Rabu, 09 Januari 2013

Promises Promises[10]:Mencintaimu Sekali Lagi

Promises Promises [10] : Mencintaimu Sekali Lagi

 

            Pembuatan ruang kejra Rio berjalan lancar, dan selesai tepat pada waktu yang diperkirakan Ify. Mang Asep pun sudah memasang rak buku built-in—memenuhi dua bidang dinding ruang kerja. Dan, telah melengkapinya dengan tangga yang terkait pada rel di atas rak, hingga bisa digeser dengan mudah. Tangga tersebut akan memudahkan Rio untuk menjangkau buku-buku pada deretan teratas. Ify tidak menyangkal, ide Rio untuk meletakkan kolam ikan di dalam ruang kerjannya adalah ide yang bagus. Kini, focus perhatian ruang kerja itu adalah ruang kerja tersebut. Ify telah memasang dek di pinggir kolam, dan material dinding bau alam warna gelap sebagai pengisi bidang dinding. Beberapa pot tanaman hias yang diletakkan di bahwanya telah diperindah dengan taburan batu koral kupang. Area ini pasti dapat menyegarkan mata yang lelah akibat terlalu banyak membaca atau bekerja dengan computer. Ia tinggal menyuruh Riko dan Goldi untuk mengecat ruang tamu.

            Ify menghela napas panjang. Sejak ucapannya yang keterlaluan pada Rio, ia tidak pernah bertemu lelaki itu. Rio tidak lagi meluangkan waktu pada siang hari hanya untuk melihat perkembangan pekerjaannya. Mungkin akhirnya Rio mengerti bahwa tidak ada lagi kesempatan baginya untuk mengulang masa lalu. Bahkan tidak untuk sebuah pertemanan sekalipun. Namun—diluar dugaannya—walaupun sebagian dirinya merasa lega karena dapat bekerja dengan tenang, bagian lain dirinya merasa amat menyesal. Dan—yang lebih mengejutkan—seakan ada sesuatu yang hilang dari hatinya.

            Ify menghela napas berat, lalu berusaha menyibukkan diri untuk mengalihkan perhatiannya. Ia merapikan bantalan pada sofa kulit, lalu menghampiri tumpukan kardus di depan rak buku. Buku Rio amat banyak, dan mungkin membutuhkan waktu hingga sore untuk memindahkannya ke rak buku.

            Seulas senyum lembut menghias wajah Ify. Buku selalu mengingatkannya pada Kejora. Kecintaan gadis kecil itu pada buku sudah terlihat sejak Kejora bayi. Awalnya Ify nyaris putus asa menenangkan Kejora setiap kali anak itu rewel. Hingga suatu ketika—karena sudah tak tahu harus berbuat apa—Ify mengambil majalah wanita dan membacanya. Berusaha menulikan telinganya dari tangisan Kejora. Namun, tiba-tiba saja Kejora terdiam. Perhatian anak itu teralihkan pada majalah yang sedang dibaca Ify. Dan, sejak itu, Ify rajin membacakannya buku cerita anak-anak. Mungkin hobi membaca anak memang diturunkan dari orang tuanya, seperti dalam kasus Kejora, ia merasa hobi itu sudah ada di dalam gen putrinya.

            Ify merobek lakban kardus teratas dengan cutter, lalu mengeluarkan beberapa buku terbal ber-hardcover sekaligus. Untuk memudahkan pekerjaannya, terlebih dulu ia memindahkan semua buku ke rak bagian tengah—tempat yang kira-kira dapat dijangkaunya pada saat ia menaiki tangga—sebelum kembali memindahkannya ke rak atas. Ia menghela napas berat, saat kerinduan menelusupi hatinya.

