Promises Promises [10] : Mencintaimu Sekali Lagi
Pembuatan ruang kejra Rio berjalan lancar, dan selesai tepat pada waktu
yang diperkirakan Ify. Mang Asep pun sudah memasang rak buku
built-in—memenuhi dua bidang dinding ruang kerja. Dan, telah
melengkapinya dengan tangga yang terkait pada rel di atas rak, hingga
bisa digeser dengan mudah. Tangga tersebut akan memudahkan Rio untuk
menjangkau buku-buku pada deretan teratas. Ify tidak menyangkal, ide Rio
untuk meletakkan kolam ikan di dalam ruang kerjannya adalah ide yang
bagus. Kini, focus perhatian ruang kerja itu adalah ruang kerja
tersebut. Ify telah memasang dek di pinggir kolam, dan material dinding
bau alam warna gelap sebagai pengisi bidang dinding. Beberapa pot
tanaman hias yang diletakkan di bahwanya telah diperindah dengan taburan
batu koral kupang. Area ini pasti dapat menyegarkan mata yang lelah
akibat terlalu banyak membaca atau bekerja dengan computer. Ia tinggal
menyuruh Riko dan Goldi untuk mengecat ruang tamu.
Ify menghela napas panjang. Sejak ucapannya yang keterlaluan pada Rio,
ia tidak pernah bertemu lelaki itu. Rio tidak lagi meluangkan waktu pada
siang hari hanya untuk melihat perkembangan pekerjaannya. Mungkin
akhirnya Rio mengerti bahwa tidak ada lagi kesempatan baginya untuk
mengulang masa lalu. Bahkan tidak untuk sebuah pertemanan sekalipun.
Namun—diluar dugaannya—walaupun sebagian dirinya merasa lega karena
dapat bekerja dengan tenang, bagian lain dirinya merasa amat menyesal.
Dan—yang lebih mengejutkan—seakan ada sesuatu yang hilang dari hatinya.
Ify menghela napas berat, lalu berusaha menyibukkan diri untuk
mengalihkan perhatiannya. Ia merapikan bantalan pada sofa kulit, lalu
menghampiri tumpukan kardus di depan rak buku. Buku Rio amat banyak, dan
mungkin membutuhkan waktu hingga sore untuk memindahkannya ke rak buku.
Seulas senyum lembut menghias wajah Ify. Buku selalu mengingatkannya
pada Kejora. Kecintaan gadis kecil itu pada buku sudah terlihat sejak
Kejora bayi. Awalnya Ify nyaris putus asa menenangkan Kejora setiap kali
anak itu rewel. Hingga suatu ketika—karena sudah tak tahu harus berbuat
apa—Ify mengambil majalah wanita dan membacanya. Berusaha menulikan
telinganya dari tangisan Kejora. Namun, tiba-tiba saja Kejora terdiam.
Perhatian anak itu teralihkan pada majalah yang sedang dibaca Ify. Dan,
sejak itu, Ify rajin membacakannya buku cerita anak-anak. Mungkin hobi
membaca anak memang diturunkan dari orang tuanya, seperti dalam kasus
Kejora, ia merasa hobi itu sudah ada di dalam gen putrinya.
Ify merobek lakban kardus teratas dengan cutter, lalu mengeluarkan beberapa buku terbal ber-hardcover
sekaligus. Untuk memudahkan pekerjaannya, terlebih dulu ia memindahkan
semua buku ke rak bagian tengah—tempat yang kira-kira dapat dijangkaunya
pada saat ia menaiki tangga—sebelum kembali memindahkannya ke rak atas.
Ia menghela napas berat, saat kerinduan menelusupi hatinya.
Ternyata, berpisah dengan Kejora selama dua minggu bukan hal yang
mudah. Kalau saja ia tahu tidak akan bertemu dengan Rio seperti saat
ini, tentu ia tidak perlu menitipkan Kejora pada ibunya yang tinggal di
desa kecil yang nyaris terpencil itu. Desa yang masih sulit dijangkau
oleh teknologi komunikasi yang telah canggih. Ify tidak mengerti mengapa
ibunya tidak mau memasang telepon. “Tidak ada orang yang perlu
ditelepon,” begitu katanya selalu. Ify mendesah sedih. Mungkin ia dan
Kejora juga termasuk orang yang tidak perlu dihubungi ibunya—atau
sebenarnya ibunya yang tidak ingin dihubungi olehnya? Bahkan, saat Ify
membelikannya ponsel pun, ia harus memaksa dulu sebelum ibunya mau
menerima. Bagaimanapun, ibunya sudah tua. Ify khawatir, jika terjadi
sesuatu pada ibunya, dan ibunya tidak bisa cepat mendapat pertolongan.
Namun sayang, di desa sinyal telepon kurang bersahabat. Sering terputus
sendiri saat sedang berkomunikasi. Cara terbaik hanyalah melalui sms.
Ify menghela napas panjang. Kini, ia menyesal tidak membelikan Kejora
ponsel. Tadinya, ia pikir Kejora masih terlalu kecil untuk memiliki
benda itu. Lagi pula, Kejora belum pernah terpisah dari dirinya seperti
ini. Mereka selalu menjenguk ibunya bersama-sama. Liburan pun selalu
bersama. Ia pikir, Kejora bisa selalu menggunakan telepon rumah kalau
harus menghubunginya atau teman-temannya. Untunglah—walaupun dengan
wajah cemberut—Kejora tidak terus merengek. Ify menyeka keningnya yang
berkeringat dengan punggung tangan. Untunglah libur Kejora sudah hampir
berakhir. Lusa ia akan berangkat ke Sukabumi untuk menjemput putrid
kesayangannya itu.
“Perlu bantuan?”
Suara berat yang merayap masuk ke telinganya membuyarkan lamunan Ify.
Dan seperti biasanya, jantungnya langsung berdegup kencang di luar
kehendaknya. Ify mendesah kesal. Ternyata ia salah duga. Rio sama sekali
belum mengerti, dan tetap tidak mau membiarkannya bekerja dengan
tenang. Ify melirik jam tangannya, dan keningnya berkerut. Pukul 10.50?
Jangan-jangan lelaki ini baru mau beragkat kerja? Ify mendesah pelan.
Apa pun yang dilakukan Rio sama sekali bukan urusannya. “Nggak,
makasih,” gumam Ify, tanpa menoleh kepada Rio. Ia mengeluarkan buku
terakhir dari dalam karus, lalu menaiki tangga.
“Ify, soal obrolan kita waktu itu,” Rio mengulurkan dua buah buku kepada Ify, “aku cuma ingin—“
“Aku nggak mau membahasnya.” Tukas Ify sambil merah buku yang diulurkan padanya dan meletakkanya pada tak teratas.
“Tapi, aku cuma ingin kamu tahu, aku—“
“Aku nggak ingin tau apa pun, Rio,” potong Ify tajam.
“Tapi—“
“Udahlah, Rio, lupain aja. Semua udah berlalu,” potong Ify lagi sambil
merogoh saku belakang celana jeansnya, dan mengeluarkan ponselnya yang
berdering ribut. Keningnya berkerut saat mendapati nomor tak dikenal
tertera pada layar ponsel.
Dengan wajah muram, Rio
mengawasi Ify yang menuruni tangga, dan melangkah menjauhinya untuk
menerima telepon. Rasa kecewa menjalari hatinya. Rupanya Ify begitu
membencinya, hingga tidak mau memberinya kesempatan untuk menjelaskan
semuanya. Walaupun ia bisa memahami semua sikap Ify, ia ingin perempuan
itu tahu betapa ia menyesali perbuatannya di masa lalu. Ia ingin Ify
tahu usahanya untuk memperbaiki kesalahannya.
Suara benda jatuh, membuyarkan lamunan Rio. Ia tertegun saat mendapati
wajah Ify pucat-pasi, dan matanya nanar. Ponselnya kini tergeletak di
lantao. Dalam sekejap, rasa khawatir menjalari hatinya. Mengenyahkan
kesedihannya. “Ada apa, Fy?” Ia bergegas menghampiri Ify.
Ify bergeming, seakan tidak mendengar pertanyaan Rio.
Rio menatap perempuan itu penuh tanya. Perlahan ia mengulurkan tangan,
menyentuh bahu Ify. Dapat dirasakan tubuh perempuan itu gemetar. Rasa
khawatir makin pekat membalut hatinya. “Ify…?” Ia mengguncang lembut
tubuh Ify. “Ada apa?”
Sentuhan tangan Rio dan
guncangan yang dirasakannya, menyentak kesadaran Ify. Ia mendongak
menatap Rio dengan mata berkaca-kaca. “R-Rara…” Rasa takut dan rasa
panik telah membuat otaknya lumpuh. Ia tidak dapat berpikir. Ia tidak
tahu harus berbuat apa. Bahkan, seluruh tulang seakan lenyap dari
tubuhnya.
Rio terkesiap melihat tubuh Ify merosot
ke lantai. Dengan cepat, ia menangkap tubuh perempuan itu, menahannya
agar tetap berdiri, lalu mendekapnya erat. “Fy, ada apa?”
Ify seakan tidak mendengar suara lembut Rio. Hanya beberapa patah kata
yang terus bergema di telinganya. Demam. Muntah darah. Rumah sakit.
Beberapa patah kata yang masih mampu tertangkap di antara cerocosan
panik ibunya. Hanya beberapa, tetapi mampu membuat hatinya dicengkram
oleh rasa takut yang luar biasa. Tubuhnya bergetar hebat dan tangisnya
meledak. Ify menyembunyikan wajahnya di dada Rio. Bahunya berguncang
keras.
Ya, Tuhan. Ia sangat takut kehilangan
Kejora. Ia tidak bisa hidup tanpa gadis kecil itu di sisinya. Kejora
adalah jiwanya. Tapi, ini semua salahnya! Seharusnya ia berpikir panjang
dan tidak begitu saja menitipkan Kejora pada ibunya. Perempuan itu
tidak pernah menyukai Kejora, dan tidak peduli padanya. Setiap kali Ify
mengirim SMS untuk menanyakan keadaan Kejora, ibunya hanya mengatakan
bahwa Kejora baik-baik saja—sedang tidur atau membaca. Bodoh! Apa yang
ia harapkan dari ibunya? Tergopoh-gopoh memberitahunya kalau Kejora
demam sedikit saja? Perempuan itu bahkan baru menyadari Kejora sakit
setelah putrinya itu muntah darah. MUNTAH DARAH! Ya, Tuhan. Ia memang
bodoh! Bagaimana ia bisa seceroboh ini? Bagaimana ia bisa begitu saja
memercayakan Kejora pada perempuan yang tidak menginginkan kehadiran
cucunya itu? Tetapi, ia pun tidak menyangka Kejora akan jatuh sakit.
Gadis kecil itu tampak baik-baik saja saat ia mengantarkannya ke sana.
Hati Rio semakin tercabik melihat perempuan yang dicintainya menangis
dalam pelukannya. Tak pernah sebelumnya ia melihat Ify menangis. bahkan
di saat memohon padanya untuk tidak pergi. Bahkan di saat ia meminta Ify
untuk menggugurkan kandungannya. Tidak ada setetes air mata pun yang
jatuh di pipi mulusnya. Ia tak pernah menyangka, melihat Ify menangis
seperti ini mampu menghancurkannya. Ingin rasanya ia melakukan apapun
untuk memindahkan beban yang sedang ditanggung Ify saat ini. Rio
mempererat pelukannya, meletakkan dagunya pada puncak kepala Ify, lalu
membelai punggungnya lembut. Berusaha menenangkannya. Dibiarkannya Ify
menghabiskan tangis dalam pelukannya. Dibiarkannya air mata perempuan
itu merembes di kemejanya, dan menghangatkan kulitnya.
Saat shock-nya
mulai berkurang, Ify terkejut menyadari dirinya berada dalam pelukan
Rio. Jantungnya berdegup kencang, dan wajahnya menghangat. Ia ingin
segera melepaskan diri dari pelukan lelaki itu, tetapi tubuhnya terasa
enggan menarik diri. Tangan kokoh yang memeluknya erat membuatnya merasa
dilindungi. Belaian lembut di punggungnya terasa begitu menenangkan.
Dada tempatnya menyandarkan kepala membuatnya merasa aman. Tetapi ia
tidak bisa membiatkan dirinya terus berada dalam pelukan lelaki ini.
Tidak boleh! Situasi seperti ini hanya akan membuatnya semakin
terperosok ke dalam jurang cintanya. Setelah yakin tenaganya telah
kembali, dan kakinya telah berpijak kokoh, Ify menarik diri dari pelukan
Rio.
“Ada apa dengan Rara?”
Dengan susah payah, Ify menelan ludah. Membasahi tenggorokannya yang kering. “Rara masuk rumah sakit.”
Jantung Rio mencelos. Wajahnya berubah bias. Rasa cemas mencengkram
hatinya. “Rara masuk rumah sakit?” Dilihatnya Ify mengangguk. “Kenapa?
Sakit apa?”
Ify berusaha mengingat apa saja yang
dikatakan ibunya, tetapi otaknya seperi balon udara. Kosong. Tidak tahu
informasi apapun yang terekam disana. “N-nggak tau.”
Rio menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan diri. “Ify,” panggilnya lembut. “Rumah sakit mana?”
Ify mendongak menatap Rio dengan pandangan kosong. Ya, Tuhan. Ia tidak
dapat mengingat apapun. Ia bahkan tidak ingat apakah ibunya menyebutkan
nama rumah sakitnya atau tidak. Rasa panik kembali menguasai hatinya.
“Nggak tau.”
Rio menatap Ify putus asa. Ia
menjulurkan tangan, menyentuh bahu Ify. “Coba ingat baik-baik, Fy.”
Sebisa mungkin ia menjaga suaranya agar tetap tenang. “Rara ada di rumah
sakit mana?”
“Aku nggak tau, Rio. Aku nggak
ingat.” Suara Ify meninggi, panik bercampur putus asa. “Yang pasti,
rumah sakit di Sukabumi.”
Rio terperangah. “Sukabumi? Kenapa bisa di Sukabumi?”
Ify menundukkan kepalanya. Ia tidak mungkin mengatakan alasannya. Ia
malu. Saat ini ia baru menyadari betapa bodoh keputusan yang dibuatnya.
Hanya karena mengikuti rasa takut yang tidak berasalan, ia telah
menitipkan Kejora pada ibunya.
Rio menarik napas
dalam-dalam, berusaha menenangkan kepanikannya sendiri. “Kalo gitu,
tunggu sebentar.” Rio memutar tubuhnya dan bergegas meninggalkan ruang
kerjanya.
Ify tidak tahu apa yang dilakukan lelaki
itu. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Otaknya belum
bisa berpikir jernih. Tak lama kemudian didengarnya langkah kaki
mendekat. Ify menoleh, dan mendapati Rio memasuki ruang kerja sambil
menenteng sebuah jaket.
“Ayo berangkat.”
Ify menatap Rio dengan pandangan kosong. “Ke mana?”
Rio tersenyum lembut. “Ke Sukabumi, Ify,” jawabnya tenang.
Ify terperangah. Ia menatap Rio tanpa berkedip. Tak bisa berkata-kata.
Tentu saja. Itu yang harus dilakukannya sekarang. Pergi ke Sukabumi
secepatnya!
“Mana tas kamu?”
Ify menyapukan pandangannya ke sekeliling ruangan dengan bingung,
mencari tasnya. Namun, sepertinya benda yang dicarinya tidak berada di
dalam ruangan. Ia berusaha mengingatnya, tetapi rupanya otaknya belum
mau bekerja dengan baik.
Melihat kelinglungan Ify,
Rio menyadari tidak ada gunanya bertanya lagi. “Tunggu sebentar, ya.”
Rio kembali melesat keluar ruangan. Tak lama lelaki itu telah kembali
dengan tas Ify di tangannya. “Ayo.”
Dengan
setengah linglung, Ify mengikuti lelaki itu keluar rumah, lalu masuk ke
mobil. Hanya dalam hitungan menit, mereka sudah berada di jalan raya.
Tiba-tiba saja otaknya mulai bekerja. Ify teringat sesuatu. “Bukannya
kamu masih jam kerja?”
Rio mengangguk. “Aku nggak bisa membiarkan kamu pergi ke Sukabumi sendiri,” ia menjelaskan.
“Tapi aku belum bilang sama Riko kalau—“
“Tenanglah, Fy. Aku udah kasih tau Riko kalau kamu ada urusan
keluarga.” Rio tersenyum menenangkan. “Aku juga udah minta tolong Riko
untuk memasukkan mobil kamu ke garasiku.”
Selama
beberapa saat, Ify hanya bisa menatap Rio tanpa berkata-kata. Lelaki ini
telah melakukan segalanya untuknya—bahkan hal-hal kecil yang tidak
terpikirkan olehnya. Ia tidak tahu apa jadinya kalau Rio sudah berangkat
kerja. Mungkin, hingga saat ini, ia masih kebingungan di dalam ruang
kerja Rio. Tidak tahu apa yang harus dilakukannya. “Makasih, Yo,”
gumamnya kemudian, sambil mengaluhkan pandangannya dari lelaki di
sisinya itu.
Rio melirik Ify dari sudut matanya.
Didapatinya perempuan itu hanya menatap kosong jalan di depannya. Kedua
tangannya saling meremas di pangkuannya. Kecemasan terpeta jelas pada
wajahnya. Rio mengembalikan pandagannya pada jalan raya. Diam-diam ia
menghela napas berat. Ini aneh. Sangat aneh. Kejora bukan putrinya,
tetapi ia pun merasa amat cemas. Begitu cemasnya, seakan Kejora adalah
darah dagingnya sendiri. Apakah kecemasan ini muncul karena ia sudah
jatuh cinta kepada gadis kecil itu? Rio menjulurkan tangannya,
menangkupkannya pada tangan Ify.
Remasan lembut
tangan Rio menyentak Ify dari lamunanya. Ia ingin meepaskan tanganny
dari genggaman lelaki itu, tetapi kehangatan yang mengalir dari telapak
tangan yang besar dan kokoh itu, dengan cara yang aneh, membuatnya
merasa lebih tenang. Begitu mententramkan, hingga ia tak ingin Rio
melepaskannya. Perlahan, Ify mengalihkan pandangannya pada Rio. Lelaki
itu menatapnya dengan pandangan yang teduh. Seulas senyum lembut
mengembang di wajah tampannya.
“Jangan khawatir,” kata Rio lembut. “Rara anak yang kuat. Dia pasti akan segera sembuh.”
Keyakinan di mata Rio seakan menular pada Ify. Memberinya secuil
harapan. Memberinya kekuatan baru. Ify mengangguk. Lalu menundukkan
pandagannya. Diam-diam, Ify amat bersyukur Rio memaksa unruk
mengantarnya ke Sukabumi. Ia tidak tahu, apakah ia sanggup menghadapi
masalah ini bila ia seorang diri. Ketenangan yang diberikan Rio membuat
otak Ify mulai kembali bekerja. Ibunya pasti membawa Kejora ke rumah
sakit terdekat. Rumah sakit tempat Kejora dilahirkan. “Aku udah ingat
rumah sakitnya,” gumam Ify lirih.
Rio tersenyum lega. “Kalo gitu, istirahatlah dulu.” Ia meremas lembut tangan Ify sebelum menarik kembali tangannya.
Ify menundukkan pandangannya. Tak ingin berkata-kata lagi. Namun, di
luar kehendaknya, ada rasa hangat mengaliri hatinya. Ia benar-benar
tidak tahu apa yang akan terjadi kalau lelaki ini tidak berada di
sisinya. Rasa takut kehilangan Kejora telah membuatnya lumpuh.
Diam-diam, ia melirik Rio dari sudut matanya. Mungkin ia telah keliru
menilai Rio. Mungkin ia telah bersikap tak adil pada Rio.
Mungkin ketakutannya selama ini tidak beralasan. Lelaki yang kini ada
di sisinya, sudah jauh berbeda dengan lelaki yang dikenalnya belasan
tahun yang lampau. Rio yang sekarang bukan lagi pemuda manja yang lebih
suka lari dari tanggung jawab. Lelaki ini malah amat bisa diandalkan.
Keberadaan Rio membuatnya merasa mendapatkan tempat bersandar. Merasa
tidak sendirian. Sekaligus juga membuatnya sadar betapa lelahnya ia
selama ini, berjuang seorang diri. Membuatnya menyadari, setangguh
apapun dirinya, ia tetap perempuan biasa yang memiliki batas kemampuan.
Ify menyandarkan kepalanya pada jok. Mungkin sudah saatnya ia memaafkan
masa lalu, dan kembali melanjutkan hidupnya. Ify menghela napas dan
memejamkan matanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar