Rabu, 09 Januari 2013

Promises Promises[04]:Mencintaimu Sekali Lagi

Promises Promises [04] : Mencintaimu Sekali Lagi

 

Pagi ini Ify bisa menghela napas lega. Rio sudah berangkat ketika ia tiba dikediamannya. Itu berarti ia bisa bekerja dengan tenang. Ify segera meminta para pekerja yang sudah menunggunya untuk membongkar kitchen cabinet, kemudian memasang backpanel pantry. Dalam benaknya, Ify dapat melihat betapa cantiknya dapur baru Rio dengan backpanel yang terbuat dari material granit itu. Yah, mungkin sama cantik dengan dapur sebelumnya. Ia menganggapnya lebih cantik hanya karena dapur ini sesuai dengan seleranya.

            Ify duduk di atas kitchen set yang sudah dilepas dari tempatnya dan membuka laptopnya. Sambil bekerja dengan laptop, sesekali ia memberi pengarahan kepada para pekerjanya.

            “Siang, Ify.”

            Suara berat yang menyapanya tiba-tiba, membuat jantung Ify seakan berhenti berdetak. Cepat, ia mendongak. Didapatinya Rio melangkah santai memasuki dapur, lalu berhenti di sisinya. Mata lelaki itu mengamati backpanel yang sedang dipasang. “Kamu nggak kerja?” sindirnya.

            “Jam istirahat,” Rio menunduk, menatap Ify. Saat mendapati mata bulat dan indah perempuan itu membalas tatapannya dengan dingin, diam-diam Rio mengeluh dalam hati. Yah, ia memang pantas menerima kesinisannya. Namun, ia tidak akan menyerah dengan mudah. Apa pun akan dilakukannya demi mendapatkan kembali perempuan ini. Perempuan yang paling dicintai dan paling diinginkannya. Seulas senyum lembut mengembang di wajahnya, seakan tidak menyadari rasa tak suka yang ditunjukkan Ify. “Tugas aku nggak cuma ngurusin bisnis, tapi juga memperhatikan kepentingan orang-orang yang bekerja untukku.” Ia menjatuhkan tubuhnya di sisi Ify. “Kamu udah makan siang?” tanyanya sambil mengintip monitor laptop.

            “Udah.”

            “Bener..?”

            Ify tidak menjawab. Ia kembali menyibukkan diri dengan laptopnya. Rio pun tidak ingin memaksa. Lelaki itu duduk diam sambil memperhatikan kesibukan para pekerja yang sepertinya sama sekali tidak terganggu oleh kehadirannya, berbeda dengan Ify yang justru merasa sebaliknya.

            Ify sama sekali tidak menduga, meskipun lelaki itu hanya duduk diam di sisinya, tetapi tetap saja kehadirannya terasa mengganggu. Merasakan keberadaan Rio yang begitu dekat dengannya membuat jantungnya yang berdebar resah. Membuatnya tidak dapat berkonsentrasi pada lay-out yang sedang di kerjakannya.

            Rio melirik Ify dari sudut matanya, lalu menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan keresahan yang mulai menjalarinya. Namun, aroma yang menguar dari tubuh perempuan itu terhirup olehnya. Ia tidak tahu parfum apa yang dikenakan Ify. Parfum itu memiliki aroma lembut, manis, dan menggoda, tetapi anehnya, sekaligus menenagkan. Aroma itu menimbulkan sensasi yang meresahkan pada tubuhnya. Membuatnya ingin menggeser pinggulnya hingga merapat ke tubuh Ify, dan merengkuh tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya agar ia dapat menghirup keharumannya lebih banyak lagi. membuatnya ingin mencicipi rasa lembut dan manis yang menempel di kulit perempuan itu. Dengan resah, Rio melirik Ify dari sudut matanya. Didapatinya perempuan itu memakukan tatapannya lurus-lurus pada monitor laptopnya. “Aku suka warna material granitnya,” Ia berusaha membuka percakapan.

            “Hmmm..” gumam Ify tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.

            Rio mengeluh sedih dalam hati. Banyak sekali yang ingin dibicarakannya dengan perempuan ini, tetapi bagaimana ia bisa melakukannya jika perempuan yang diajaknya mengobrol ini begitu dingin dan menjaga jarak seperti ini. Rio kembali mengalihkan pandangannya ke blackpanel  yang hampir selesai di pasang. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan keresahannya. Namun, sekali lagi, aroma manis itu terhirup oleh hidungnya. Rio mengerang dalam hari saat merasakan keresahannya semakin menjadi. Perlahan, ia bangkin dari kitchen set, dan melangkah menjauhi Ify.

            Dering bel pintu, membuat Ify terlonjak. Cepat, ia bangkin dan melangkahkan kakinya lebar-lebar menuju ruang tamu. Ternyata pesanan kitchen set barunya terlah datang. Ify memang memutuskan untuk mengganti kitchen set karena warnanya tidak sesuai dengan blackpanel yang dipasangnya. Lagi pula, kitchen setkitchen set yang lama terbuat dari bahan bermutu rendah. Ify mendapati bagian belakangnya kasar, dan sepertinya dibuat secara asal-asalan. Ia tidak mengerti nagaimana pemborong rumah ini bisa memilih kitchen set yang seperti ini.

            Setelah meminta petugas delivery memasukkan kitchen set baru pesanannya dan menandatangani tanda terima, Ify kembali ke dapur. Dapur yang tidak terlalu luas itu kini tampak sempit dengan adanya dua kitchen set.

            “Rizky,” Ify memanggil salah seorang pekerjanya. “Kitchen set yang lama dikeluarin aja,” ia menunjuk kitchen set yang lama.

            Begitu Rizky dan seorang pekerja lainnya menghampiri kitchen set, Rio segera bergerak mendahului. Ia menyambar laptop Ify, lalu meletakkan di tempat aman. Saat ia memutar tubuhnyam dilihatnya Ify telah ikut mengangkat kitchen set, memegangi bagian belakangnya. Melihat itu, Rio segera menghampiri. “Biar aku saja,” ia menawarkan diri.

            “Nggak usah,” tolak Ify. “Nanti baju kamu kotor.”

            Namun, Rio tidak mau mendengar ucapan Ify. Lelaki itu bersikeras, berdiri di dekat Ify, berusaha menyingkirkan tangan perempuan itu dari kitchen cabinet, dan mengambil alih tempatnya. Tetapi…

            “Aww!”

                Pekikan pelan Ify, membuat Rio dan dua pekerja lain yang mengangkat kitchen set terpaku. Ify menarik tangannya menjauhi kitchen set dan mengibas-ibaskannya.

                “Eh, maaf,” ucap Rio terkejut, pandangannya berubah cemas. “Aku melukai tanganmu, ya?”

                “Nggak,” gumam Ify sambil menatap jarinya, keningnya menyerngit. “Nggak apa-apa, Cuma ketusuk serpihan kayu.”

                Rio segera melepaskan tangannya daari kitchen set dan membiarkan kedua pekerja Ify menggotongnya keluar. Ia menghampiri Ify, dan meraih tangan perempuan itu. “Coba aku liat.”

                “Nggak usah.” Ify menepiskan tangan Rio, dan menjauhkan tangannya yang sakit dari lelaki itu.

                Namun, tak semudah itu membuat Rio menghentikan niatnya. Lelaki itu menangkap tangan Ify dan menariknya dengan paksa. Ia memperhatikan ujung jari tengah Ify yang memerah, dan mendapati kayu sebesar jarum berada di dalam jarinya. Tanpa banyak bicara, Rio menyeret Ify ke luar dapur.

                “Mau kemana?” Ify berusaha melepaskan tangannya dari Rio, tetapi cengkraman lelaki itu begitu kuat membelit tangannya. Walaupun sedang terseret-seret tak berdaya, genggaman tangan Rio tetap saja mampu membuat jantung Ify berdebar resah. Tetap saja mampu membuat wajahnya menghangat. Kening Ify berkerut saat menyadari lelaki itu membawanya ke tolilet tamu. “Mau ngapain sih?”

                “Cuci tanganmu.” Rio mendorong lembut tubuh Ify memasuki toilet tamu.

                Ify menatap Rio dengan pandangan kesal. “Kamu pikir air bisa mengeluarkan kayu ini?”

                “Nggak,” jawab Rio kalem. “Tapi aku bisa.”

                Walaupun tak memiliki bayangan apa yang akan dilakukan Rio untuk mengeluarkan serpihan kayu itu dari jarinya, Ify tidak membantah lagi. Ia paling sebal pada luka kecil seperti ini. Kecil, tapi teramat mengganggu. Dan, sialnya, hari ini ia tidak membawa pinset untuk mencabut serpihan kayu itu dari jarinya. Ia menghampiri wastafel dan mencuci tangannya sambil bertanya-tanya dalam hati apa yang akan dilakukan Rio untuk mengeluarkan serpihan kayu ini dari jarinya.

                Baru saja Ify menutup keran air, Rio telah meraih tangannya yang terluka dan menundukkan wajahnya. Belum sempat Ify mengucapkan sepatah kata pun, lelaki itu telah mendekatkan jari tengah Ify ke bibirnya dan hendak memasukkannya ke dalam mulut. Mata Ify terbelalak lebar saat menyadari apa yang akan dilakukan Rio. “Apa-apaan, sih?!” Ia berusaha menarik tangannya, tetapi Rio memeganginya dengan kuat.

                Rio mendongak, menatap Ify dengan pandangan yakin. “Aku bisa mengeluarkan kayu itu dari jarimu. Percaya deh.”

                “Nggak usah. Tanganku nggak apa-apa.” Ify kembali berusaha menarik tangannya, “Biar nanti saja dikeluarkannya.”

                “Ssst, diamlah,” Rio tidak mau mendengar protes Ify dan memasukkan jari tengah perempuan itu ke dalam mulutnya.

                Jantung Ify berdegup kencang ketika merasakan lidah Rio meraba ujung jarinya, mencari serpihan kayu itu. Srntuhan lembut itu menimbulkan sensasi yang kuat dan tak terduga pada tubuhnya. Saat Rio mengisap jarinya, getaran samar menjalari seluruh tubuh Ify. Gigitan lelaki itu pada jarinya, seakan menggelitikseluruh pori-pori di tubuhnya. Ify menggigit bibirnya kuat-kuat, berharap rasa sakit pada bibirnya mampu menghentikan reaksi aneh pada tubuhnya. Namun, usahanya sia-sia.

                Rio sendiri tak menyangka, menjelajahi jari Ify dengan lidahnya seperti ini bisa memancing gairahnya. Bisa menimbulkan keinginan untuk menjelajahi kulit perempuan ini lebih jauh lagi, tak hanya sebatas jari. Ia melirik Ify dari balik bulu matanya, dan mendapati perempuan itu menggigit bibir sambil menundukkan kepalanya. Bibir merah yang dulu pernah dikecupnya. Bibir indah yang dulu pernah menjadi miliknya. Ah, ia belum melupakan rasa manis bibir itu. Rio segera menundukkan pandangannya sebelum ia kehilangan kendali diri, dan melakukan hal memalukan yang akan disesalinya.

                Akhirnya Rio dapat menggigit serpihan kayu dan menariknya dari jari Ify. Ia mengeluarkan jari Ify dari mulutnya, dan melepaskan tangan perempuan itu, lalu mendongak, menyeringai, dan mengambil serpihan kayu dari sela giginya, dan menunjukkannya pada Ify. “Beres, kan?”

                Ify terlalu sibuk menghisap udara sebanyak-banyaknya untuk melegakan dadanya yang masih terasa sesak, hingga tak ada keinginan untuk melihat serpihan kayu sialan yang telah membuatnya terjebak dalam situasi seperti ini. Namun, toilet tamu yang sempit dan keberadaan Rio yang begitu dekat dengannya, membuat Ify menyadari bahwa usahanya sia-sia. Ia tetap tak dapat bernapas. Bahkan, cara lelaki itu menatapnya semakin memperburuk keadaan. Tanpa berkata-kata, Ify menghambur keluar toilet.

                Rio menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debar resah pada jantungnya. Berusaha menetralisir semua reaksi yang muncul pada tubuhnya. Ia tahu, ia tidak bisa tinggal lebih lama lagi—tidak seperti yang direncanakannya tadi. Tidak saat ini. Lebih baik ia segera pergi ke kantor sebelum ia kehilangan kendali dirinya.

                Sebelum merasa lebih tenang, Rio meninggalkan toilet. Ia menghampiri Ify yang sedang berbicara dengan pekerjanya di ruang makan. “Ify.”

                Ify berhenti berbiacara. Ia menoleh pada Rio sambil meletakkan satu tangannya di pinggul. Satu alisnya terangkat naik, “Ada apa?”

                “Aku harus kembali ke kantor.” Rio memasukkan kedua tangannya ke saku celananya. “Kalau kamu perlu sesuatu, hubungi saja aku.”

                “Oke.” Dengan gaya tak acuhnya, Ify kembali mengalihkan pandangannya pada pekerjanya, dan meneruskan perkataanya yang sempat terputus.

                Rio menatap Ify selama beberapa saat tanpa berkata-kata, lalu berbalik dan melangkah menyeberangi ruangan. Rasa sedih menjalari hatinya. Ia tahu, meraih hari Ify pastilah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia juga sadar, ia pantas menerima sikap dingin dan ketus perempuan itu. Tetapi ia tidak ingin melepaskan perempuan itu. Tidak akan pernah lagi!

                Begitu mendengar mesin mobil Rio meninggalkan pekarangan, diam-diam Ify menghela napas lega. Ia tidak mengerti apa yang diinginkan Rio darinya. Ia tidak mengerti mengapa lelaki itu seakan tidak mau membiarkannya bekerja dengan tenang. Namun yang lebih tidak dimengertinya adalah reaksi yang selalu muncul di tubuhnya setiap kali lelaki itu berada di dekatnya. Ia bahkan tidak tahu apakah ia harus marah, atau berterimakasih kepada Rio karena telah menolongnya tadi. Ify mendesah resah, lalu melangkah masuk dapr untuk melanjutkan pekerjaannya.

 

**

                Dapur Rio akhirnya selesai ia kerjakan. Pencahayaan indirect pada kitchen cabinet yang menyoroti backpanel pantry membuat dapur itu berkesan elegan. Hari ini pekerjaan Ify tinggal meletakkan dan memsang semua peralatan dapur yang telah datang, memasang rel untuk menggantungkan peralatan memasak, lalu meletakkan barang-barang dapur pada tempatnya. Ify melirik jam tangannya. Masih ada satu jam lagi sebelum ia menemui Pak Santoso—calon kliennya—di kantornya. Sambil memberi instruksi pada Riko, Ify mengambil tiga kursi bulat tanpa sandaran berbahan stainless dan meletakkan di depan meja pantry.

                “Ify.”

                Ify mendesah resah bercampur kesal saat telinganya menangkap suara berat yang amat dikenalnya. “Sepertinya kantormu kekurangan pekerjaan, ya?” sindir Ify lirih sambil menyambar lap dan cairan pembersih. Tidak sekejap pun ia mengalihkan pandangannya pada Rio.

                Seulas senyum mengembang di wajah Rio. Hanya sesaat kemudian kembali terhapus. Sudah sejak tadi ia berdiri mengawasi kesibukan Ify memberi instruksi pada pekerjaannya dan ia menyadari hal penting yang harus segera disampaikannya pada perempuan itu. “Ify.”

                Nada mendesak pada suara Rio mau tak mau membuat Ify menoleh. Ia melemparkan tatapan tak sabar pada lelaki yang berdiri di ambang pintu dapur tersebut. “Apa?”

                “Kemari sebentar.”

                “Kamu sendiri liat kan, aku lagi sibuk?” tukas Ify tak sabar, lalu kembali menyemprotkan cairan pembersih pada meja pantry dan mengelapnya.

                Ify mendengar ketukan tumit pantofel Rio mendekat. Ia menghela napas berat. Ia tidak mengerti mengapa lelaki ini seakan tidak mau mendengar ucapannya. Padahal sudah jelas saat ini ia sedang sibuk. Akhirnya suara ketukan sepatu itu berhenti. Ify dapat merasakan kehadiran lelaki itu di balik punggungnya. Begitu dekat, hingga membuat konsentrasinya berantakan—seperti biasa seriap kali lelaki itu berada di dekatnya. Membuat Ify harus berusaha sekuat tenaga memakukan matanya pada meja pantry di hadapannya. Memaksakan tangannya menggosok ke segala arah.

                “Ify, kamu lagi—“            

                Tubuh Rio yang menempel pada punggungnya, dan embusan napas lelaki itu pada telinganya, membuat Ify merasa bulu-bulu halus di leher dan lengannya meremang. Secepat kilat ia menggeser tubuhnya menjauhi Rio, lalu melemparkan pandangan gusar pada lelaki itu. “Ada apa, sih?” tanyanya dengan nada kesal yang terdengar jelas.

                Rio melirik anak buah Ify yang sedang sibuk meletakkan mesin pencuci piring pada tempatnya, dan memasang rel di dekat wastafel lalu mengalihkan pandangan kepada perempuan di hadapannya. “Maaf.” Ia mendekatkan kepalanya ke telinga Ify, lalu berbisik. “Kamu lagi…halangan?” tanyanya hati-hati.

                Mata Ify membelalak lebar, ia tak bisa berkata-kata. Ia tidak mengerti untuk apa Rio menanyakan hal seperti ini kepadanya. Dan, dari mana lelaki ini bisa tahu bahwa ia sedang datang bulan? “Nggak,” dustanya, tanpa berani menatap mata Rio.

                Rio menatap Ify dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. “Maaf mungkin aku salah,” ia memperbaiki letak kaca matanya, “tapi ada noda dir ok kamu,” bisiknya nyaris tak terdengar.

                Dengan cepat Ify memutar bahunya, berusaha melihat bagian belakang rok hijau muda yang dikenakannya. Wajahnya menggelap saat mendapati kebenaran ucapan Rio. Dengan panik, ia mengalihkan pandangannya pada anak buahnya. Dan, sedikit lega saat melihat mereka masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tetapi sial, ia tidak dapat mencegah rasa malu mengguyur tubuhnya. Kenapa harus Rio yang melihat bahkan memberitahunya? Kenapa ia tidak mengertahuinya sendiri? Cepat, Ify menyambar tas tangannya yang terletak di meja pantry dan berlari ke toilet tamu.

                Ify mengunci pintu toilet dan segera membuka tasnya. Wajahnya pucat saat tidak menemukan benda yang dicarinya. Seingatnya, ia sudah menyiapkan pembalut sebelum berangkat tadi. Mungkinkah karena terburu-buru ia jadi lupa memasukkannya ke dalam tas? Ify mengerang dalam hati. Sial, betapa ceroboh dirinya. Sebentar lagi ia harus ke kantor klien, tetapi ia tidak bisa mengganti pembalutnya dan bajunya kotor.

                Kebingungan, Ify mondar-mandir di dalam ruangan berukuran 1,5 m x 1 m itu—lebih tepatnya, hanya memutar-mutar tubuhnya di tempat dengan gelisah. Haruskah ia membatalkan meeting-nya dengan Pak Santoso? Tetapi lelaki itu amat sibuk. Untuk mendapatkan jadwal presentasi hari ini saja, Cakka harus menunggu hingga sebulan lebih. Bosnya bisa ngomel kalau ia membatalkan meeting ini begitu saja.

                Proyek ini memang tidak akan di-handle seorang diri oleh Ify. Masih ada dua orang disainer interior lain yang tergabung dalam timnya. Namun, Ify adalah ketua tim proyek ini, dan saat ini kedua desainer interior lainnya sedang sibuk mengerjakan proyek mereka yang lain. Ia tidak bisa meminta mereka menggantikannya untuk presentasi. Tidak dalam waktu yang semepet ini. Ify mengeluh dalam hati. Bisa-bisa Cakka akan memecatnya jika tender besar ini jatuh ke perusahaan desain interior saingan mereka akibat kecerobohannya. Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Ify.

                “Fy? Kamu nggak apa-apa?”

                “Nggak.”

                “Kalo gitu, cepatlah. Kamu kan ada presentasi.”

                Kemarin Ify memang sudah mengatakan pada Rio bahwa hari ini ia tidak bisa berlama-lama mengawasi pekerjaannya karena ada presentasi. Namun, kalau ia cepat selesai, ia akan segera kembali ke mari untuk melanjutkan pekerjaannya. Tetapi, ia tidak menyangka Rio begitu peduli, sampai mengingatkannya soal presentasi itu.

                “Ify, kamu yakin nggak apa-apa?” Tanya Rio cemas. “Kamu nggak bawa…”  ia terdiam sejenak, memilih kata-kata, “ganti ya?”

                Ify kembali mengerang dalam hati. Wajahnya kembali menggelap. Bagimana Rio bisa menebak seakurat itu? Tetapi bagaimana cara ia mengatakannya pada Rio? Pada lelaki yang jelas bukan suaminya pula? Ia malu. Amat sangat malu!

                “Ify, kamu bersihkan saja noda di baju kamu. Aku mau ke apotek sebentar.”

                Kening Ify berkerut mendengar ucapan Rio. Apa yang akan dilakukan lelaki itu? Untuk apa lelaki itu ke apotek? Tiba-tiba Rio terperangah. Apakah lelaki itu akan membelikannya pembalut? Meskipun tidak yakin Rio mau mempermalukan dirinya pergi ke apotek hanya untuk membelikannya pembalut, tetapi ia memang harus membersihkan noda pada roknya. Ify menatap roknya dengan muram. Noda pada roknya hilang, tetapi roknya basah dan tidak mungkin kembali kering dalam waktu kurang dari satu jam. Dengan putus asa, ia menjatuhkan tubuhnya di atas kloset. Tak tahu harus berbuat apa selain menunggu Rio.

                “Ify, aku bawa sesuatu yang kamu butuhkan.”

                Suara Rio di antara ketukan pintu itu mengejutkan Ify. Secepat kilat ia mengenakan kembali roknya, memutar kunci, lalu membuka pintunya sedikit. Dari balik selah sempit itu, ia melihat Rio menjulurkan sebuah kantong plastic berisi—ia terperangah—pembalut! Ternyata Rio benar-benar membelikannya benda itu. Ia tidak menyangka, Rio—yang bukan kekasihnya apalagi suaminya—mau melakukan sesuatu yang bisa mempermalukan dirinya sendiri itu. Sesuatu yang bahkan seorang kekasih ataupun suami belum tentu mau melakukannya.

                Canggung, Ify menjulurkan tangannya melewati celah pintu, meraih kantong plastic. “Makasih,” gumamnya lirih, lalu dengan cepat menarik tangannya dan menutup pintu. Dengan tak sabar, ia mengeluarkan bungkus sedang pembalut dari dalam kantong. Keningnya berkerut saat mendapati kotak lain di bawah bungkus pembalut. Matanya terbelalak saat mengetahui apa yang ada di dalam kotak itu. Hair dryer! Ternyata, Rio benar-benar telah memikirkan segalanya. Walaupun ia tak meninginkannya, tetapi Ify tidak bisa mencegah kehangatan merayapi hatinya.

                Keluar dari toilet, Ify mendapati Rio sedang bersandar pada kusen pintu dapur. Satu tangannya berada di dalam satu celananya. Memunggunginya. Asyik mengawasi pekerja. Jantung Ify berdesir. Meskipun sikap lelaki itu tampak santai, tetapi—entah mengapa—terlihat begitu seksi di matanya. Diam-diam Ify mengeluh dalam hati. Kedewasaan dan sikap gentleman Rio adalah sesuatu yang baru baginya. Sesuatu yang tidak ditemuinya pada pemuda manja yang dulu dicintainya.

                Namun, Ify kemudian sadar. Sikap Rio justru harus mebuatnya lebih waspada. Ia harus lebih berhati-hati. Ia tidak ingin jatuh cinta lagi pada lelaki itu. Dulu, ia pernah berharap terlalu banyak, hingga menyerahkan miliknya yang paling berharga, tetapi ternyata lelaki ini tidak mencintainya.

                Ia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Ia tidak ingin menaruh secuil harapan pun pada lelaki itu. Ia tidak ingin terluka lagi. Namun, mengapa semakin lama semakin sulit baginya untuk bersikap dingin? Mengapa semakin sulit baginya untuk membiarkan jurang tetap membentang di antara mereka?

                Ify menarik napas dalam-dalam. Tidak. Ia tidak akan membiarkan dirinya jatuh ke lubang kesahalan yang sama untuk kedua kalinya. Ia bukan gadis lugu lagi, ia harus bisa mengendalikan diri agar tidak terhanyut oleh perasaan. Rio sudah mengajarkan banyak hal padanya; bahwa apa pun yang dilakukan lelaki itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Lelaki itu tidak pernah mencintainya. Tidak dulu, tidak sekarang, tidak juga nanti.

 

----

Maaf typo bertebaran, belum sempat cek ulang, hehe. Find me on twitter @YessyPevensia:O

Tidak ada komentar:

Posting Komentar