            Ternyata, berpisah dengan Kejora selama dua minggu bukan hal yang mudah. Kalau saja ia tahu tidak akan bertemu dengan Rio seperti saat ini, tentu ia tidak perlu menitipkan Kejora pada ibunya yang tinggal di desa kecil yang nyaris terpencil itu. Desa yang masih sulit dijangkau oleh teknologi komunikasi yang telah canggih. Ify tidak mengerti mengapa ibunya tidak mau memasang telepon. “Tidak ada orang yang perlu ditelepon,” begitu katanya selalu. Ify mendesah sedih. Mungkin ia dan Kejora juga termasuk orang yang tidak perlu dihubungi ibunya—atau sebenarnya ibunya yang tidak ingin dihubungi olehnya? Bahkan, saat Ify membelikannya ponsel pun, ia harus memaksa dulu sebelum ibunya mau menerima. Bagaimanapun, ibunya sudah tua. Ify khawatir, jika terjadi sesuatu pada ibunya, dan ibunya tidak bisa cepat mendapat pertolongan. Namun sayang, di desa sinyal telepon kurang bersahabat. Sering terputus sendiri saat sedang berkomunikasi. Cara terbaik hanyalah melalui sms.

            Ify menghela napas panjang. Kini, ia menyesal tidak membelikan Kejora ponsel. Tadinya, ia pikir Kejora masih terlalu kecil untuk memiliki benda itu. Lagi pula, Kejora belum pernah terpisah dari dirinya seperti ini. Mereka selalu menjenguk ibunya bersama-sama. Liburan pun selalu bersama. Ia pikir, Kejora bisa selalu menggunakan telepon rumah kalau harus menghubunginya atau teman-temannya. Untunglah—walaupun dengan wajah cemberut—Kejora tidak terus merengek. Ify menyeka keningnya yang berkeringat dengan punggung tangan. Untunglah libur Kejora sudah hampir berakhir. Lusa ia akan berangkat ke Sukabumi untuk menjemput putrid kesayangannya itu.

            “Perlu bantuan?”

            Suara berat yang merayap masuk ke telinganya membuyarkan lamunan Ify. Dan seperti biasanya, jantungnya langsung berdegup kencang di luar kehendaknya. Ify mendesah kesal. Ternyata ia salah duga. Rio sama sekali belum mengerti, dan tetap tidak mau membiarkannya bekerja dengan tenang. Ify melirik jam tangannya, dan keningnya berkerut. Pukul 10.50? Jangan-jangan lelaki ini baru mau beragkat kerja? Ify mendesah pelan. Apa pun yang dilakukan Rio sama sekali bukan urusannya. “Nggak, makasih,” gumam Ify, tanpa menoleh kepada Rio. Ia mengeluarkan buku terakhir dari dalam karus, lalu menaiki tangga.

            “Ify, soal obrolan kita waktu itu,” Rio mengulurkan dua buah buku kepada Ify, “aku cuma ingin—“

            “Aku nggak mau membahasnya.” Tukas Ify sambil merah buku yang diulurkan padanya dan meletakkanya pada tak teratas.

            “Tapi, aku cuma ingin kamu tahu, aku—“

            “Aku nggak ingin tau apa pun, Rio,” potong Ify tajam.

            “Tapi—“

            “Udahlah, Rio, lupain aja. Semua udah berlalu,” potong Ify lagi sambil merogoh saku belakang celana jeansnya, dan mengeluarkan ponselnya yang berdering ribut. Keningnya berkerut saat mendapati nomor tak dikenal tertera pada layar ponsel.

            Dengan wajah muram, Rio mengawasi Ify yang menuruni tangga, dan melangkah menjauhinya untuk menerima telepon. Rasa kecewa menjalari hatinya. Rupanya Ify begitu membencinya, hingga tidak mau memberinya kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Walaupun ia bisa memahami semua sikap Ify, ia ingin perempuan itu tahu betapa ia menyesali perbuatannya di masa lalu. Ia ingin Ify tahu usahanya untuk memperbaiki kesalahannya.

            Suara benda jatuh, membuyarkan lamunan Rio. Ia tertegun saat mendapati wajah Ify pucat-pasi, dan matanya nanar. Ponselnya kini tergeletak di lantao. Dalam sekejap, rasa khawatir menjalari hatinya. Mengenyahkan kesedihannya. “Ada apa, Fy?” Ia bergegas menghampiri Ify.

            Ify bergeming, seakan tidak mendengar pertanyaan Rio.

            Rio menatap perempuan itu penuh tanya. Perlahan ia mengulurkan tangan, menyentuh bahu Ify. Dapat dirasakan tubuh perempuan itu gemetar. Rasa khawatir makin pekat membalut hatinya. “Ify…?” Ia mengguncang lembut tubuh Ify. “Ada apa?”

            Sentuhan tangan Rio dan guncangan yang dirasakannya, menyentak kesadaran Ify. Ia mendongak menatap Rio dengan mata berkaca-kaca. “R-Rara…” Rasa takut dan rasa panik telah membuat otaknya lumpuh. Ia tidak dapat berpikir. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan, seluruh tulang seakan lenyap dari tubuhnya.

            Rio terkesiap melihat tubuh Ify merosot ke lantai. Dengan cepat, ia menangkap tubuh perempuan itu, menahannya agar tetap berdiri, lalu mendekapnya erat. “Fy, ada apa?”

            Ify seakan tidak mendengar suara lembut Rio. Hanya beberapa patah kata yang terus bergema di telinganya. Demam. Muntah darah. Rumah sakit. Beberapa patah kata yang masih mampu tertangkap di antara cerocosan panik ibunya. Hanya beberapa, tetapi mampu membuat hatinya dicengkram oleh rasa takut yang luar biasa. Tubuhnya bergetar hebat dan tangisnya meledak. Ify menyembunyikan wajahnya di dada Rio. Bahunya berguncang keras.

            Ya, Tuhan. Ia sangat takut kehilangan Kejora. Ia tidak bisa hidup tanpa gadis kecil itu di sisinya. Kejora adalah jiwanya. Tapi, ini semua salahnya! Seharusnya ia berpikir panjang dan tidak begitu saja menitipkan Kejora pada ibunya. Perempuan itu tidak pernah menyukai Kejora, dan tidak peduli padanya. Setiap kali Ify mengirim SMS untuk menanyakan keadaan Kejora, ibunya hanya mengatakan bahwa Kejora baik-baik saja—sedang tidur atau membaca. Bodoh! Apa yang ia harapkan dari ibunya? Tergopoh-gopoh memberitahunya kalau Kejora demam sedikit saja? Perempuan itu bahkan baru menyadari Kejora sakit setelah putrinya itu muntah darah. MUNTAH DARAH! Ya, Tuhan. Ia memang bodoh! Bagaimana ia bisa seceroboh ini? Bagaimana ia bisa begitu saja memercayakan Kejora pada perempuan yang tidak menginginkan kehadiran cucunya itu? Tetapi, ia pun tidak menyangka Kejora akan jatuh sakit. Gadis kecil itu tampak baik-baik saja saat ia mengantarkannya ke sana.

            Hati Rio semakin tercabik melihat perempuan yang dicintainya menangis dalam pelukannya. Tak pernah sebelumnya ia melihat Ify menangis. bahkan di saat memohon padanya untuk tidak pergi. Bahkan di saat ia meminta Ify untuk menggugurkan kandungannya. Tidak ada setetes air mata pun yang jatuh di pipi mulusnya. Ia tak pernah menyangka, melihat Ify menangis seperti ini mampu menghancurkannya. Ingin rasanya ia melakukan apapun untuk memindahkan beban yang sedang ditanggung Ify saat ini. Rio mempererat pelukannya, meletakkan dagunya pada puncak kepala Ify, lalu membelai punggungnya lembut. Berusaha menenangkannya. Dibiarkannya Ify menghabiskan tangis dalam pelukannya. Dibiarkannya air mata perempuan itu merembes di kemejanya, dan menghangatkan kulitnya.

            Saat shock-nya mulai berkurang, Ify terkejut menyadari dirinya berada dalam pelukan Rio. Jantungnya berdegup kencang, dan wajahnya menghangat. Ia ingin segera melepaskan diri dari pelukan lelaki itu, tetapi tubuhnya terasa enggan menarik diri. Tangan kokoh yang memeluknya erat membuatnya merasa dilindungi. Belaian lembut di punggungnya terasa begitu menenangkan. Dada tempatnya menyandarkan kepala membuatnya merasa aman. Tetapi ia tidak bisa membiatkan dirinya terus berada dalam pelukan lelaki ini. Tidak boleh! Situasi seperti ini hanya akan membuatnya semakin terperosok ke dalam jurang cintanya. Setelah yakin tenaganya telah kembali, dan kakinya telah berpijak kokoh, Ify menarik diri dari pelukan Rio.

            “Ada apa dengan Rara?”

            Dengan susah payah, Ify menelan ludah. Membasahi tenggorokannya yang kering. “Rara masuk rumah sakit.”

            Jantung Rio mencelos. Wajahnya berubah bias. Rasa cemas mencengkram hatinya. “Rara masuk rumah sakit?” Dilihatnya Ify mengangguk. “Kenapa? Sakit apa?”

            Ify berusaha mengingat apa saja yang dikatakan ibunya, tetapi otaknya seperi balon udara. Kosong. Tidak tahu informasi apapun yang terekam disana. “N-nggak tau.”

            Rio menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan diri. “Ify,” panggilnya lembut. “Rumah sakit mana?”

            Ify mendongak menatap Rio dengan pandangan kosong. Ya, Tuhan. Ia tidak dapat mengingat apapun. Ia bahkan tidak ingat apakah ibunya menyebutkan nama rumah sakitnya atau tidak. Rasa panik kembali menguasai hatinya. “Nggak tau.”

            Rio menatap Ify putus asa. Ia menjulurkan tangan, menyentuh bahu Ify. “Coba ingat baik-baik, Fy.” Sebisa mungkin ia menjaga suaranya agar tetap tenang. “Rara ada di rumah sakit mana?”

            “Aku nggak tau, Rio. Aku nggak ingat.” Suara Ify meninggi, panik bercampur putus asa. “Yang pasti, rumah sakit di Sukabumi.”

            Rio terperangah. “Sukabumi? Kenapa bisa di Sukabumi?”

            Ify menundukkan kepalanya. Ia tidak mungkin mengatakan alasannya. Ia malu. Saat ini ia baru menyadari betapa bodoh keputusan yang dibuatnya. Hanya karena mengikuti rasa takut yang tidak berasalan, ia telah menitipkan Kejora pada ibunya.

            Rio menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan kepanikannya sendiri. “Kalo gitu, tunggu sebentar.” Rio memutar tubuhnya dan bergegas meninggalkan ruang kerjanya.

            Ify tidak tahu apa yang dilakukan lelaki itu. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Otaknya belum bisa berpikir jernih. Tak lama kemudian didengarnya langkah kaki mendekat. Ify menoleh, dan mendapati Rio memasuki ruang kerja sambil menenteng sebuah jaket.

            “Ayo berangkat.”

            Ify menatap Rio dengan pandangan kosong. “Ke mana?”

            Rio tersenyum lembut. “Ke Sukabumi, Ify,” jawabnya tenang.

            Ify terperangah. Ia menatap Rio tanpa berkedip. Tak bisa berkata-kata. Tentu  saja. Itu yang harus dilakukannya sekarang. Pergi ke Sukabumi secepatnya!

            “Mana tas kamu?”

            Ify menyapukan pandangannya ke sekeliling ruangan dengan bingung, mencari tasnya. Namun, sepertinya benda yang dicarinya tidak berada di dalam ruangan. Ia berusaha mengingatnya, tetapi rupanya otaknya belum mau bekerja dengan baik.

            Melihat kelinglungan Ify, Rio menyadari tidak ada gunanya bertanya lagi. “Tunggu sebentar, ya.” Rio kembali melesat keluar ruangan. Tak lama lelaki itu telah kembali dengan tas Ify di tangannya. “Ayo.”

            Dengan setengah linglung, Ify mengikuti lelaki itu keluar rumah, lalu masuk ke mobil. Hanya dalam hitungan menit, mereka sudah berada di jalan raya. Tiba-tiba saja otaknya mulai bekerja. Ify teringat sesuatu. “Bukannya kamu masih jam kerja?”

            Rio mengangguk. “Aku nggak bisa membiarkan kamu pergi ke Sukabumi sendiri,” ia menjelaskan.

            “Tapi aku belum bilang sama Riko kalau—“

            “Tenanglah, Fy. Aku udah kasih tau Riko kalau kamu ada urusan keluarga.” Rio tersenyum menenangkan. “Aku juga udah minta tolong Riko untuk memasukkan mobil kamu ke garasiku.”

            Selama beberapa saat, Ify hanya bisa menatap Rio tanpa berkata-kata. Lelaki ini telah melakukan segalanya untuknya—bahkan hal-hal kecil yang tidak terpikirkan olehnya. Ia tidak tahu apa jadinya kalau Rio sudah berangkat kerja. Mungkin, hingga saat ini, ia masih kebingungan di dalam ruang kerja Rio. Tidak tahu apa yang harus dilakukannya. “Makasih, Yo,” gumamnya kemudian, sambil mengaluhkan pandangannya dari lelaki di sisinya itu.

            Rio melirik Ify dari sudut matanya. Didapatinya perempuan itu hanya menatap kosong jalan di depannya. Kedua tangannya saling meremas di pangkuannya. Kecemasan terpeta jelas pada wajahnya. Rio mengembalikan pandagannya pada jalan raya. Diam-diam ia menghela napas berat. Ini aneh. Sangat aneh. Kejora bukan putrinya, tetapi ia pun merasa amat cemas. Begitu cemasnya, seakan Kejora adalah darah dagingnya sendiri. Apakah kecemasan ini muncul karena ia sudah jatuh cinta kepada gadis kecil itu? Rio menjulurkan tangannya, menangkupkannya pada tangan Ify.

            Remasan lembut tangan Rio menyentak Ify dari lamunanya. Ia ingin meepaskan tanganny dari genggaman lelaki itu, tetapi kehangatan yang mengalir dari telapak tangan yang besar dan kokoh itu, dengan cara yang aneh, membuatnya merasa lebih tenang. Begitu mententramkan, hingga ia tak ingin Rio melepaskannya. Perlahan, Ify mengalihkan pandangannya pada Rio. Lelaki itu menatapnya dengan pandangan yang teduh. Seulas senyum lembut mengembang di wajah tampannya.

            “Jangan khawatir,” kata Rio lembut. “Rara anak yang kuat. Dia pasti akan segera sembuh.”

            Keyakinan di mata Rio seakan menular pada Ify. Memberinya secuil harapan. Memberinya kekuatan baru. Ify mengangguk. Lalu menundukkan pandagannya. Diam-diam, Ify amat bersyukur Rio memaksa unruk mengantarnya ke Sukabumi. Ia tidak tahu, apakah ia sanggup menghadapi masalah ini bila ia seorang diri. Ketenangan yang diberikan Rio membuat otak Ify mulai kembali bekerja. Ibunya pasti membawa Kejora ke rumah sakit terdekat. Rumah sakit tempat Kejora dilahirkan. “Aku udah ingat rumah sakitnya,” gumam Ify lirih.

            Rio tersenyum lega. “Kalo gitu, istirahatlah dulu.” Ia meremas lembut tangan Ify sebelum menarik kembali tangannya.

            Ify menundukkan pandangannya. Tak ingin berkata-kata lagi. Namun, di luar kehendaknya, ada rasa hangat mengaliri hatinya. Ia benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi kalau lelaki ini tidak berada di sisinya. Rasa takut kehilangan Kejora telah membuatnya lumpuh. Diam-diam, ia melirik Rio dari sudut matanya. Mungkin ia telah keliru menilai Rio. Mungkin ia telah bersikap tak adil pada Rio.

            Mungkin ketakutannya selama ini tidak beralasan. Lelaki yang kini ada di sisinya, sudah jauh berbeda dengan lelaki yang dikenalnya belasan tahun yang lampau. Rio yang sekarang bukan lagi pemuda manja yang lebih suka lari dari tanggung jawab. Lelaki ini malah amat bisa diandalkan. Keberadaan Rio membuatnya merasa mendapatkan tempat bersandar. Merasa tidak sendirian. Sekaligus juga membuatnya sadar betapa lelahnya ia selama ini, berjuang seorang diri. Membuatnya menyadari, setangguh apapun dirinya, ia tetap perempuan biasa yang memiliki batas kemampuan. Ify menyandarkan kepalanya pada jok. Mungkin sudah saatnya ia memaafkan masa lalu, dan kembali melanjutkan hidupnya. Ify menghela napas dan memejamkan matanya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar