian ya sama Om Rio?”
Pertanyaan yang tak terduga keluar dari bibir putrinya, membuat wajah Ify menghangat. “Jadian apaan, sih?” ia berpura-pura tak mengerti maksud putrinya.
“Ah, nggak usah pura-pura deh, Mom.” Kejora memutar bola matanya. “Rara kan liat sendiri, dari di pondoknya Om Rio sampe kita pualng, Om Rio sama Mommy curi-curi oandang mulu.”
Wajah Ify semakin menggelap. “Ah Rara sok tau,” gerutunya salah tingkah. Ia segera membalikan tubuhnya, dan menghampiri lemari.
Kejora terkikik. “Tapi Mom, Rara seneng kalo Mom pacaran sama Om Rio,” ia melemoar tubuhnya ke atas tempat tidur Ify, lalu menghela napas berat. “Rara pengen Om Rio jadi papa Rara.”
Jantung Ify berdegup kencang. Ia menggantungkan gaun barunya pada hanger, di dalam lemari, ”Rara serius?” ia memutar tubuhnya, “Pengen Om Rio jadi papa Rara?”
Kejora menggangukkan kepala kuat-kuat. “Om Rio itu cool banget, Mom. Sayang banget lagi, sama Mommy dan Rara.”
“Sok tau!” gerutu Ify geli. “Udah ah, Mama mau siap-siap dulu. Entar Om Rio keburu datang.” Ia melangkan menuju kamar mandi. Saat melewati kejora, disempatkannya untuk membelai rambut putrinya.
Ya, ia pun ingin menikah dengan Rio. Menjadi milik lelaki itu seutuhnya. Untuk selamanya. Namun, tetap saja, keputusan ada ditangan Rio. Mana mungkn seorang perempuan melamar laki-laki?
Hati Rio seakan teremas melihat Kejora dengan penuh semangat menceritakan sekolah barunya. Wajah cantiknya tampak begitu cerah dengan matanya yang berbinar indah. Kedua tangan dan kepala gadis kecil itu bergerak-gerak ekspresif, hingga membuat buntut kudanya yang ikal terayun-ayun. Dada Rio sesak oleh kebanggaan yang tiada tara. Kebanggaan seorang ayah.
Celoteh kejora yang tiba-tiba terhenti, suasana yang tiba-tiba sepi, membuyarkan lamunan Rio. Alisnya terangkat saat melihat gadis kecil itu menatap lurus melewati kepalanya. Mata putrinya terbelalak lebar, dan mulutnya menganga. Mengikuti rasa penasarannnya, Rio menoleh... dan tercengang.
Ify memang cantik, tetapi malam ini perempuan itu tampak luar biasa cantik. Gaun yang dibelikan Rio, semakin memamerkan bahu dan lengannya yang ramping dan indah. Rambutnya yang digelung, semakin menonjolkan lehernya yang jenjang. Model gaun yang sedikit longgar tak mampu menyembunyikan keindahan tubuh di baliknya. Dan, perempuan itu berjalan dengan keanggunan seorang penari. Menimbulkan kesan menggangu yang memancing hasrat Rio.
“Mom, you’re so hot!” puji Kejora dengan pandangan kagum.
Ify tersenyum geli, lalu mengalihkan pandangannya pada Rio-dan, jantungnya berdesir. Rio duduk bersandar dengan satu kaki ditumpukan di atas kaki lainnya. Gaya lelaki itu tampak santai, sekaligus anggun. Namun tetap terlihat amat maskulin. Seperti layaknya sikap seorang aristokrat. Begitu tampan. Dan, cara lelaki itu menatapnya, membuat jantung Ify berdebar resah dan bibirnyha mengering seketika. Membuatnya merasa seperti gadis remaja dikencan pertamanya. “Berangkat sekatang?” tanyanya, berusaha menutupi keresahannya.
Pertanyaan Ify menyetak Rio dari keterpanaanya. Dengan susah payah ia menelan ludah, lalu mengangguk canggung dan bangkit dari sofa yang didudukinya. “Om pergi dulu ya, Ra,” ia membelai kepala kejora penuh kasih, berhenti diambang pintu. Menungi Ify.
Ify menghampiri Kejora dan mengecup kepala putrinya. “Jangan lupa bikin PR,” ia mengingatkan, lalu menghampiri Rio.
Kejora hanya mengangguk.
Ify menyambut tangan Rio yang terulur padanya dengan seulas senyum manis, lalu melingkarkan lengannya pada lengan kokoh lelaki itu. Membiarkan Rio membimbingnya keluar rumah dan masuk ke mobilnya
Restoran yang mereka datangi bernuansa klasik Eropa. Suasananya tenang dan romantis dengan lilin-lilin yang menyala dan alunan musik slow jazz. Makanan yang disajikan pun sangat lezat. Ify menghela napas panjang. Rio benar-benar telah berubah. Lelaki di hadapannya ini benar-benar tahu cara memanjakan seorang perempuan. Mungkin, lima tahun tinggal di Jerman telah membuatnya belajar banyak hal. Tidak hanya menghilangkan kemanjaannya, tetapi juga menjadi lelak yang lebih bertanggung jawab-dan menjadi seorang gentleman. Atau jangan-jangan, ada gadis-gadis cantik berambut pirang yang mengajarinya semua itu? Tanpa dikehendaki, seleret kecemburuan memasuki hatinya.
Ify menggeleng, beusaha mengenyahkan perasaan konyol itu dari dalam hatinya. Tidak seharusnya ia cemburu. Itu semua telah lama berlalu. Saat itu Rio kehilangan jejaknya, tidak tahu keberadaan Ify. Dan, pikiran bahwa Rio berusaha keras mencarinya, dapat menghibur hati Ify. Lagi pula, Rio benar. Lelaki itu berhak menjalani hidupnya sebagai lelak normal.
“Kamu cantik sekali malam ini.”
Ucapan Rio membuyarkan lamunan Ify. Dalam sekejap, wajahnya menghangat. Perlahan, ia mendongak. “Hanya malam ini?”
Rio menyeka bibirnya dengan serbet makan, lalu tersenyum. “Kamu selalu cantik. Tapi malam ini, kamu luar biasa cantik.”
Janting Ify berdegup resah saat melihat kelembutan terpancar dari mata Rio. “Mungkin, karena gaun yang kamu hadiahkan,” ia menundukkan kepala, dan meletakan garpu dan pisau makannya.
Rio menggeleng. “Bukan gaun itu yang membuatmu cantik, tapi kamu yang membuat gaun itu terlihat lebih indah.”
“Gombal.” Gerutu Ify, berusaha menyembunyikan wajahnya yang semakin merona.
Rio tertawa kecil.
Ify menyeka bibirnya dengar serbet. “Mungkin, dalam tiga hari, rumahm sudah selesai,” ia berusaha mengalihkan pembicaraan, sebelum hatinya semakin melambung oleh sanjungan Rio. “Aku harap kamu puas dengan interior-nya.”
“Tentu saja aku puas,” Rio menyesap wine-nya. “Seleramu bagus.”
Ify menggeleng. “Bukan seleraku yang bagus, tapi—“
“Rio, Darling!”
Seruan seorang perempuan, memotong ucapan Ify. Dengan penuh rasa ingin tahu, Ify menoleh. Matanya terbeliak saat mendapati seorang perempuan cantik, bergaun hitam dengan potongan leher yang sangat, sangat, sangat rendah, menghampiri meja mereka—lebih tepatnya, menghampiri Rio. Perempuan itu membungkukkan tubuhnya di sisi Rio, dan mengecup pipi lelaki itu. Darah di tubuh Ify seakan membeku. Ashilla!
Mata Ify seakan tidak dapan berkedip. Suara-suara di sekitarnya berubah menjadi dengungan, tidak dapat tercena oleh otaknya. Ia terpesona. Ashilla jauh lebih cantik daripada yang dilihatnya dilayar kaca. Cantik, seksi, begitu percaya diri, dan amat glamour. Ia menelan ludahnya dengan susah payah. Berada di dekat Ashilla, membuatnya merasa tak berarti. Merasa tak terlihat, dan merasa sangat tidak menarik. Melihat cara Ashilla berbicara kepada Rio, dan cara membelai pundak lelaki itu, bukan rasa cemburu yang menyelubungi hati Ify, melainkan perasaan minder. Berapa serasinya mereka. Rio tampan dan sangat mapan. Ashilla cantik dan terkenal. Sementara dirinya?
“Oh, kenalkan....”
Tangan bianca yang tiba-tiba terulur di hadapannya, menyentak Ify dari keterpanaannya. Dengan canggung, ia menyambut tangan perempuan itu dan memperkenalkan diri.
“Anda cantik,” mata Ashilla menyapu Ify dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya. “Dan, punya selera yang bagus,” ia kembali menaikkan pandangannya ke gaum Ify, dan mengamati dengan mata menyipit. “Herve Leger?”
Ify mengganguk dengan salah tingkah. Wajahnya merona.
Ashilla melempar senyum penuh arti pada Ify, lalu kembali mengarahkan pandangannya pada Rio. “Selamat bersenang-senang, Darling,” ia meraih wajah Rio, membelai dan mengecup pipinya. “Sampai ketemu lusa,” bisinya, sambil menatap evan penuh arti.
Kening Ify berkerut. Apa maksudnya? Ia menatap Rio, tetapi lelaki itu hanya menatap kosong piring, makannya, sambil menyesap wine.
Ashilla mengalihkan pandangannya pada Ify, tersenyum. “Nice to meet you.” Ia menggangukkan kepalanya sedikit, lalu berbalik.
Ify tersenyum canggung. Ditatapnya punggung Ashilla yang menjauhi meja mereka. Aura sensual dan percaya diri begitu kental melingkupi perempuan itu, hingga tak hanya para lelaki yang menoleh untuk menikmati keindahan yang terpancar dari fisi Ashilla, namun para perempuan pun menatapnya dengan penuh kekaguman sekaligus iri
“Kamu masih mau dessert?”
Pertanyaan Rio membuyarkan lamunan Ify. Ify menggelengkan kepala perlahan. Walaupun belum benar-benar kenyang, namun ia telah kehilangan nafsu makannya.
“Mau pulang sekarang?” Tanya Rio lagi.
Ify mengganguk.
Tanpa buang waktu, Rio memanggil pelayan dan bon makan malam mereka
Perjalanan pulang terasa begitu berbeda. Rio jadi lebih pendiam, dan sedikit murung. Berkali-kali Ify meliriknya, dan mendapati lelaki itu seakan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mungkin sebaiknya ia tidak menggangu lelaki ini, tetapi rasa penasarannya begitu besar. Begitu mengusiknya.
Ify menarik napas dalam-dalam. “Rio...?”
“Hmm...” jawab Rio tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan di depannya.
“Aku boleh tanya sesuatu?” tanya Ify hati-hati.
Rio melirik Ify dari sudut matanya. “Apa...?”
“Hmm...” dengan gugup, Ify meraih seuntai rambut yang terlepas dari gelungnya, lalu menyelipkannya dibalik telinga. “Apa maksud Ashilla tadi...?”
Rio menoleh pada Ify. Satu alisnya terangkat. “Yang mana?”
“Waktu dia bilang,” Ify memutar-mutar gelang di tangannya dengan gelisah, “Sampai ketemu lagi...?”
Kening Rio berkerut sejenak, seakan sedang berusaha mengingat. Kemudian seulas senyum, mengembang diwajahnya. “Oh, itu..” ia melemparkan tatapan menggoda pada Ify. “Kenapa? Kamu cemburu?”
Wajah Ify menghangat. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Kesal. Bukannya menjawab, Rio malah menggodanya. “Nggak.”
Rio meraih tangan Ify dan mendekatkan ke wajahnya. Bibir Rio yang melekat pada punggung tanganya, terasa lembab dan hangat dikulitnya. Dan, kehangatan menjalar hingga ke hati Ify. Mengusir kekesalanna dalam sekejap.
“Aku memang akan ketemu dia,” Rio meletakkan tangan Ify di pangkuannya dan menggengamnya erat, seakan tidak ingin melepaskannya, “lusa. Di pengadilan.”
Tentu saja! Betapa bodohnya dirinya. Bagaimana ia bisa lupa tentang perceraian Rio dan Ashilla yang hingga kini masih dalam proses. Ia terlalu cemburu, hingga berpikiran yang tidak-tidak. Wajah Ify kembali menghangat. “Maaf,” ia menundukkan kepala, merasa malu pada dirinya sendiri. “Aku nggak bermaksud—“
“Nggak apa-apa, Sayang,” potong Rio cepat. “Aku senang kamu cemburu.” Ia kembali melemparkan pandangan menggoda.
Wajah Ify semakin merona. Namun, sekarang ia merasa lebih tenang dan lebih bahagia. Diam-diam, Ify menghela napas panjang. Penuh kelegaan. Ia mencintai Rio, dan ia harus mulai bisa memercayai lelaki ini.
Mata Ify memyipit saat matanya menangkap sesuatu yang baru diatas credenza ruang duduk lantai bawah kediaman Rio. Sesuatu yang luput dari pengamatannya saat datang tadi. Sebuah patung porcelain Ganesha yang cantik. Ify menghampiri patung itu seraya menduga-duga. Ia pernah melihat patung seperti ini di sebuah majalh khusus para kolektor. Patung koleksi Lladro yang harganya bisa menguras kantong orang-orang seperti dirinya—tentu saja, bukan Rio. Sebenarnya banyak pengrajin yang membuat patung Ganesha, tetapi Ify tidak dapat menyingkirkan rasa penasarannya. Dengan hati-hati, Ify meraih patung Ganesha itu. Buatannya sangat halus, detailnya sangat rapi dan menarik. Ify mencari cap khusus yang akan memberinya bukti akurat,dan—matanya terbeliak—benar-benar buatan Lladro!
Ify nyaris terlompat kaget saat merasakan lengan kokoh melingkari pinggangnya. Secepat kilat ia menoleh, dan matanya membeliak saat mendapati Rio tersenyum kepadanya.
“Ya, ampun. Rio!” pekiknya terkejut, lalu menghela napas. Lega, karena patung berharga itu tidak terlepas dari tangannya. Ia membelalakkan matanya “Gimana kalo patung ini jatuh?”
“Biar saja,” jawab Rio kalem, lalu mengecup pipi Ify.
Ify mendengus kesal. Memang tidak masalah buat Rio, tetapi akan menjadi masalah besar baginya.”Kapan kamu datang? Kok, aku nggak denger suara mobilmu?”
“Sepertina, kamu terlalu terpesona pada patung itu sampai tidak memperhatikan sekeliling. Dari tadi aku dibelakang kamu aja, kamu sampai tidak sadar,” Rio menyandarkan dagunya pada bahu Ify. “Kamu suka patung ini?”
Ify mengganguk. “Cantik sekali. Lladro, kan?” ia mengembalikan patung itu pada tempatnya semula.
“Kamu mau?”
Ify menggeleng. “Aku suka, tapi sepertinya terlalu berlebihan untuk diletakkan dirumahku.” Ia menggeliat, berusaha melepaskan diri dari pelukan Rio. “Udah, ah. Nanti ada yang liat.”
Namun nampaknya lelaki itu enggan melepaskannya. “Biar saja,” Rio mempererat pelukannya. “Biar mereka rau, kalau kamu itu milik aku.”
Ify mencibir. Namun, tak dapat memungkiri perasaan bahagia yang merambat hatinya. Rio memang penuh kejutan. Seakan, banak sekali yang berubah dari lelaki ini dalam tiga belas tahun. Dulu, Rio pemda yang amat pemalu, tetapi sekarang—meskipun masih sedikit pendiam—lelaki ini lebih ekspresif dalam menunjukkan perasaannya. Rio seakan tak bisa dapat menyentuhnya setiap kali berdekatan dengannya. Entah hanya menggenggam tangannya, membelai rambut dan pipinya, memberinya kecupan ringan, atau memeluknya seperti ini. Lelaki ini benar-benar membuat Ify merasa begitu dicintai dan diperhatikan.
Tiba-tiba kening Ify berkerut, teringat sesuatu. “Bukannya kamu harus ke pengadilan?”
“Udah.”
“Jadi, gimana sidangnya?”
“Baik.”
Alis Ify terangkat dengan cara Rio menjawab yang lebih mirip gumaman dan tanpa semangat. Ia menoleh, tetapi tidak dapat melihat ekspresi lelaki itu dengan jelas.
“Oya, Ify, aku udah memutuskan.” Rio melepaskan pelukannya dan memutar tubuh Ify hingg menghadapnya. “Aku ingin kamar kosong itu dijadikan kamar anak.” Ia memperbaiki kacamatanya. “Lebih tepatnya kamar gadis remaja.”
Ify menatap Rio tanpa bisa berkata-kata. Jantungnya berdegup keras. Apakah ini sebuah pertanda bahwa Rio akan memintanya dan Kejora tinggal bersamanya? Apakah ini berarti Rio akan melamarnya? Kebahagiaan semakin deras mengaliri hati Ify.
“Kamu bisa kan?”
Ify melemparkan tatapan mencela.”Kamu masih meragukan kemampuanku?”
Rio tertawa. “Ya... nggak mungkin lah,” ia menatap Ify dengan pandangan menggoda, lalu menambahkan. “Mana aku berani?”
Ify tertawa kecil. “Besok rumahmu udah selesai. Jadi dua atau tiga hari lagi, aku akan menyerahkan lay-out-nya.”
“Nggak perlu.” Rio meraih tangan Ify. “Aku menyerahkan seluruh urusannya padamu.”
Kening Ify berkerut saat menyadari Rio menarinya ke arah pintu depan. Ia menghentikan langkahnya. “Mau ke mana,sih?”
Rio menoleh padanya. “Temani aku makan siang.”
“Kamu belum makan?” Ify melirik jam tangannya, dan terkejut. “Ini udah hampir jam tiga.”
“Belum.” Jawab Rio kalem.
Ify menggelengkan kepalanya, dan menghela napas panjang. Kini , ia membiarkan dirinya digandeng Rio ke luar rumah, tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Hanya seulas senyum bahagia yang menghias wajahnya.
HAI.-.
Sekarang, gue yg cantik ini akan menggantikan yessy selama dia focus uas!ini part 15nya semoga suka! Doain juga ya biar yessy nya uas nya lancar:d bye. Follow juga @YessyPevensie & @junitnozsta! Gak follow ngaret(?) Haha gakdeng luvz
IFY terbelalak tak percaya saat melihat isi kotak di hadapannya. Perlahan, ia meraih gaun putih dari dalam kotak dan menghamparkannya diatas ranjang. Dipandanginya gaun one shoulder yang chic itu dengan penuh kekaguman.
“Wooow, Herve Leger!” Kejora membelalak menatap gaun ibunya. “Pasti mahal nih, Mom,” ia membelai bahan gaun yang halus.
Ify melirik Kejora dengan mata menyipit. “Tau dari mana kalau ini mahal?”
“Please deh, Mom.” Kejora memutar bola matanya. “Om Rio tuh, nggak mungkin beliin kita barang murah. Liat aja tuh sepatu yang dihadiahin untuk Mommy,” ia menunjuk heels yang masih berada di kotaknya. “Semua cewek disekolah Rara juga tau, kalo Louboutin itu mahal.”
“Kayaknya Mama salah deh, biarin kamu sekolah disitu,” gerutu Ify, berpura-pura menyesal.
Kejora mencibir, lali menyeringai lebar.
Ify mendesah bahagia. Rio terlalu memanjakannya. Hanya karena meminta Ify makan malam dengannya saja, lelaki itu sampai menghadiahkan Ify gaun dan sepasang sepatu yang begitu indah.
“Mom udah jadian ya sama Om Rio?”
Pertanyaan yang tak terduga keluar dari bibir putrinya, membuat wajah Ify menghangat. “Jadian apaan, sih?” ia berpura-pura tak mengerti maksud putrinya.
“Ah, nggak usah pura-pura deh, Mom.” Kejora memutar bola matanya. “Rara kan liat sendiri, dari di pondoknya Om Rio sampe kita pualng, Om Rio sama Mommy curi-curi oandang mulu.”
Wajah Ify semakin menggelap. “Ah Rara sok tau,” gerutunya salah tingkah. Ia segera membalikan tubuhnya, dan menghampiri lemari.
Kejora terkikik. “Tapi Mom, Rara seneng kalo Mom pacaran sama Om Rio,” ia melemoar tubuhnya ke atas tempat tidur Ify, lalu menghela napas berat. “Rara pengen Om Rio jadi papa Rara.”
Jantung Ify berdegup kencang. Ia menggantungkan gaun barunya pada hanger, di dalam lemari, ”Rara serius?” ia memutar tubuhnya, “Pengen Om Rio jadi papa Rara?”
Kejora menggangukkan kepala kuat-kuat. “Om Rio itu cool banget, Mom. Sayang banget lagi, sama Mommy dan Rara.”
“Sok tau!” gerutu Ify geli. “Udah ah, Mama mau siap-siap dulu. Entar Om Rio keburu datang.” Ia melangkan menuju kamar mandi. Saat melewati kejora, disempatkannya untuk membelai rambut putrinya.
Ya, ia pun ingin menikah dengan Rio. Menjadi milik lelaki itu seutuhnya. Untuk selamanya. Namun, tetap saja, keputusan ada ditangan Rio. Mana mungkn seorang perempuan melamar laki-laki?
Hati Rio seakan teremas melihat Kejora dengan penuh semangat menceritakan sekolah barunya. Wajah cantiknya tampak begitu cerah dengan matanya yang berbinar indah. Kedua tangan dan kepala gadis kecil itu bergerak-gerak ekspresif, hingga membuat buntut kudanya yang ikal terayun-ayun. Dada Rio sesak oleh kebanggaan yang tiada tara. Kebanggaan seorang ayah.
Celoteh kejora yang tiba-tiba terhenti, suasana yang tiba-tiba sepi, membuyarkan lamunan Rio. Alisnya terangkat saat melihat gadis kecil itu menatap lurus melewati kepalanya. Mata putrinya terbelalak lebar, dan mulutnya menganga. Mengikuti rasa penasarannnya, Rio menoleh... dan tercengang.
Ify memang cantik, tetapi malam ini perempuan itu tampak luar biasa cantik. Gaun yang dibelikan Rio, semakin memamerkan bahu dan lengannya yang ramping dan indah. Rambutnya yang digelung, semakin menonjolkan lehernya yang jenjang. Model gaun yang sedikit longgar tak mampu menyembunyikan keindahan tubuh di baliknya. Dan, perempuan itu berjalan dengan keanggunan seorang penari. Menimbulkan kesan menggangu yang memancing hasrat Rio.
“Mom, you’re so hot!” puji Kejora dengan pandangan kagum.
Ify tersenyum geli, lalu mengalihkan pandangannya pada Rio-dan, jantungnya berdesir. Rio duduk bersandar dengan satu kaki ditumpukan di atas kaki lainnya. Gaya lelaki itu tampak santai, sekaligus anggun. Namun tetap terlihat amat maskulin. Seperti layaknya sikap seorang aristokrat. Begitu tampan. Dan, cara lelaki itu menatapnya, membuat jantung Ify berdebar resah dan bibirnyha mengering seketika. Membuatnya merasa seperti gadis remaja dikencan pertamanya. “Berangkat sekatang?” tanyanya, berusaha menutupi keresahannya.
Pertanyaan Ify menyetak Rio dari keterpanaanya. Dengan susah payah ia menelan ludah, lalu mengangguk canggung dan bangkit dari sofa yang didudukinya. “Om pergi dulu ya, Ra,” ia membelai kepala kejora penuh kasih, berhenti diambang pintu. Menungi Ify.
Ify menghampiri Kejora dan mengecup kepala putrinya. “Jangan lupa bikin PR,” ia mengingatkan, lalu menghampiri Rio.
Kejora hanya mengangguk.
Ify menyambut tangan Rio yang terulur padanya dengan seulas senyum manis, lalu melingkarkan lengannya pada lengan kokoh lelaki itu. Membiarkan Rio membimbingnya keluar rumah dan masuk ke mobilnya
Restoran yang mereka datangi bernuansa klasik Eropa. Suasananya tenang dan romantis dengan lilin-lilin yang menyala dan alunan musik slow jazz. Makanan yang disajikan pun sangat lezat. Ify menghela napas panjang. Rio benar-benar telah berubah. Lelaki di hadapannya ini benar-benar tahu cara memanjakan seorang perempuan. Mungkin, lima tahun tinggal di Jerman telah membuatnya belajar banyak hal. Tidak hanya menghilangkan kemanjaannya, tetapi juga menjadi lelak yang lebih bertanggung jawab-dan menjadi seorang gentleman. Atau jangan-jangan, ada gadis-gadis cantik berambut pirang yang mengajarinya semua itu? Tanpa dikehendaki, seleret kecemburuan memasuki hatinya.
Ify menggeleng, beusaha mengenyahkan perasaan konyol itu dari dalam hatinya. Tidak seharusnya ia cemburu. Itu semua telah lama berlalu. Saat itu Rio kehilangan jejaknya, tidak tahu keberadaan Ify. Dan, pikiran bahwa Rio berusaha keras mencarinya, dapat menghibur hati Ify. Lagi pula, Rio benar. Lelaki itu berhak menjalani hidupnya sebagai lelak normal.
“Kamu cantik sekali malam ini.”
Ucapan Rio membuyarkan lamunan Ify. Dalam sekejap, wajahnya menghangat. Perlahan, ia mendongak. “Hanya malam ini?”
Rio menyeka bibirnya dengan serbet makan, lalu tersenyum. “Kamu selalu cantik. Tapi malam ini, kamu luar biasa cantik.”
Janting Ify berdegup resah saat melihat kelembutan terpancar dari mata Rio. “Mungkin, karena gaun yang kamu hadiahkan,” ia menundukkan kepala, dan meletakan garpu dan pisau makannya.
Rio menggeleng. “Bukan gaun itu yang membuatmu cantik, tapi kamu yang membuat gaun itu terlihat lebih indah.”
“Gombal.” Gerutu Ify, berusaha menyembunyikan wajahnya yang semakin merona.
Rio tertawa kecil.
Ify menyeka bibirnya dengar serbet. “Mungkin, dalam tiga hari, rumahm sudah selesai,” ia berusaha mengalihkan pembicaraan, sebelum hatinya semakin melambung oleh sanjungan Rio. “Aku harap kamu puas dengan interior-nya.”
“Tentu saja aku puas,” Rio menyesap wine-nya. “Seleramu bagus.”
Ify menggeleng. “Bukan seleraku yang bagus, tapi—“
“Rio, Darling!”
Seruan seorang perempuan, memotong ucapan Ify. Dengan penuh rasa ingin tahu, Ify menoleh. Matanya terbeliak saat mendapati seorang perempuan cantik, bergaun hitam dengan potongan leher yang sangat, sangat, sangat rendah, menghampiri meja mereka—lebih tepatnya, menghampiri Rio. Perempuan itu membungkukkan tubuhnya di sisi Rio, dan mengecup pipi lelaki itu. Darah di tubuh Ify seakan membeku. Ashilla!
Mata Ify seakan tidak dapan berkedip. Suara-suara di sekitarnya berubah menjadi dengungan, tidak dapat tercena oleh otaknya. Ia terpesona. Ashilla jauh lebih cantik daripada yang dilihatnya dilayar kaca. Cantik, seksi, begitu percaya diri, dan amat glamour. Ia menelan ludahnya dengan susah payah. Berada di dekat Ashilla, membuatnya merasa tak berarti. Merasa tak terlihat, dan merasa sangat tidak menarik. Melihat cara Ashilla berbicara kepada Rio, dan cara membelai pundak lelaki itu, bukan rasa cemburu yang menyelubungi hati Ify, melainkan perasaan minder. Berapa serasinya mereka. Rio tampan dan sangat mapan. Ashilla cantik dan terkenal. Sementara dirinya?
“Oh, kenalkan....”
Tangan bianca yang tiba-tiba terulur di hadapannya, menyentak Ify dari keterpanaannya. Dengan canggung, ia menyambut tangan perempuan itu dan memperkenalkan diri.
“Anda cantik,” mata Ashilla menyapu Ify dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya. “Dan, punya selera yang bagus,” ia kembali menaikkan pandangannya ke gaum Ify, dan mengamati dengan mata menyipit. “Herve Leger?”
Ify mengganguk dengan salah tingkah. Wajahnya merona.
Ashilla melempar senyum penuh arti pada Ify, lalu kembali mengarahkan pandangannya pada Rio. “Selamat bersenang-senang, Darling,” ia meraih wajah Rio, membelai dan mengecup pipinya. “Sampai ketemu lusa,” bisinya, sambil menatap evan penuh arti.
Kening Ify berkerut. Apa maksudnya? Ia menatap Rio, tetapi lelaki itu hanya menatap kosong piring, makannya, sambil menyesap wine.
Ashilla mengalihkan pandangannya pada Ify, tersenyum. “Nice to meet you.” Ia menggangukkan kepalanya sedikit, lalu berbalik.
Ify tersenyum canggung. Ditatapnya punggung Ashilla yang menjauhi meja mereka. Aura sensual dan percaya diri begitu kental melingkupi perempuan itu, hingga tak hanya para lelaki yang menoleh untuk menikmati keindahan yang terpancar dari fisi Ashilla, namun para perempuan pun menatapnya dengan penuh kekaguman sekaligus iri
“Kamu masih mau dessert?”
Pertanyaan Rio membuyarkan lamunan Ify. Ify menggelengkan kepala perlahan. Walaupun belum benar-benar kenyang, namun ia telah kehilangan nafsu makannya.
“Mau pulang sekarang?” Tanya Rio lagi.
Ify mengganguk.
Tanpa buang waktu, Rio memanggil pelayan dan bon makan malam mereka
Perjalanan pulang terasa begitu berbeda. Rio jadi lebih pendiam, dan sedikit murung. Berkali-kali Ify meliriknya, dan mendapati lelaki itu seakan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mungkin sebaiknya ia tidak menggangu lelaki ini, tetapi rasa penasarannya begitu besar. Begitu mengusiknya.
Ify menarik napas dalam-dalam. “Rio...?”
“Hmm...” jawab Rio tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan di depannya.
“Aku boleh tanya sesuatu?” tanya Ify hati-hati.
Rio melirik Ify dari sudut matanya. “Apa...?”
“Hmm...” dengan gugup, Ify meraih seuntai rambut yang terlepas dari gelungnya, lalu menyelipkannya dibalik telinga. “Apa maksud Ashilla tadi...?”
Rio menoleh pada Ify. Satu alisnya terangkat. “Yang mana?”
“Waktu dia bilang,” Ify memutar-mutar gelang di tangannya dengan gelisah, “Sampai ketemu lagi...?”
Kening Rio berkerut sejenak, seakan sedang berusaha mengingat. Kemudian seulas senyum, mengembang diwajahnya. “Oh, itu..” ia melemparkan tatapan menggoda pada Ify. “Kenapa? Kamu cemburu?”
Wajah Ify menghangat. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Kesal. Bukannya menjawab, Rio malah menggodanya. “Nggak.”
Rio meraih tangan Ify dan mendekatkan ke wajahnya. Bibir Rio yang melekat pada punggung tanganya, terasa lembab dan hangat dikulitnya. Dan, kehangatan menjalar hingga ke hati Ify. Mengusir kekesalanna dalam sekejap.
“Aku memang akan ketemu dia,” Rio meletakkan tangan Ify di pangkuannya dan menggengamnya erat, seakan tidak ingin melepaskannya, “lusa. Di pengadilan.”
Tentu saja! Betapa bodohnya dirinya. Bagaimana ia bisa lupa tentang perceraian Rio dan Ashilla yang hingga kini masih dalam proses. Ia terlalu cemburu, hingga berpikiran yang tidak-tidak. Wajah Ify kembali menghangat. “Maaf,” ia menundukkan kepala, merasa malu pada dirinya sendiri. “Aku nggak bermaksud—“
“Nggak apa-apa, Sayang,” potong Rio cepat. “Aku senang kamu cemburu.” Ia kembali melemparkan pandangan menggoda.
Wajah Ify semakin merona. Namun, sekarang ia merasa lebih tenang dan lebih bahagia. Diam-diam, Ify menghela napas panjang. Penuh kelegaan. Ia mencintai Rio, dan ia harus mulai bisa memercayai lelaki ini.
Mata Ify memyipit saat matanya menangkap sesuatu yang baru diatas credenza ruang duduk lantai bawah kediaman Rio. Sesuatu yang luput dari pengamatannya saat datang tadi. Sebuah patung porcelain Ganesha yang cantik. Ify menghampiri patung itu seraya menduga-duga. Ia pernah melihat patung seperti ini di sebuah majalh khusus para kolektor. Patung koleksi Lladro yang harganya bisa menguras kantong orang-orang seperti dirinya—tentu saja, bukan Rio. Sebenarnya banyak pengrajin yang membuat patung Ganesha, tetapi Ify tidak dapat menyingkirkan rasa penasarannya. Dengan hati-hati, Ify meraih patung Ganesha itu. Buatannya sangat halus, detailnya sangat rapi dan menarik. Ify mencari cap khusus yang akan memberinya bukti akurat,dan—matanya terbeliak—benar-benar buatan Lladro!
Ify nyaris terlompat kaget saat merasakan lengan kokoh melingkari pinggangnya. Secepat kilat ia menoleh, dan matanya membeliak saat mendapati Rio tersenyum kepadanya.
“Ya, ampun. Rio!” pekiknya terkejut, lalu menghela napas. Lega, karena patung berharga itu tidak terlepas dari tangannya. Ia membelalakkan matanya “Gimana kalo patung ini jatuh?”
“Biar saja,” jawab Rio kalem, lalu mengecup pipi Ify.
Ify mendengus kesal. Memang tidak masalah buat Rio, tetapi akan menjadi masalah besar baginya.”Kapan kamu datang? Kok, aku nggak denger suara mobilmu?”
“Sepertina, kamu terlalu terpesona pada patung itu sampai tidak memperhatikan sekeliling. Dari tadi aku dibelakang kamu aja, kamu sampai tidak sadar,” Rio menyandarkan dagunya pada bahu Ify. “Kamu suka patung ini?”
Ify mengganguk. “Cantik sekali. Lladro, kan?” ia mengembalikan patung itu pada tempatnya semula.
“Kamu mau?”
Ify menggeleng. “Aku suka, tapi sepertinya terlalu berlebihan untuk diletakkan dirumahku.” Ia menggeliat, berusaha melepaskan diri dari pelukan Rio. “Udah, ah. Nanti ada yang liat.”
Namun nampaknya lelaki itu enggan melepaskannya. “Biar saja,” Rio mempererat pelukannya. “Biar mereka rau, kalau kamu itu milik aku.”
Ify mencibir. Namun, tak dapat memungkiri perasaan bahagia yang merambat hatinya. Rio memang penuh kejutan. Seakan, banak sekali yang berubah dari lelaki ini dalam tiga belas tahun. Dulu, Rio pemda yang amat pemalu, tetapi sekarang—meskipun masih sedikit pendiam—lelaki ini lebih ekspresif dalam menunjukkan perasaannya. Rio seakan tak bisa dapat menyentuhnya setiap kali berdekatan dengannya. Entah hanya menggenggam tangannya, membelai rambut dan pipinya, memberinya kecupan ringan, atau memeluknya seperti ini. Lelaki ini benar-benar membuat Ify merasa begitu dicintai dan diperhatikan.
Tiba-tiba kening Ify berkerut, teringat sesuatu. “Bukannya kamu harus ke pengadilan?”
“Udah.”
“Jadi, gimana sidangnya?”
“Baik.”
Alis Ify terangkat dengan cara Rio menjawab yang lebih mirip gumaman dan tanpa semangat. Ia menoleh, tetapi tidak dapat melihat ekspresi lelaki itu dengan jelas.
“Oya, Ify, aku udah memutuskan.” Rio melepaskan pelukannya dan memutar tubuh Ify hingg menghadapnya. “Aku ingin kamar kosong itu dijadikan kamar anak.” Ia memperbaiki kacamatanya. “Lebih tepatnya kamar gadis remaja.”
Ify menatap Rio tanpa bisa berkata-kata. Jantungnya berdegup keras. Apakah ini sebuah pertanda bahwa Rio akan memintanya dan Kejora tinggal bersamanya? Apakah ini berarti Rio akan melamarnya? Kebahagiaan semakin deras mengaliri hati Ify.
“Kamu bisa kan?”
Ify melemparkan tatapan mencela.”Kamu masih meragukan kemampuanku?”
Rio tertawa. “Ya... nggak mungkin lah,” ia menatap Ify dengan pandangan menggoda, lalu menambahkan. “Mana aku berani?”
Ify tertawa kecil. “Besok rumahmu udah selesai. Jadi dua atau tiga hari lagi, aku akan menyerahkan lay-out-nya.”
“Nggak perlu.” Rio meraih tangan Ify. “Aku menyerahkan seluruh urusannya padamu.”
Kening Ify berkerut saat menyadari Rio menarinya ke arah pintu depan. Ia menghentikan langkahnya. “Mau ke mana,sih?”
Rio menoleh padanya. “Temani aku makan siang.”
“Kamu belum makan?” Ify melirik jam tangannya, dan terkejut. “Ini udah hampir jam tiga.”
“Belum.” Jawab Rio kalem.
Ify menggelengkan kepalanya, dan menghela napas panjang. Kini , ia membiarkan dirinya digandeng Rio ke luar rumah, tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Hanya seulas senyum bahagia yang menghias wajahnya.
HAI.-.
Sekarang, gue yg cantik ini akan menggantikan yessy selama dia focus uas!ini part 15nya semoga suka! Doain juga ya biar yessy nya uas nya lancar:d bye. Follow juga @YessyPevensie & @junitnozsta! Gak follow ngaret(?) Haha gakdeng luvz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar