Rabu, 09 Januari 2013

Promises Promises[07]:Mencintaimu Sekali Lagi

Promises Promises [07] : Mencintaimu Sekali Lagi

 

            Rio memperlambat laju Z4 Roadster-nya di jalan sepi perumahan menengah. Berkali-kali ia menoleh ke kanan dan kiri, mengamati deretan rumah sederhana yang dilewatinya. Ia telah berada di alamat yang benar, dan kini tinggal mencari nomor 24. Namun sepertinya, perumahan ini tidak memiliki nomor yang beraturan. Sedikit membingungkan.

            Rio melirik bunga segar yang tergeletak pada jok di sisinya. Senyumnya mengembang. Ia amat penasaran ingin mengetahui reaksi Ify jika melihat kedatangannya nanti. Perempuan itu pasti tidak menyangka bahwa ia bisa mendapatkan alamat rumahnya. Senyum Rio melebar. Untunglah tidak terlalu sulit meminta alamat rumah Ify pada Cakka. Walaupun terdnegar sedikit ragu-ragu, tetapi temannya itu memberikan juga alamat yang dimintanya. Yah, ia memang ingin memberikan kejutan untuk Ify. Kejutan sederhana, yang tidak akan diduga oleh perempuan itu.

            Tanpa sadar Rio menginjak rem saat melihat seseorang perempuan sedang mencuci mobil di pekarangan sebuah rumah mungil. Perempuan itu hanya mengenakan tanktop dan celana pendek. Rambutnya yang lurus dan tebal diikat buntut kuda. Jantung Rio berdegup kencang saat melihat kaki jenjang perempuan itu terekspos. Walaupun perempuan itu memunggunginya, ia langsung dapat mengenalinya. Seulas senyum lembut mengembang di wajahnya. Kalau saja Rio tidak mengenalnya, ia pasti mengira perempuan yang sedang mencuci mobil itu seorang gadis remaja. Rio menepikan mobilnya.

            Suara mobil berhenti di depan rumahnya, membuat Ify menghentikan pekerjaannya, dan menoleh. Matanya terbelalak saat mendapati mobil yang amat dikenalnya itu berhenti di jalan depan rumahnya. Jantung Ify berdegup cepat. Ia tidak mengerti apa yang dilakukan lelaki itu disini. Di rumahnya. Dan, lebih tidak mengerti lagi bagaimana Rio bisa mengetahui alamatnya. Ify mengerang dalam hati saat teringat Cakka. Yah, sudah tentu bosnya itu yang memberikannya pada Rio.

            Jantung Ify berdegup semakin cepat saat melihat lelaki itu keluar dari mobil anggunnya. Tampak begitu tampan dan segar dengan rambut spyke­-nya yang masih sedikit basah, dan warna kehijauan di dagunya menandakan pria itu baru saja bercukur. Dalam sekejap, keresahan menjalarinya. Ify menatap lelaki yang melangkah menghampirinya tanpa berkedip. Penampilan Rio sangat casual bahkan terkesan berantakan; kemeja hitam lengan pendek yang tidak dimasukkan ke celana jeans-nya yang justru membuatnya begitu memesona. Begitu maskulin.

            Pandangan Ify beralih pada tangan lelaki itu—pada benda yang dibawanya—dan ia terkesiap. Bunga matahari! Ternyata lelaki ini masih ingat bunga favoritnya! Ify meremas kanebo dengan gugup. Ia tidak mengerti apa yang diinginkan lelaki itu dari dirinya. Mengapa Rio tidak mau berhenti mengusiknya? Apa sebenarnya yang diinginkan lelaki itu darinya? Rencana apa yang ada di otak Rio?

            Rio menghentikan langkahnya di hadapan Ify. “Pagi, Ify.” Ia menjulurkan bunga yang dibawanya dengan senyum mengembang lebar. Melihat Ify hanya berdiri mematung, menatap bunga yang dijulurkannya tanpa berkedip, Rio segera menambahkan. “Ini untuk kamu.”

            Ify mendongak. Menatap Rio dengan pandangan dingin. Tak mengacuhkan bunga yang disodorkan kepadanya. “Ngapain kamu ke sini?”

            Kedua alis Rio terangkat. Terkejut dengan keketusan Ify. “Aku,” ia memperbaiki letak kacamatanya dengan canggung. “Aku ingin minta maaf.”

            Ify meletakkan satu tangannya di pinggul, dan mengangkat dagunya. Menatap Rio dengan pandangan angkuh. “Untuk…?”

            “Kejadian waktu—“

            “Aku nggak ingin membahasnya,” potong Ify cepat sambil memutar tubuhnya. Tanpa dikehendaki, wajahnya mulai menghangat. Meskipun telah beberapa hari berlalu, ia belum juga bisa melupakan peristiwa di guestroom itu. Degup jantungnya kembali cepat, dan getaran samar kembali menjalari seluruh tubuhnya. Ify mengelap mobilnya dengan gerakan cepat. “Itu sebuah kesalahan,” seperti di masa lalu, tambahnya sedih dalam hati. “Nggak akan terulang lagi.”

            Jantung Rio mencelos. Sikap Ify sama sekali di luar dugaannya. “Aku tahu,” gumamnya lirih, berusaha menutupi rasa kecewanya. “Itu sebabnya aku membawakan kamu bunga ini.” Ia menggoyangkan bunga di tangannya, berusaha menarik perhatian Ify. “Bunga kesukaanmu sebagai tanda permintaan maafku.”

            “Aku nggak suka bunga matahari,” tukas Ify, tanpa menoleh. “Nggak lagi.”

            Rio tertegun. Begitu besarkah kebencian perempuan ini terhadapnya? Lalu, mengapa Ify membalas ciumannya dengan penuh gairah? Rio mengeluh dalam hati. Ternyata, meskipun sudah pernah menikah, ia tetap tidak bisa seratus persen memahami hati perempuan. Rio menarik napas dalam-dalam. Tetapi, ia tidak akan mundur begitu saja. Tidak, sampai ia yakin tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu.

            Ify melirik Rio dari sudut matanya. Dilihatnya lelaki itu hanya berdiri terpaku, menatapnya dengan pandangan kecewa dan—Ify tertegun—sedih. Dalam sekejap, rasa tak tega merayapi hatinya. “Aku banyak kegiatan hari ini,” suaranya sedikit melunak. “Jadi maaf, aku nggak bisa menyilakan kamu masuk, atau menemani kamu ngobrol.” Ia meremas kanebonya, lalu kembali mengelap mobil.

            Ify mengusirnya! Hati Rio terasa nyeri seketika. Sebenarnya banyak sekali yang ingin dilakukannya hari ini. Banyak yang ingin dikatakannya pada Ify. Sejak semalam ia sudah berencana akan mengajak Ify makan siang di luar—berdua saja. Ia ingin menjelaskan segalanya. Ingin mengatakan betapa menyesalnya ia. Ingin memohon perempuan itu untuk memaafkannya. Tetapi tak mengapa. Ia sama sekali tidak tersinggung. Ia pantas menerima perlakukan buruk dari perempuan ini. Bahkan, jika Ify mencacinya, melemparnya dengan kanebo, dan menyiramnya dengan air kotor dalam ember pun, rasanya memang pantas ia terima. Rio menarik napas dalam-dalam. Perlahan, ia memutar tubuhnya dan melangkah pergi.

            “Mooom! Jadi pergi nggak sih?”

            Seruan seorang gadis kecil membuat langkah Rio terhenti seketika. Dengan cepat, ia memutar tubuhnya. Didapatinya seorang gadis kecil berbuntut kuda, bercelana pendek dengan T-shirt merah berdiri di teras. Kejora! Rio menatap gadis kecil itu dengan penuh rasa ingin tahu. Dan, gadis kecil itu balas menatapnya dengan cara yang sama. Walaupun dari jarak yang tidak terlalu dekat, Rio dapat melihat gadis itu mewarisi garis wajah ibunya. Dagu yang lancip, serta bibir dan hidung yang indah. Namun—jantung Rio berdegup kencang—rambut dan bentuk mata Kejora mirip dengannya. Mungkinkah…? Sayang, posisinya tidak cukup dekat untuk dapat melihat warna mata gadis kecil itu.

            Tubuh Ify seakan membeku. Tangannya berhenti bergerak mengelap mobil. Dengan gugup, ia melirik Rio, dan melihat lelaki itu berdiri terpaku menatap Kejora. Perlahan, rasa cemas menjalarinya.

            “Mom…?”

            “Masuk, Kejora. Sebentar lagi Mama selesai.”

            Suara Ify yang tegas, dan cara menyebutkan namanya membuat Kejora paham bahwa ibunya tidak ingin dibantah. “Cepet ya, Mom,” ia memutar tubuhnya, dan melangkah riang ke dalam.

            Rio menatap rambut ikal Kejora yang terayun-ayun mengikuti langkahnya tanpa berkedip, lalu mengalihkan pandangan pada Ify. Jantung Ify berdegup cepat saat mendapati Rio menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Kecemasan mulai merayapi hatinya.

            “Anakmu cantik.”

            “Makasih,” Ify memeras kanebo, lalu membungkuk untuk mengambil ember. “Maaf aku harus bersiap-siap.” Tanpa menunggu jawaban Rio, Ify memutar tubuhnya dan melangkah pergi.

            Rio menatap punggung Ify yang melangkah masuk ke rumah tanpa berkata-kata. Perlahan, ia memutar tubuhnya dan melangkah menghampiri mobilnya. Rio menggelengkan kepalanya perlahan, lalu menghela napas panjang. Tidak. Tidak mungkin Kejora adalah darah dagingnya. Mungkin saja suami Ify dulu juga mempunyai rambut yang ikal. Lagipula usia Kejora setahun lebih muda daripada anaknya—kalau saja ia tidak menyuruh Ify untuk menyingkirkannya, pikir Rio getir sambil menyalakan mobilnya.

            Dengan cepat, rasa nyeri menusuk hati Rio. Penyesalan menggumpal di dadanya. Menyesakkanya. Mungkin inilah karma. Dulu, di saat ia memiliki anak, ia malah membuangnya. Kemudian, di saat ia begitu menginginkan kehadiran seorang anak, istrinya malah tidak mau memberikannya. Dan kini, perempuan yang pernah hampir menjadi ibu dari anaknya, perempuan yang paling dicintainya, malah begitu membencinya. Rio tersenyum getir. Yah, hukuman ini memang setimpal untuknya. Namun, masih adakah kesempatan baginya untuk memperbaiki segalanya?

            Rio melirik jam tangannya. Hari masih pagi, tetapi kini ia tidak memiliki rencana apapun untuk mengisi hari Minggunya. Satu-satunya rencana hari ini telah gagal total. Rio menghela napas berat. Mungkin sebaiknya ia pergi ke rumah lamanya—yang akan menjadi milik Ashilla—untuk mengambil beberapa barangnya yang masih tertinggal. Rio mencari letter U, kemudian memutar balik mobilnya.

 

**

            Rio menghela napas berat, lalu melirik jam tangannya. Ia tersentak kaget saat mendapati waktu telah menunjuk pukul 02.17. sejak pukul 20.00 ia berada di depan laptopnya, berusaha mengerjakan sesuatu, tetapi ternyata nyaris tidak ada yang dilakukannya. Ia mendengus kesal. Selama berjam-jam, hanya Ashilla yang ada di benaknya. Rengekan perempuan it uterus terngiang di telinganya, hingga membuatnya jengkel. Ia tidak mengerti, mengapa perempuan itu tidak mau berhenti memohon padanya untuk membatalkan perceraian mereka. Tidakkah Ashilla mengeri bahwa ia sudah tidak bisa lagi hidup bersamanya? Walay hanya satu detikpun? Ia sudah tidak mencintai perempuan itu lagi. Rasa cinta yang dulu dimilikinya musnah dalam sekejap pada malam tragis itu. Lagi pula hatinya kini telah ada cinta yang lain. Cinta yang sesungguhnya tak pernah hilang dari hatinya, sekuat apapun ia berusaha melenyapkannya. Cinta yang tak terhapus oleh waktu.

            Rio mendesah sedih. Sayang, hingga detik ini perempuan yang dicintainya masih bersikap menjaga jarak dengannya. Padahal ia bersungguh-sungguh ingin kembali. Siap menerima Ify apapun keadaannya. Bahkan dengan senang hati menerima kehadiran Kejora. Ia yakin, ia bisa menyayangi gadis kecil yang cantik itu layaknya putrinya sendiri.

            Ah, Kejora…Rio menghela napas panjang. Ada sesuatu yang mengusik hatinya setiap kali bayangan gadis kecil itu muncul di benaknya. Sesuatu yang tidak dimengertinya. Sesuatu yang meresahkannya.

            Dan perasaan asing itu kini memancing rasa penasarannya. Menimbulkan keinginan yang kuat untuk bertemu Kejora lagi. Membuatnya ingin melihat gadis kecil itu dari dekat. Membuatnya ingin mengobrol dengan gadis kecil itu. Rio mendesah resah. Ify telah mengatakan bahwa Kejora adalah putrid dari mendiang suaminya, dan ia sama sekali tidak meragukan ucapan perempuan itu. Tidak ada gunanya Ify membohonginya. Kalaupun Kejora adalah darah dagingnya, bukankah akan lebih baik jika Ify mengatakannya? Betapa pun bencinya perempuan itu padanya, tetapi—ia yakin—Ify pasti berpikiran logis. Ify pasti tahu, akan lebih baik bagi perkembangan kejiwaan Kejora jika memiliki ayah.

            Sambil mendesah resah, Rio melepaskan kacamatanya, lalu meletakkanya di atas meja kecil di sisi longue chair. Apakah perasaan asing ini muncul karena ia telah lama begitu mendambakan kehadiran seorang anak dalam hidupnya? Terutama anak perempuan?

            Seandainya saja ia tidak pernah meminta Ify menggugurkan kandungannya, saat ini ia pasti sudah memiliki putra atau putrid. Seorang—bahkan mungkin beberapa—anak, tempatnya mencurahkan seluruh kasih sayangnya. Rio menghela napas sedih. Hanya ia dan Tuhan yang tahu betapa besar kerinduannya mendengar celoteh ribut anak-anak disekelilingnya.

            Rio bangkit dari longue chair dan menghampiri pintu yang menghubungkan kamarnya dengan teras. Dihirupnya udah malam sebanyak-banyaknya, berusaha meredakan keresahannya. Namun, perasaan asing ini tidak juga hilang. Perasaan aneh yang terus menggelitik rasa penasarannya. Tetapi, apa yang bisa dilakukannya? Dari sikap yang ditunjukkan Ify padanya, Rio tidak yakin perempuan itu mengizinkannya mendekati Kejora. Ia tertegun. Kecuali… kalau Ify tidak tahu. Yah, memang mustahil perempuan itu tidak mengetahuinya. Kejora pasti akan bercerita kepada Ify kalau Rio datang menemuinya. Tetapi, ia hanya ingin bertemu satu kali saja. Ia hanya ingin memastikan perasaan aneh yang muncul di hatinya. Tetapi, bagaimana caranya? Lalu bagaimana jika Ify marah dan semakin membencinya? Rio mendesah resah. Ia tidak ingin Ify semakin membencinya, namun ia pun tidak dapat begitu saja menghilangkan rasa penasarannya.

            Rio mengangkat tangannya tinggi-tinggi di atas kepala. Merengangkan otot-otot yang terasa kaku. Hati ini ia merasa sangat lelah—baik fisik maupun emosi. Sebaiknya, besok saja ia mencari cara untuk bertemu Kejora, sekaligus memikirkan alasan yang tepat untuk—paling tidak—mengurangi kemarahan Ify. Rio menghela napas panjang, kemudian memutar tubuhnya, dan melangkah masuk.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar