Promises Promises [07] : Mencintaimu Sekali Lagi
Rio memperlambat laju Z4 Roadster-nya di jalan sepi perumahan menengah.
Berkali-kali ia menoleh ke kanan dan kiri, mengamati deretan rumah
sederhana yang dilewatinya. Ia telah berada di alamat yang benar, dan
kini tinggal mencari nomor 24. Namun sepertinya, perumahan ini tidak
memiliki nomor yang beraturan. Sedikit membingungkan.
Rio melirik bunga segar yang tergeletak pada jok di sisinya. Senyumnya
mengembang. Ia amat penasaran ingin mengetahui reaksi Ify jika melihat
kedatangannya nanti. Perempuan itu pasti tidak menyangka bahwa ia bisa
mendapatkan alamat rumahnya. Senyum Rio melebar. Untunglah tidak terlalu
sulit meminta alamat rumah Ify pada Cakka. Walaupun terdnegar sedikit
ragu-ragu, tetapi temannya itu memberikan juga alamat yang dimintanya.
Yah, ia memang ingin memberikan kejutan untuk Ify. Kejutan sederhana,
yang tidak akan diduga oleh perempuan itu.
Tanpa
sadar Rio menginjak rem saat melihat seseorang perempuan sedang mencuci
mobil di pekarangan sebuah rumah mungil. Perempuan itu hanya mengenakan
tanktop dan celana pendek. Rambutnya yang lurus dan tebal diikat buntut
kuda. Jantung Rio berdegup kencang saat melihat kaki jenjang perempuan
itu terekspos. Walaupun perempuan itu memunggunginya, ia langsung dapat
mengenalinya. Seulas senyum lembut mengembang di wajahnya. Kalau saja
Rio tidak mengenalnya, ia pasti mengira perempuan yang sedang mencuci
mobil itu seorang gadis remaja. Rio menepikan mobilnya.
Suara mobil berhenti di depan rumahnya, membuat Ify menghentikan
pekerjaannya, dan menoleh. Matanya terbelalak saat mendapati mobil yang
amat dikenalnya itu berhenti di jalan depan rumahnya. Jantung Ify
berdegup cepat. Ia tidak mengerti apa yang dilakukan lelaki itu disini.
Di rumahnya. Dan, lebih tidak mengerti lagi bagaimana Rio bisa
mengetahui alamatnya. Ify mengerang dalam hati saat teringat Cakka. Yah,
sudah tentu bosnya itu yang memberikannya pada Rio.
Jantung Ify berdegup semakin cepat saat melihat lelaki itu keluar dari
mobil anggunnya. Tampak begitu tampan dan segar dengan rambut spyke-nya
yang masih sedikit basah, dan warna kehijauan di dagunya menandakan
pria itu baru saja bercukur. Dalam sekejap, keresahan menjalarinya. Ify
menatap lelaki yang melangkah menghampirinya tanpa berkedip. Penampilan
Rio sangat casual bahkan terkesan berantakan; kemeja hitam lengan pendek yang tidak dimasukkan ke celana jeans-nya yang justru membuatnya begitu memesona. Begitu maskulin.
Pandangan Ify beralih pada tangan lelaki itu—pada benda yang
dibawanya—dan ia terkesiap. Bunga matahari! Ternyata lelaki ini masih
ingat bunga favoritnya! Ify meremas kanebo dengan gugup. Ia tidak
mengerti apa yang diinginkan lelaki itu dari dirinya. Mengapa Rio tidak
mau berhenti mengusiknya? Apa sebenarnya yang diinginkan lelaki itu
darinya? Rencana apa yang ada di otak Rio?
Rio
menghentikan langkahnya di hadapan Ify. “Pagi, Ify.” Ia menjulurkan
bunga yang dibawanya dengan senyum mengembang lebar. Melihat Ify hanya
berdiri mematung, menatap bunga yang dijulurkannya tanpa berkedip, Rio
segera menambahkan. “Ini untuk kamu.”
Ify
mendongak. Menatap Rio dengan pandangan dingin. Tak mengacuhkan bunga
yang disodorkan kepadanya. “Ngapain kamu ke sini?”
Kedua alis Rio terangkat. Terkejut dengan keketusan Ify. “Aku,” ia
memperbaiki letak kacamatanya dengan canggung. “Aku ingin minta maaf.”
Ify meletakkan satu tangannya di pinggul, dan mengangkat dagunya. Menatap Rio dengan pandangan angkuh. “Untuk…?”
“Kejadian waktu—“
“Aku nggak ingin membahasnya,” potong Ify cepat sambil memutar
tubuhnya. Tanpa dikehendaki, wajahnya mulai menghangat. Meskipun telah
beberapa hari berlalu, ia belum juga bisa melupakan peristiwa di guestroom
itu. Degup jantungnya kembali cepat, dan getaran samar kembali
menjalari seluruh tubuhnya. Ify mengelap mobilnya dengan gerakan cepat.
“Itu sebuah kesalahan,” seperti di masa lalu, tambahnya sedih dalam hati. “Nggak akan terulang lagi.”
Jantung Rio mencelos. Sikap Ify sama sekali di luar dugaannya. “Aku
tahu,” gumamnya lirih, berusaha menutupi rasa kecewanya. “Itu sebabnya
aku membawakan kamu bunga ini.” Ia menggoyangkan bunga di tangannya,
berusaha menarik perhatian Ify. “Bunga kesukaanmu sebagai tanda
permintaan maafku.”
“Aku nggak suka bunga matahari,” tukas Ify, tanpa menoleh. “Nggak lagi.”
Rio tertegun. Begitu besarkah kebencian perempuan ini terhadapnya?
Lalu, mengapa Ify membalas ciumannya dengan penuh gairah? Rio mengeluh
dalam hati. Ternyata, meskipun sudah pernah menikah, ia tetap tidak bisa
seratus persen memahami hati perempuan. Rio menarik napas dalam-dalam.
Tetapi, ia tidak akan mundur begitu saja. Tidak, sampai ia yakin tidak
ada lagi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu.
Ify melirik Rio dari sudut matanya. Dilihatnya lelaki itu hanya berdiri
terpaku, menatapnya dengan pandangan kecewa dan—Ify tertegun—sedih.
Dalam sekejap, rasa tak tega merayapi hatinya. “Aku banyak kegiatan hari
ini,” suaranya sedikit melunak. “Jadi maaf, aku nggak bisa menyilakan
kamu masuk, atau menemani kamu ngobrol.” Ia meremas kanebonya, lalu
kembali mengelap mobil.
Ify mengusirnya! Hati Rio
terasa nyeri seketika. Sebenarnya banyak sekali yang ingin dilakukannya
hari ini. Banyak yang ingin dikatakannya pada Ify. Sejak semalam ia
sudah berencana akan mengajak Ify makan siang di luar—berdua saja. Ia
ingin menjelaskan segalanya. Ingin mengatakan betapa menyesalnya ia.
Ingin memohon perempuan itu untuk memaafkannya. Tetapi tak mengapa. Ia
sama sekali tidak tersinggung. Ia pantas menerima perlakukan buruk dari
perempuan ini. Bahkan, jika Ify mencacinya, melemparnya dengan kanebo,
dan menyiramnya dengan air kotor dalam ember pun, rasanya memang pantas
ia terima. Rio menarik napas dalam-dalam. Perlahan, ia memutar tubuhnya
dan melangkah pergi.
“Mooom! Jadi pergi nggak sih?”
Seruan seorang gadis kecil membuat langkah Rio terhenti seketika.
Dengan cepat, ia memutar tubuhnya. Didapatinya seorang gadis kecil
berbuntut kuda, bercelana pendek dengan T-shirt merah berdiri
di teras. Kejora! Rio menatap gadis kecil itu dengan penuh rasa ingin
tahu. Dan, gadis kecil itu balas menatapnya dengan cara yang sama.
Walaupun dari jarak yang tidak terlalu dekat, Rio dapat melihat gadis
itu mewarisi garis wajah ibunya. Dagu yang lancip, serta bibir dan
hidung yang indah. Namun—jantung Rio berdegup kencang—rambut dan bentuk
mata Kejora mirip dengannya. Mungkinkah…? Sayang, posisinya tidak cukup
dekat untuk dapat melihat warna mata gadis kecil itu.
Tubuh Ify seakan membeku. Tangannya berhenti bergerak mengelap mobil.
Dengan gugup, ia melirik Rio, dan melihat lelaki itu berdiri terpaku
menatap Kejora. Perlahan, rasa cemas menjalarinya.
“Mom…?”
“Masuk, Kejora. Sebentar lagi Mama selesai.”
Suara Ify yang tegas, dan cara menyebutkan namanya membuat Kejora paham
bahwa ibunya tidak ingin dibantah. “Cepet ya, Mom,” ia memutar tubuhnya, dan melangkah riang ke dalam.
Rio menatap rambut ikal Kejora yang terayun-ayun mengikuti langkahnya
tanpa berkedip, lalu mengalihkan pandangan pada Ify. Jantung Ify
berdegup cepat saat mendapati Rio menatapnya dengan pandangan yang sulit
diartikan. Kecemasan mulai merayapi hatinya.
“Anakmu cantik.”
“Makasih,” Ify memeras kanebo, lalu membungkuk untuk mengambil ember.
“Maaf aku harus bersiap-siap.” Tanpa menunggu jawaban Rio, Ify memutar
tubuhnya dan melangkah pergi.
Rio menatap punggung
Ify yang melangkah masuk ke rumah tanpa berkata-kata. Perlahan, ia
memutar tubuhnya dan melangkah menghampiri mobilnya. Rio menggelengkan
kepalanya perlahan, lalu menghela napas panjang. Tidak. Tidak mungkin
Kejora adalah darah dagingnya. Mungkin saja suami Ify dulu juga
mempunyai rambut yang ikal. Lagipula usia Kejora setahun lebih muda
daripada anaknya—kalau saja ia tidak menyuruh Ify untuk menyingkirkannya, pikir Rio getir sambil menyalakan mobilnya.
Dengan cepat, rasa nyeri menusuk hati Rio. Penyesalan menggumpal di
dadanya. Menyesakkanya. Mungkin inilah karma. Dulu, di saat ia memiliki
anak, ia malah membuangnya. Kemudian, di saat ia begitu menginginkan
kehadiran seorang anak, istrinya malah tidak mau memberikannya. Dan
kini, perempuan yang pernah hampir menjadi ibu dari anaknya, perempuan
yang paling dicintainya, malah begitu membencinya. Rio tersenyum getir.
Yah, hukuman ini memang setimpal untuknya. Namun, masih adakah
kesempatan baginya untuk memperbaiki segalanya?
Rio melirik jam tangannya. Hari masih pagi, tetapi kini ia tidak
memiliki rencana apapun untuk mengisi hari Minggunya. Satu-satunya
rencana hari ini telah gagal total. Rio menghela napas berat. Mungkin
sebaiknya ia pergi ke rumah lamanya—yang akan menjadi milik
Ashilla—untuk mengambil beberapa barangnya yang masih tertinggal. Rio
mencari letter U, kemudian memutar balik mobilnya.
**
Rio menghela napas berat, lalu melirik jam tangannya. Ia tersentak
kaget saat mendapati waktu telah menunjuk pukul 02.17. sejak pukul 20.00
ia berada di depan laptopnya, berusaha mengerjakan sesuatu, tetapi
ternyata nyaris tidak ada yang dilakukannya. Ia mendengus kesal. Selama
berjam-jam, hanya Ashilla yang ada di benaknya. Rengekan perempuan it
uterus terngiang di telinganya, hingga membuatnya jengkel. Ia tidak
mengerti, mengapa perempuan itu tidak mau berhenti memohon padanya untuk
membatalkan perceraian mereka. Tidakkah Ashilla mengeri bahwa ia sudah
tidak bisa lagi hidup bersamanya? Walay hanya satu detikpun? Ia sudah
tidak mencintai perempuan itu lagi. Rasa cinta yang dulu dimilikinya
musnah dalam sekejap pada malam tragis itu. Lagi pula hatinya kini telah
ada cinta yang lain. Cinta yang sesungguhnya tak pernah hilang dari
hatinya, sekuat apapun ia berusaha melenyapkannya. Cinta yang tak
terhapus oleh waktu.
Rio mendesah sedih. Sayang,
hingga detik ini perempuan yang dicintainya masih bersikap menjaga jarak
dengannya. Padahal ia bersungguh-sungguh ingin kembali. Siap menerima
Ify apapun keadaannya. Bahkan dengan senang hati menerima kehadiran
Kejora. Ia yakin, ia bisa menyayangi gadis kecil yang cantik itu
layaknya putrinya sendiri.
Ah, Kejora…Rio
menghela napas panjang. Ada sesuatu yang mengusik hatinya setiap kali
bayangan gadis kecil itu muncul di benaknya. Sesuatu yang tidak
dimengertinya. Sesuatu yang meresahkannya.
Dan
perasaan asing itu kini memancing rasa penasarannya. Menimbulkan
keinginan yang kuat untuk bertemu Kejora lagi. Membuatnya ingin melihat
gadis kecil itu dari dekat. Membuatnya ingin mengobrol dengan gadis
kecil itu. Rio mendesah resah. Ify telah mengatakan bahwa Kejora adalah
putrid dari mendiang suaminya, dan ia sama sekali tidak meragukan ucapan
perempuan itu. Tidak ada gunanya Ify membohonginya. Kalaupun Kejora
adalah darah dagingnya, bukankah akan lebih baik jika Ify mengatakannya?
Betapa pun bencinya perempuan itu padanya, tetapi—ia yakin—Ify pasti
berpikiran logis. Ify pasti tahu, akan lebih baik bagi perkembangan
kejiwaan Kejora jika memiliki ayah.
Sambil mendesah resah, Rio melepaskan kacamatanya, lalu meletakkanya di atas meja kecil di sisi longue chair.
Apakah perasaan asing ini muncul karena ia telah lama begitu
mendambakan kehadiran seorang anak dalam hidupnya? Terutama anak
perempuan?
Seandainya saja ia tidak pernah meminta
Ify menggugurkan kandungannya, saat ini ia pasti sudah memiliki putra
atau putrid. Seorang—bahkan mungkin beberapa—anak, tempatnya mencurahkan
seluruh kasih sayangnya. Rio menghela napas sedih. Hanya ia dan Tuhan
yang tahu betapa besar kerinduannya mendengar celoteh ribut anak-anak
disekelilingnya.
Rio bangkit dari longue chair
dan menghampiri pintu yang menghubungkan kamarnya dengan teras.
Dihirupnya udah malam sebanyak-banyaknya, berusaha meredakan
keresahannya. Namun, perasaan asing ini tidak juga hilang. Perasaan aneh
yang terus menggelitik rasa penasarannya. Tetapi, apa yang bisa
dilakukannya? Dari sikap yang ditunjukkan Ify padanya, Rio tidak yakin
perempuan itu mengizinkannya mendekati Kejora. Ia tertegun. Kecuali…
kalau Ify tidak tahu. Yah, memang mustahil perempuan itu tidak
mengetahuinya. Kejora pasti akan bercerita kepada Ify kalau Rio datang
menemuinya. Tetapi, ia hanya ingin bertemu satu kali saja. Ia hanya
ingin memastikan perasaan aneh yang muncul di hatinya. Tetapi, bagaimana
caranya? Lalu bagaimana jika Ify marah dan semakin membencinya? Rio
mendesah resah. Ia tidak ingin Ify semakin membencinya, namun ia pun
tidak dapat begitu saja menghilangkan rasa penasarannya.
Rio mengangkat tangannya tinggi-tinggi di atas kepala. Merengangkan
otot-otot yang terasa kaku. Hati ini ia merasa sangat lelah—baik fisik
maupun emosi. Sebaiknya, besok saja ia mencari cara untuk bertemu
Kejora, sekaligus memikirkan alasan yang tepat untuk—paling
tidak—mengurangi kemarahan Ify. Rio menghela napas panjang, kemudian
memutar tubuhnya, dan melangkah masuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar