Rabu, 09 Januari 2013

Promises Promises[05]:Mencintaimu Sekali Lagi

Promises Promises [05] : Mencintaimu Sekali Lagi

 

            Ify menjulurkan tangan, berusaha menyingkirkan embun yang menutupi kaca mobilnya. Sudah dua hari hujan deras mengguyur Jakarta. Dan, tampaknya hari ini cuaca masih belum bersahabat. Baru beberapa menit ia meninggalkan rumah, hujan kembali mengguyur dengan derasnya, bahkan disertai angin kencang. Sudah dapat diduga, banjir terjadi dimana-mana. Ify bersyukur, rumahnya tidak lagi termasuk kawasan rawan banjir. Dan lebih beruntungnya lagi, karena perjalanan ke rumah Rio pun tidak perlu melewati kawasan tersebut, karena sudah dapat dipastikan, mobil tuannya pasti akan mogok begitu melewati banjir. Namun, ia mengkhawatirkan para pekerjanya. Mudah-mudahan mereka tidak terjebak banjir.

            Ify mengeluh dalam hati. Skala prioritas pekerjannya mulai berantakan. Minggu lalu Rio memintanya membongkar dapur. Dan, kemarin, tiba-tiba Rio mengatakan ingin mengubah guestroom di lantai bawah menjadi ruang kerja sekaligus perpustakaan. Sementara itu, satu dari dua kamar kosong di lantai atas akan dijadikan guestroom. Terlalu banyak kamar kosong, begitu alasan lelaki itu.

            Seakan belum cukup membuat Ify kalang kabut, Rio memperpanjang daftar permintaannya dengan memperluas ruang kerjanyam membongkar kamar mandi tamu dan menjadikannya kolam kecil yang akan menyatu dengan ruang kerjanya. Rio malah ingin membuka atap di atas kolam ikan, hingga udara bisa mengalir masuk dengan alami serta menambahkan kamar mandi kecil di dalam ruang kerja. Dan, semuanya harus dibuat secepatnya. Segera! Dua hari lalu Ify telah mengirim lay-out yang dikerjakannya dengan terburu-buru via e-mail dan untunglah—seperti biasannya—Rio langsung setuju.

            Laju mobil yang tersendat-sendat, membuyarkan lamunan Ify. Ia mengerang kesal saat mesin mobilnya mati secara tiba-tiba. Ify menepikan mobilnya, dan memutar kunci kontaknya. Mencoba menyalakannya lagi. Namun, mobilnya tidak bereaksi. Dengan kesal, Ify memukul kemudi di hadapannya. Twin Cam tua ini memang sudah seharusnya dipensiunkan, karena lebih banyak check-in di bengkel daripada menjalankan tugasnya. Namun, membeli mobil baru tidak tertera dalam anggaran belanjanya tahun ini. Kejora baru saja masuk SMP. Dan bukan SMP biasa, melainkan SMP swasta favorit. Sebenarnya Kejora ingin sekali bersekolah di international school. Untunglah gadis kecil itu bisa diberi pengertiana, bahwa ibunya berjuang seorang diri untuk menhidupi keluarga kecil ini. Namun, Ify tahu, Kejora masih menyimpan impian bisa bersekolah di tempat bagus itu, Ify menghela napas panjang. Ia juga amat berharap dapat menyekolahkan Kejora disana. Ia bahkan berharap selalu bisa memberikan yang terbaik untuk gadis kecilnya.

            Ify kembali memutar kunci mobilnya, namun tidak ada reaksi apapun. Untunglah mobilnya mogok tak jauh dari rumah Rio. Paling hanya 100 meter. Ify mengambil ponselnya, dan melihat ada dua missed call dan satu SMS. Ternyata sejak tadi, Riko berusaha menghubunginnya. Namun guyuran hujan, membuatnya tidak mendengar ringtone ponselnya. Ify membuka SMS yang ternyata juga dari Riko. Anak buahnya itu mengabarkan bahwa ia tidak bisa datang kerumah Rio karena rumahnya kebanjiran. Ify menghela napas berat, lalu men-dial nomor telepon bengkel langganannya. Namun, hingga nada panggil berhenti, tidak ada yang mengangkat telepon. Ify men-dial, tetap tidak ada yang mengangkat telepon. Ia mendesah kesal. Jangan-jangan bengkel langanannya juga kebanjiran.

            Ify memasukkan ponsel ke dalam tas tangannya, lalu memutar tubuhnya. Matanya menyapu jok belakang mobilnya, mencari payung. Namun, benda yang dicarinya tidak ada di tempatnya.  Kening Ify berkerut. Ia menaikkan kedua kakinya ke atas jok, mengangkat bokongnya, lalu membalikkan tubuhnya hingga menghadap ke belakang. Ia berlutut di atas jok sambil memeluk sandaran. Matanya berkeliaran menyapu lantai mobilnya, tetapi tetap saja tidak bisa menemukan payung sialan itu. Sambil mendengus kesal, Ify memutar kembali tubuhnya dan kembali meletakkan bokongnya pada jok. Ia menyandarkan punggungnya, dan menatap kosong butir-butir besar air yang tumpah dari langit. Tiba-tiba ia menepuk keningnya. Betapa cerobohnya! Saat ia tiba dirumah kemarin, ia memakai payung sialan itu kembali ke mobil. Rupanya, ia lupa memasukkannya kembali ke mobil. Ify mengerang kesal. Tampaknya, tidak ada pilihan selain menunggu hujan berhenti—paling tidak sampai sedikit reda.

            Ify melirik jam tangannya dengan gelisah. Sudah sepuluh menit berlalu, tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Justru, semakin deras. Suara petir terdengar menyambar hingga memekakkan telinga. Ia tidak suka terjebak di mobil dalam waktu yang tidak dapat ditentukan, dan tanpa berbuat apa-apa seperti ini.

            Ify kembali melirik jam tangannya. Pukul 09.30. Rio pasti sudah berangkat bekerja. Rumah itu pasti kosong. Sepertinya, tak apalah ia berhujan-hujanan. Toh, Rio sudah membeli mesin cuci. Sementara mengeringkan pakaian, ia bisa meminjam salah satu handuk Rio. Yah, walaupun sikapnya amat tidak professional, tetapi ia yakin Rio tidak akan keberatan. Lagi pula, ia masih harus masuk ke kamar lelaki itu untuk meletakkan tanaman air, yang diinginkan Rio, di kamar lelaki itu. Ify yakin, ia aman. Lagi pula, Rio selalu muncul setelah jam makan siang. Jadi, bisa dipastikan, saat ini ia aman. Ia punya cukup waktu untuk mengeringkan bajunya, dan untuk mencoba kembali menghubungi bengkelnya.

            Ify meraih tas kerjanya, mengambil alat pengukur dan kunci rumah Rio, lalu keluar dari mobil. Setelah mengunci pintu mobilnya, ia berlari secepat heels mampu membawanya. Dalam sekejap gaun terusan putih yang dikenakannya basah kuyup. Ify menyadari, pakaian dalamnya pasti terpeta jelas pada gaun yang cukup tipis itu, tetapi ia tidak peduli. Hujan terlalu besar, tidak ada orang yang iseng berjalan-jalan di luar rumah—kecuali dirinya. Tidak ada yang akan memperhatikannya. Dengan perasaan lega, Ify menghampiri pintu pagar rumah Rio, membukanya, dan menghambur menyeberangi pekarangan.

            Dengan tubuh mulai menggigil, Ify berusaha memasukkan kunci ke lubang pintu. Namun, tangannya yang gemetaran membuatnya kesulitan. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya ia berhasil juga memasukkan kunci dan memutarnya. Secepatnya ia membuka pintu, melangkah masuk, menutup pintunya lagi, dan kembali menguncinya.

            “Ify…?”

            Tubuh Ify membeku seketika. Kunci yang dipegangnya terlepas dari tangannya, hingga menimbulkan bunyi keras dan bergema pada ruang kosong itu saat menyentuh lantai. Suara berat yang menyapanya, terdengar lebih keras daripada petir yang menggelegar diluar sana. Perlahan ia membalikkan tubuh.

            Wajahnya memanas saat mendapati Rio berdiri di depan pintu dapur. Menatapnya dengan pandangan terkejut. Rio menatap pakaian Ify yang basah kuyup. Tetesan air yang jatuh dari gaun Ify mulai menggenangi lantai tempat perempuan itu berpijak. Gaun terusan putih yang dikenakan Ify melekat bagai kulit kedua pada tubuhnya. Memetakan semua lekuknya dengan jelas. Lekuk tubuh yang tak pernah lekang dari ingatan Rio. Tubuh Ify tampak lebih berisi dibandingkan saat remaja dulu, tetapi tetap tampak padat dan semakin menonjolkan kewanitaannya. Semakin seksi. Bagian bawah gaunnya melekat pada kedua paha wanita itu, menonjolkan keindahan kakinya yang jenjang. Dalam sekejap, sensasi aneh menjalari tubuh Rio, membuatnya nyeri. Dengan susah payah Rio menelan ludah. Berusaha membasahi tenggorokannya yang kering.

            Melihat cara Rio menatapnya, Ify baru teringat pada keadaannya. Dengan wajah memanas ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Berusaha menyembunyikan tubuhnya dari pandangan Rio. Namun, ia tahu pasti, apa yang dilakukannya tidak banyak berguna.

            “M-mobilku mogok,” gumamnya dnegan gigi bergemeletuk, berusaha mengalihkan perhatian Rio dari tubuhnya. “Dan aku nggak bawa payung.”

            Suara Ify memasuki gendang telinga Rio, merayap perlahan ke otaknya, yang kemudian mencernanya dengan amat lambat. Mata Rio mengerjap, seakan baru sadar dari pengaruh hipnotis. Ia menarik napas dalam-dalam,  berusaha keras mengendalikan diri.

            “Kamu harus secepatnya mengeringkan badanmu,” Rio melangkah cepat menyeberangi ruangan. Dihampirinya Ify yang masih berdiri terpaku di depan pintu dan diraihnya tangan perempuan itu.

            Sebelum Ify menyadari apa yang dilakukan Rio, lelaki itu telah menarik tangannya dan membawannya ke lantai atas. Ify tahu, protes adalah hal yang paling tidak berguna saat ini. Rio tetap akan menyeretnya tanpa mau mendengar perkataannya. Lagi pula ia menyadari lelaki ini benar. Ia harus secepatnya mengeringkah diri kalau tidak ingin terkena flu. Pekerjaannya yang sedang menumpuk, dan sakit merupakan hal terakhir yang diinginkannya.

            Rio membawa Ify ke kamarnya dan mendorong lembut tubuh perempuan itu hingga masuk ke kamar mandinya. Dengan gesit, Rio menyambar handuk lebar yang tergantung pada tangga bamboo, lalu membungkus tubuh Ify yang menggiggil. “Sebaiknya kamu mandi air hangat dulu.” Ia meraih alat pengukur dan kunci mobil dari tangan Ify, lalu kembali mendorong tubuh Ify hingga masuk ke dalam bilik shower.

            Begitu Rio meninggalkan kamar mandi dan menutup pintunya, Ify menyampirkan handuk di atas pintu shower, melepas sepatunya, dan meletakkannya diluar bilik shower, lalu melepaskan seluruh pakaiannya. Tak berapa lama, hangatnya air yang mengucur dari shower telah mengusir rasa dingin dari tubuhnya. Membuatnya berhenti menggigil. Sambil menyabuni tubuhnya, Ify mengeluh dalam hati. Ini benar-benar hari terburuknya. Ia sama sekali tidak menyangka Rio ada di rumah. Dan, melihat lelaki itu hanya mengenakan jeans dan T-shirt, sudah jelas lelaki itu sama sekali tidak berniat pergi ke kantor. Itu berarti, ia masih harus menanggung rasa malunya lebih lama lagi.

            Sebuah pemikiran yang melintas di benaknya, membuat tubuh Ify membeku. Tangannya berhenti menyabuni tubuhnya. Bagaimana caranya mengeringkan pakaiannya yang basah? Dan, apa yang akan dikenakannya selama menunggu pakaiannya kering? Rasanya tidak mungkin Rio memiliki pakaian perempuan. Dan, tidak mungkin ia hanya mengenakan handuk di depan lelaki itu. Rasa panic membanjirinya. Ify memaki-maki kebodohannya dalam hati.

            Setelah mematikan shower dan mengeringkan rambut serta tubuhnya, Ify melilitkan handuk lebar itu di sekeliling tubuhnya, lalu menyambar pakaiannya. Begitu keluar dari bilik shower, Ify meraih sehelai handuk kering lagi tangga bambu untuk menutupi pundaknya yang terbuka. apa yang harus dilakukannya sekarang? Menunggu sepanjang hari di dalam kamar mandi? Ify menjatuhkan tubuhnya di atas kursi di depan meja rias, meletakkan pakaian basahnya di pangkuan, lalu menyapukan pandangannya ke sekililing kamar mandi—mencari jalan keluar. Ketukan tiba-tiba pada pintu, membuat Ify terlonjak kaget.

            “Ify, kamu sudah selesai?”

            Suara berat dan tenang Rio, yang terdengar di antara ketukan pintu, membuat Ify gugup. Kepanikan kembali menjalarinya, saat menyadari sejak tadi ia membiarkan pintu kamar mandi tidak terkunci. Cepat, Ify merapatkan tubuhnya pada pintu, dan memutar kuncinya perlahan. “U-udah.”

            “Kalo gitu, tolong buka pintunya,” suara Rio kembali terdengar. “Aku punya baju kering yang bisa kamu pakai.”

            Ragu, Ify kembali memutar anak kunci, dan membuka pintunya sedikit. Rio menyodorkan sehelai T-shirt dari tangan Rio.

            “Kemarikan bajumu. Biar aku keringkan.”

            Ify menjulurkan pakaiannya melalui celah pintu, lalu secepatnya menutup pintu.

            “Ify…?” Suara tenang Rio kembali terdengar. “Pakaiannya dalammu?”

            Wajah Ify seakan terbakar. Ia mencengkram pakaian dalamnya erat-erat. “Ng-nggak usah, Yo.”

            “Kamu nggak akan memakainya dalam keadaan basah, kan?” Suara Rio terdengar curiga. “Kamu bisa sakit, Ify.”

            Ify mengeluh dalam hati. Ia tahu apa yang akan dikatakan Rio benar, tapi ia tidak ingin lelaki ini melihat apa lagi menyentuh pakaian dalamnya. Kejadian ini telah membuatnya amat malu. Ia tidak ingin semakin mempermalukan dirinya di hadapan lelaki itu. “Biar aku keringkan sendiri.”

            “Caranya…?”

            Sialan, kenapa sih lelaki ini tidak mau berhenti bertanya? “Kamu masih menyimpan hair dryer yang waktu itu, kan?” Ify menunggu jawaban Rio dengan jantung berdebar. Dalam hati ia berdoa Rio masih menyimpan benda itu.

            “Bentar ya, aku ambilkan.”

            Ify menghela napas lega. Sambil menunggu Rio, ia mengenakan T-shirt yang diberikan Rio. Ternyata T-shirt itu kebesaran untuknya. Begitu besarnya, hingga pada bagian bawahnya hanya sepuluh senti di atas lututnya. Ify tersenyum geli melihat pantulan bayangannya di cermin. T-shirt itu tampak begitu longgar di tubuhnya.

            Ify melepaskan handuknya, dan merasakan betapa lembutnya bahan T-shirt itu pada kulitnya, begitu nyaman. Namun, kesadaran bahwa pakaian yang dikenakannya adalah milik Rio, menimbulkan sensasi aneh pada tubuhnya. Membayangkan lelaki itu pernah mengenakan pakaian ini menimbulkan perasaan intim yang meresahkan. Ify menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha mengenyahkan pikiran aneh dari benaknya, lalu ia menjatuhkan tubuhnya di kursi, menunggu Rio.

            Tak lama kemudian, pintu kamar mandi kembali diketuk. Ify membukanya, mengambil hair dryer yang disodorkan Rio, dan langsung menutup pintu.

            “Kalau sudah selsai, aku tunggu di dapur ya.”

            Ify tidak menjawab. Ia menyolokkan kabel dan mulai mengeringkan pakaian dalamnya. Ify menghela napas panjang. Kepedulian yang ditunjukkan Rio padanya membuatnya resah. Rio sudah banyak berubah. Lelaki ini memang lebih dewasa dan lebih gentleman daripada pemuda yang dulu dikenalnya, tetapi itu tidak berarti ia boleh membiarkan dirinya tersentuh. Ia sadar, ia tidak boleh terhanyut oleh perhatian lelaki itu. Ia tidak boleh membiarkan lelaki itu kembali menyentuh hatinya. Kepedulian lelaki itu tidak berarti apa-apa. Rio tidak pernah mencintainya. Namun, mengapa ia semakin sulit mempertahaknkan dinding yang melindungi hatinya untuk tetap berdiri? Semakin sulit membiarkan jurang tetap membentang di antara mereka? Dan, bagaimana ia bisa mempertahankan sikap dinginnya setelah semua yang dilakukan Rio untuknya? Ify menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan keresahannya.

 

**

            Rio menangkat kepalanya dari monitor laptop, saat merasakan kehadiran seseorang di dapur. Matanya melebar saat mendapati Ify berdiri di ambang pintu dalam balutan pakaian yang tampak kedodoran di tubuhnya, dan bertelanjang kaki. Rambut perempuan itu telah mongering dan tergerai indah pada pundaknya yang ramping. Penampilan perempuan tersebut membuat paru-paru Rio berhenti menghirup udara. Sensasi yang menjalari tubuhnya membuatnya merasa nyeri. Ify tampak begitu cantik dan menggemaskan, hingga ia ingin menarik perempuan itu ke dalam pelukannya.

            “Makasih ya, Yo,” gumam Ify canggung.

            “Kamu udah merasa hangat?” Rio menundukkan pandangannya pada monitor laptopnya, berusaha menyembunyikan keresahannya.

            Ify mengangguk. Perlahan, ia menghampiri meja pantry dan duduk di atas kursi stainless di hadapan Rio.

            Rio memperbaiki letak kacamatanya, lalu melirik Ify dari balik bulu matanya. “Kamu mau coklat hangat?”

            Ify kembali mengangguk.

            Rio segera beranjak dari kursinya, dan menghampiti kitchen set. Rio tampak begitu santai dalam balutan jeans dan T-shirt v-neck hitam. Santai sekaligus—Ify menelan ludahnya dengan susah payah—amat seksi. Punggung lelaki itu tampak lebih kokoh daripada pemuda yang dulu dikenalnya. Bahunya pun lebar. Saat Rio berbalik menghadapnya, Ify nyaris tidak bisa mengalihkan pandangannya dari dada bidang lelaki itu. Bentuk otot yang terpeta samar pada atasannya, membuat Ify sulit bernapas. Dengan susah payah, Ify menundukkan pandangannya, dan memakukan matanya pada kedua tangan di pangkuannya.

            Rio meletakkan mug di hadapan Ify, lalu kembali membalikkan tubuh. Dengan cekatan lelaki itu mengambil dua piring kecil dan garpu dari lari kitchen cabinet, dan meletakannya di ats meja pantry. Ia lalu menghampiri kulkas. “Mobil kamu mogok dimana?” tanyanya sambil mengeluarkan cake dari kulkas dan meletakkan di atas meja pantry.

            “Di dekat sini,” jawab Ify sambil mengaduk cokelat hangatnya.

            Alis Rio terangkat. “Di dekat sini, di mana?” Ia meletakkan sepotong choco nuts pada piring kecil, lalu mendorong piring itu ke hadapannya Rio.

            “Kira-kira, seratus meter dari sinilah,” Ify menyesap cokelat hangatnya perlahan. Berusaha menyembunyikan keresahannya.

            “Kamu nggak bawa payung?”

            Ify tersenyum malu, tidak menjawab.

            “Ketinggalan,” Rio menjawab sendiri pertanyaannya sambil tersenyum geli. “ternyata, kamu nggak banyak berubah, ya? Masih aja pelupa.”

            Wajah Ify menghangat.

            “Udah telepon bengkel?”

            “Udah,” Ify meletakkan mug-nya di atas meja pantry, “Tapi nggak ada yang angkat. Mungkin tutup.” Ia meraih garpu dan mulai memotong secuil cake di hadapannya.

            Rio mengangguk. “Nanti biar aku liat, apa masalahnya.”

            Hening.

            “Kamu nggak kerja?” Ify berusaha memecah keheningan.

            “Kantorku melewati daerah rawan banjir, jadi aku kerja dirumah saja.”

            Kembali hening. Canggung.

            Rio mendongak, menatap Ify dari balik kacamatanya. Perempuan itu menunduk. Menatap kue di hadapannya dengan mata nanar. Sesekali tangannya bergerak menyuapkan potongan kue ke dalam mulutnya, tetapi tampak jelas pikirannya melayang kemana-mana. Rio menarik napas dalam-dalam, “Berapa usia anakmu?”

            Pertanyaan Rio yang tidak terduga membuat Ify nyaris tersedak. Seluruh darah di tubuhnya seakan membeku. Otaknya berputar cepat. Panik memikirkan berbagai kemungkinan. “Sebelas,” dustanya pada akhirnya.

            Rio tertegun. Jantungnya berdetak cepat. Mungkinkah..? Otak Rio menghitung dengan cepat. Rasa kecewa menghapus secuil harapan yang sempat muncul, saat mendapati perhitungannya meleset. Rio memperbaiki letak kacamatanya. “Siapa namanya?”

            “Kejora.”

            “Nama yang cantik.” Rio tersenyum lembut. “Kelas berapa?”

            Sekali lagi, otak Ify berputar panik. “Satu SMP.”

            Kedua alis Rio terangkat. Ia menatap Ify dengan pandangan yang sulit di terjemahkan.

            “Kejora pernah loncat kelas waktu SD,” Ify menambahkan dengan cepat dan gugup.

            “Gadis kecil yang cerdas.”

            Suara Rio yang lembut saat berbicara, membat Ify semakin gugup. Ia memakukan pandangannya pada meja pantry, tidak berani membalas tatapan lelaki di hadapannya.

            “Seandainya aku punya anak perempuan,” Rio menyesap cokelat hangatnya, “aku pasti memberinya nama yang secantik itu juga.”

            Ify mendongak. Ia tertegun saat mendapati wajah lelaki fi hadapannya berubah muram. Ia tidak mengerti, apakah Rio menyesali pernikahannya dengan Ashilla yang tidak menginginkan anak, atau lelaki itu menyesali perbuatannya di masa lalu. Hanya satu hal yang ia mengerti; keakraban ini membuatnya resah sekaligus takut. Ia harus menyudahinya. Ify bangkit berdiri dari kursi. “Aku mau menelpon mandor yang akan mengerjakan perpustakaanmu dulu.”

            Rio mendongak. Ia menatap Ify sejenak, lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela. “Hujan udah reda.” Ia bangkit dari kursi, dan menyambar kunci mobil Ify. “Lebih baik aku periksa mobilmu sekarang,” katanya seraya melangkah pergi.

 

**

            Usai mengenakan kembali pakaiannya yang telah kering, Ify turun ke lantai bawah. Hujan telah  berhenti,  dan tidak banyak yang bisa dilakukannya hari ini tanpa kehadiran anak buahnya. Beberapa furniture yang seharusnya tiba hari ini pun terpaksa tertunda pengirimnya. Jadi lebih baik ia meninggalkan kediaman Rio. Ia tidak sanggup berada lebih lama lagi di dekat lelaki itu. Situasi hari ini begitu memalukan sekaligus mengerikan.

            Baru saja ia mejejakkan kakinya pada anak tangga terakhir, pintu depan terbuka. Ify terkesiap melihat Rio melangkah masuk sambil menenteng toolbox. Rambut lelaki itu berantakan dan tangannya berlumuran oli. Bahkan, ada sedikit kotoran oli yang tercoreng di wajahnya. Namun, penampilan lelaki itu mampu membuat jantung Ify bergetar resah. Rio tampak begitu tampan dan maskulin.

            “Mobilmu udah beres.” Rio menatap Ify dengan seulas senyum memikat mengembang di wajahnya.

            “Oh, gitu…makasih.” Ify mengalihkan pandangannya dari wajah lelaki itu, berusaha menyembunyikan keresahannya. “Kalo gitu, sebaiknya aku pulang saja.” Lanjutnya cepat dan sedikit gugup. “Mudah-mudahan besok aku udah bisa melanjutkan pekerjaan.” Ia melangkah cepat menghampiri Rio dan meraih kunci mobil yang disodorkan lelaki itu padanya.

            Rio mengangguk memutar tubuhnya, lalu mengikuti Ify keluar rumah. “Kalau ada apa-apa, jangan ragu telepon aku,” ucapnya cepat sebelum Ify menutup pintu mobil.

            Rio mengawasi perempuan itu menyalakan mesin mobil, memundurkannya hingga keluar dari pekarangan rumahnya, dan melaju pergi. Setelah mobil Ify menghilang dari pandangan matanya, Rio menghela napas panjang dan berbalik. Yah, memang lebih baik begini. Walaupun sepatuh dirinya masih ingin lebih lama lagi bersama Ify, tetapi bayangan tubuh Ify yang menggoda di balik pakaian basahnya, dan betapa menggemaskannya penampilan perempuan itu dalam balutan kaos kedodoran, membuat Rio khawatir tidak dapat mengendalikan dirinya lebih lama lagi.

 

 

Maaf ngaret banget, nungguin laptop jadi, sama ke bandung buat ini ngaret. Maaf ya, part ini full Rify! Memuaskan gak?:)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar