Promises Promises [05] : Mencintaimu Sekali Lagi
Ify menjulurkan tangan, berusaha menyingkirkan embun yang menutupi kaca
mobilnya. Sudah dua hari hujan deras mengguyur Jakarta. Dan, tampaknya
hari ini cuaca masih belum bersahabat. Baru beberapa menit ia
meninggalkan rumah, hujan kembali mengguyur dengan derasnya, bahkan
disertai angin kencang. Sudah dapat diduga, banjir terjadi dimana-mana.
Ify bersyukur, rumahnya tidak lagi termasuk kawasan rawan banjir. Dan
lebih beruntungnya lagi, karena perjalanan ke rumah Rio pun tidak perlu
melewati kawasan tersebut, karena sudah dapat dipastikan, mobil tuannya
pasti akan mogok begitu melewati banjir. Namun, ia mengkhawatirkan para
pekerjanya. Mudah-mudahan mereka tidak terjebak banjir.
Ify mengeluh dalam hati. Skala prioritas pekerjannya mulai berantakan.
Minggu lalu Rio memintanya membongkar dapur. Dan, kemarin, tiba-tiba Rio
mengatakan ingin mengubah guestroom di lantai bawah menjadi
ruang kerja sekaligus perpustakaan. Sementara itu, satu dari dua kamar
kosong di lantai atas akan dijadikan guestroom. Terlalu banyak kamar kosong, begitu alasan lelaki itu.
Seakan belum cukup membuat Ify kalang kabut, Rio memperpanjang daftar
permintaannya dengan memperluas ruang kerjanyam membongkar kamar mandi
tamu dan menjadikannya kolam kecil yang akan menyatu dengan ruang
kerjanya. Rio malah ingin membuka atap di atas kolam ikan, hingga udara
bisa mengalir masuk dengan alami serta menambahkan kamar mandi kecil di
dalam ruang kerja. Dan, semuanya harus dibuat secepatnya. Segera! Dua
hari lalu Ify telah mengirim lay-out yang dikerjakannya dengan terburu-buru via e-mail dan untunglah—seperti biasannya—Rio langsung setuju.
Laju mobil yang tersendat-sendat, membuyarkan lamunan Ify. Ia mengerang
kesal saat mesin mobilnya mati secara tiba-tiba. Ify menepikan
mobilnya, dan memutar kunci kontaknya. Mencoba menyalakannya lagi.
Namun, mobilnya tidak bereaksi. Dengan kesal, Ify memukul kemudi di
hadapannya. Twin Cam tua ini memang sudah seharusnya dipensiunkan,
karena lebih banyak check-in di bengkel daripada menjalankan
tugasnya. Namun, membeli mobil baru tidak tertera dalam anggaran
belanjanya tahun ini. Kejora baru saja masuk SMP. Dan bukan SMP biasa,
melainkan SMP swasta favorit. Sebenarnya Kejora ingin sekali bersekolah
di international school. Untunglah gadis kecil itu bisa diberi
pengertiana, bahwa ibunya berjuang seorang diri untuk menhidupi keluarga
kecil ini. Namun, Ify tahu, Kejora masih menyimpan impian bisa
bersekolah di tempat bagus itu, Ify menghela napas panjang. Ia juga amat
berharap dapat menyekolahkan Kejora disana. Ia bahkan berharap selalu
bisa memberikan yang terbaik untuk gadis kecilnya.
Ify kembali memutar kunci mobilnya, namun tidak ada reaksi apapun.
Untunglah mobilnya mogok tak jauh dari rumah Rio. Paling hanya 100
meter. Ify mengambil ponselnya, dan melihat ada dua missed call dan satu SMS. Ternyata sejak tadi, Riko berusaha menghubunginnya. Namun guyuran hujan, membuatnya tidak mendengar ringtone ponselnya.
Ify membuka SMS yang ternyata juga dari Riko. Anak buahnya itu
mengabarkan bahwa ia tidak bisa datang kerumah Rio karena rumahnya
kebanjiran. Ify menghela napas berat, lalu men-dial nomor telepon bengkel langganannya. Namun, hingga nada panggil berhenti, tidak ada yang mengangkat telepon. Ify men-dial, tetap tidak ada yang mengangkat telepon. Ia mendesah kesal. Jangan-jangan bengkel langanannya juga kebanjiran.
Ify memasukkan ponsel ke dalam tas tangannya, lalu memutar tubuhnya.
Matanya menyapu jok belakang mobilnya, mencari payung. Namun, benda yang
dicarinya tidak ada di tempatnya. Kening Ify berkerut. Ia menaikkan
kedua kakinya ke atas jok, mengangkat bokongnya, lalu membalikkan
tubuhnya hingga menghadap ke belakang. Ia berlutut di atas jok sambil
memeluk sandaran. Matanya berkeliaran menyapu lantai mobilnya, tetapi
tetap saja tidak bisa menemukan payung sialan itu. Sambil mendengus
kesal, Ify memutar kembali tubuhnya dan kembali meletakkan bokongnya
pada jok. Ia menyandarkan punggungnya, dan menatap kosong butir-butir
besar air yang tumpah dari langit. Tiba-tiba ia menepuk keningnya.
Betapa cerobohnya! Saat ia tiba dirumah kemarin, ia memakai payung
sialan itu kembali ke mobil. Rupanya, ia lupa memasukkannya kembali ke
mobil. Ify mengerang kesal. Tampaknya, tidak ada pilihan selain menunggu
hujan berhenti—paling tidak sampai sedikit reda.
Ify melirik jam tangannya dengan gelisah. Sudah sepuluh menit berlalu,
tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Justru, semakin deras. Suara
petir terdengar menyambar hingga memekakkan telinga. Ia tidak suka
terjebak di mobil dalam waktu yang tidak dapat ditentukan, dan tanpa
berbuat apa-apa seperti ini.
Ify kembali melirik
jam tangannya. Pukul 09.30. Rio pasti sudah berangkat bekerja. Rumah itu
pasti kosong. Sepertinya, tak apalah ia berhujan-hujanan. Toh, Rio
sudah membeli mesin cuci. Sementara mengeringkan pakaian, ia bisa
meminjam salah satu handuk Rio. Yah, walaupun sikapnya amat tidak
professional, tetapi ia yakin Rio tidak akan keberatan. Lagi pula, ia
masih harus masuk ke kamar lelaki itu untuk meletakkan tanaman air, yang
diinginkan Rio, di kamar lelaki itu. Ify yakin, ia aman. Lagi pula, Rio
selalu muncul setelah jam makan siang. Jadi, bisa dipastikan, saat ini
ia aman. Ia punya cukup waktu untuk mengeringkan bajunya, dan untuk
mencoba kembali menghubungi bengkelnya.
Ify meraih
tas kerjanya, mengambil alat pengukur dan kunci rumah Rio, lalu keluar
dari mobil. Setelah mengunci pintu mobilnya, ia berlari secepat heels
mampu membawanya. Dalam sekejap gaun terusan putih yang dikenakannya
basah kuyup. Ify menyadari, pakaian dalamnya pasti terpeta jelas pada
gaun yang cukup tipis itu, tetapi ia tidak peduli. Hujan terlalu besar,
tidak ada orang yang iseng berjalan-jalan di luar rumah—kecuali dirinya.
Tidak ada yang akan memperhatikannya. Dengan perasaan lega, Ify
menghampiri pintu pagar rumah Rio, membukanya, dan menghambur
menyeberangi pekarangan.
Dengan tubuh mulai
menggigil, Ify berusaha memasukkan kunci ke lubang pintu. Namun,
tangannya yang gemetaran membuatnya kesulitan. Setelah beberapa kali
mencoba, akhirnya ia berhasil juga memasukkan kunci dan memutarnya.
Secepatnya ia membuka pintu, melangkah masuk, menutup pintunya lagi, dan
kembali menguncinya.
“Ify…?”
Tubuh Ify membeku seketika. Kunci yang dipegangnya terlepas dari
tangannya, hingga menimbulkan bunyi keras dan bergema pada ruang kosong
itu saat menyentuh lantai. Suara berat yang menyapanya, terdengar lebih
keras daripada petir yang menggelegar diluar sana. Perlahan ia
membalikkan tubuh.
Wajahnya memanas saat mendapati
Rio berdiri di depan pintu dapur. Menatapnya dengan pandangan terkejut.
Rio menatap pakaian Ify yang basah kuyup. Tetesan air yang jatuh dari
gaun Ify mulai menggenangi lantai tempat perempuan itu berpijak. Gaun
terusan putih yang dikenakan Ify melekat bagai kulit kedua pada
tubuhnya. Memetakan semua lekuknya dengan jelas. Lekuk tubuh yang tak
pernah lekang dari ingatan Rio. Tubuh Ify tampak lebih berisi
dibandingkan saat remaja dulu, tetapi tetap tampak padat dan semakin
menonjolkan kewanitaannya. Semakin seksi. Bagian bawah gaunnya melekat
pada kedua paha wanita itu, menonjolkan keindahan kakinya yang jenjang.
Dalam sekejap, sensasi aneh menjalari tubuh Rio, membuatnya nyeri.
Dengan susah payah Rio menelan ludah. Berusaha membasahi tenggorokannya
yang kering.
Melihat cara Rio menatapnya, Ify baru
teringat pada keadaannya. Dengan wajah memanas ia menyilangkan kedua
tangannya di depan dada. Berusaha menyembunyikan tubuhnya dari pandangan
Rio. Namun, ia tahu pasti, apa yang dilakukannya tidak banyak berguna.
“M-mobilku mogok,” gumamnya dnegan gigi bergemeletuk, berusaha
mengalihkan perhatian Rio dari tubuhnya. “Dan aku nggak bawa payung.”
Suara Ify memasuki gendang telinga Rio, merayap perlahan ke otaknya,
yang kemudian mencernanya dengan amat lambat. Mata Rio mengerjap, seakan
baru sadar dari pengaruh hipnotis. Ia menarik napas dalam-dalam,
berusaha keras mengendalikan diri.
“Kamu harus
secepatnya mengeringkan badanmu,” Rio melangkah cepat menyeberangi
ruangan. Dihampirinya Ify yang masih berdiri terpaku di depan pintu dan
diraihnya tangan perempuan itu.
Sebelum Ify
menyadari apa yang dilakukan Rio, lelaki itu telah menarik tangannya dan
membawannya ke lantai atas. Ify tahu, protes adalah hal yang paling
tidak berguna saat ini. Rio tetap akan menyeretnya tanpa mau mendengar
perkataannya. Lagi pula ia menyadari lelaki ini benar. Ia harus
secepatnya mengeringkah diri kalau tidak ingin terkena flu. Pekerjaannya
yang sedang menumpuk, dan sakit merupakan hal terakhir yang
diinginkannya.
Rio membawa Ify ke kamarnya dan
mendorong lembut tubuh perempuan itu hingga masuk ke kamar mandinya.
Dengan gesit, Rio menyambar handuk lebar yang tergantung pada tangga
bamboo, lalu membungkus tubuh Ify yang menggiggil. “Sebaiknya kamu mandi
air hangat dulu.” Ia meraih alat pengukur dan kunci mobil dari tangan
Ify, lalu kembali mendorong tubuh Ify hingga masuk ke dalam bilik shower.
Begitu Rio meninggalkan kamar mandi dan menutup pintunya, Ify menyampirkan handuk di atas pintu shower, melepas sepatunya, dan meletakkannya diluar bilik shower, lalu melepaskan seluruh pakaiannya. Tak berapa lama, hangatnya air yang mengucur dari shower
telah mengusir rasa dingin dari tubuhnya. Membuatnya berhenti
menggigil. Sambil menyabuni tubuhnya, Ify mengeluh dalam hati. Ini
benar-benar hari terburuknya. Ia sama sekali tidak menyangka Rio ada di
rumah. Dan, melihat lelaki itu hanya mengenakan jeans dan T-shirt,
sudah jelas lelaki itu sama sekali tidak berniat pergi ke kantor. Itu
berarti, ia masih harus menanggung rasa malunya lebih lama lagi.
Sebuah pemikiran yang melintas di benaknya, membuat tubuh Ify membeku.
Tangannya berhenti menyabuni tubuhnya. Bagaimana caranya mengeringkan
pakaiannya yang basah? Dan, apa yang akan dikenakannya selama menunggu
pakaiannya kering? Rasanya tidak mungkin Rio memiliki pakaian perempuan.
Dan, tidak mungkin ia hanya mengenakan handuk di depan lelaki itu. Rasa
panic membanjirinya. Ify memaki-maki kebodohannya dalam hati.
Setelah mematikan shower
dan mengeringkan rambut serta tubuhnya, Ify melilitkan handuk lebar itu
di sekeliling tubuhnya, lalu menyambar pakaiannya. Begitu keluar dari
bilik shower, Ify meraih sehelai handuk kering lagi tangga
bambu untuk menutupi pundaknya yang terbuka. apa yang harus dilakukannya
sekarang? Menunggu sepanjang hari di dalam kamar mandi? Ify menjatuhkan
tubuhnya di atas kursi di depan meja rias, meletakkan pakaian basahnya
di pangkuan, lalu menyapukan pandangannya ke sekililing kamar
mandi—mencari jalan keluar. Ketukan tiba-tiba pada pintu, membuat Ify
terlonjak kaget.
“Ify, kamu sudah selesai?”
Suara berat dan tenang Rio, yang terdengar di antara ketukan pintu,
membuat Ify gugup. Kepanikan kembali menjalarinya, saat menyadari sejak
tadi ia membiarkan pintu kamar mandi tidak terkunci. Cepat, Ify
merapatkan tubuhnya pada pintu, dan memutar kuncinya perlahan. “U-udah.”
“Kalo gitu, tolong buka pintunya,” suara Rio kembali terdengar. “Aku punya baju kering yang bisa kamu pakai.”
Ragu, Ify kembali memutar anak kunci, dan membuka pintunya sedikit. Rio menyodorkan sehelai T-shirt dari tangan Rio.
“Kemarikan bajumu. Biar aku keringkan.”
Ify menjulurkan pakaiannya melalui celah pintu, lalu secepatnya menutup pintu.
“Ify…?” Suara tenang Rio kembali terdengar. “Pakaiannya dalammu?”
Wajah Ify seakan terbakar. Ia mencengkram pakaian dalamnya erat-erat. “Ng-nggak usah, Yo.”
“Kamu nggak akan memakainya dalam keadaan basah, kan?” Suara Rio terdengar curiga. “Kamu bisa sakit, Ify.”
Ify mengeluh dalam hati. Ia tahu apa yang akan dikatakan Rio benar,
tapi ia tidak ingin lelaki ini melihat apa lagi menyentuh pakaian
dalamnya. Kejadian ini telah membuatnya amat malu. Ia tidak ingin
semakin mempermalukan dirinya di hadapan lelaki itu. “Biar aku keringkan
sendiri.”
“Caranya…?”
Sialan, kenapa sih lelaki ini tidak mau berhenti bertanya? “Kamu masih menyimpan hair dryer yang waktu itu, kan?” Ify menunggu jawaban Rio dengan jantung berdebar. Dalam hati ia berdoa Rio masih menyimpan benda itu.
“Bentar ya, aku ambilkan.”
Ify menghela napas lega. Sambil menunggu Rio, ia mengenakan T-shirt yang diberikan Rio. Ternyata T-shirt
itu kebesaran untuknya. Begitu besarnya, hingga pada bagian bawahnya
hanya sepuluh senti di atas lututnya. Ify tersenyum geli melihat
pantulan bayangannya di cermin. T-shirt itu tampak begitu longgar di tubuhnya.
Ify melepaskan handuknya, dan merasakan betapa lembutnya bahan T-shirt
itu pada kulitnya, begitu nyaman. Namun, kesadaran bahwa pakaian yang
dikenakannya adalah milik Rio, menimbulkan sensasi aneh pada tubuhnya.
Membayangkan lelaki itu pernah mengenakan pakaian ini menimbulkan
perasaan intim yang meresahkan. Ify menggelengkan kepalanya kuat-kuat,
berusaha mengenyahkan pikiran aneh dari benaknya, lalu ia menjatuhkan
tubuhnya di kursi, menunggu Rio.
Tak lama kemudian, pintu kamar mandi kembali diketuk. Ify membukanya, mengambil hair dryer yang disodorkan Rio, dan langsung menutup pintu.
“Kalau sudah selsai, aku tunggu di dapur ya.”
Ify tidak menjawab. Ia menyolokkan kabel dan mulai mengeringkan pakaian
dalamnya. Ify menghela napas panjang. Kepedulian yang ditunjukkan Rio
padanya membuatnya resah. Rio sudah banyak berubah. Lelaki ini memang
lebih dewasa dan lebih gentleman daripada pemuda yang dulu
dikenalnya, tetapi itu tidak berarti ia boleh membiarkan dirinya
tersentuh. Ia sadar, ia tidak boleh terhanyut oleh perhatian lelaki itu.
Ia tidak boleh membiarkan lelaki itu kembali menyentuh hatinya.
Kepedulian lelaki itu tidak berarti apa-apa. Rio tidak pernah
mencintainya. Namun, mengapa ia semakin sulit mempertahaknkan dinding
yang melindungi hatinya untuk tetap berdiri? Semakin sulit membiarkan
jurang tetap membentang di antara mereka? Dan, bagaimana ia bisa
mempertahankan sikap dinginnya setelah semua yang dilakukan Rio
untuknya? Ify menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan
keresahannya.
**
Rio
menangkat kepalanya dari monitor laptop, saat merasakan kehadiran
seseorang di dapur. Matanya melebar saat mendapati Ify berdiri di ambang
pintu dalam balutan pakaian yang tampak kedodoran di tubuhnya, dan
bertelanjang kaki. Rambut perempuan itu telah mongering dan tergerai
indah pada pundaknya yang ramping. Penampilan perempuan tersebut membuat
paru-paru Rio berhenti menghirup udara. Sensasi yang menjalari tubuhnya
membuatnya merasa nyeri. Ify tampak begitu cantik dan menggemaskan,
hingga ia ingin menarik perempuan itu ke dalam pelukannya.
“Makasih ya, Yo,” gumam Ify canggung.
“Kamu udah merasa hangat?” Rio menundukkan pandangannya pada monitor
laptopnya, berusaha menyembunyikan keresahannya.
Ify mengangguk. Perlahan, ia menghampiri meja pantry dan duduk di atas kursi stainless di hadapan Rio.
Rio memperbaiki letak kacamatanya, lalu melirik Ify dari balik bulu matanya. “Kamu mau coklat hangat?”
Ify kembali mengangguk.
Rio segera beranjak dari kursinya, dan menghampiti kitchen set. Rio tampak begitu santai dalam balutan jeans dan T-shirt
v-neck hitam. Santai sekaligus—Ify menelan ludahnya dengan susah
payah—amat seksi. Punggung lelaki itu tampak lebih kokoh daripada pemuda
yang dulu dikenalnya. Bahunya pun lebar. Saat Rio berbalik
menghadapnya, Ify nyaris tidak bisa mengalihkan pandangannya dari dada
bidang lelaki itu. Bentuk otot yang terpeta samar pada atasannya,
membuat Ify sulit bernapas. Dengan susah payah, Ify menundukkan
pandangannya, dan memakukan matanya pada kedua tangan di pangkuannya.
Rio meletakkan mug di hadapan Ify, lalu kembali membalikkan tubuh. Dengan cekatan lelaki itu mengambil dua piring kecil dan garpu dari lari kitchen cabinet, dan meletakannya di ats meja pantry. Ia lalu menghampiri kulkas. “Mobil kamu mogok dimana?” tanyanya sambil mengeluarkan cake dari kulkas dan meletakkan di atas meja pantry.
“Di dekat sini,” jawab Ify sambil mengaduk cokelat hangatnya.
Alis Rio terangkat. “Di dekat sini, di mana?” Ia meletakkan sepotong choco nuts pada piring kecil, lalu mendorong piring itu ke hadapannya Rio.
“Kira-kira, seratus meter dari sinilah,” Ify menyesap cokelat hangatnya
perlahan. Berusaha menyembunyikan keresahannya.
“Kamu nggak bawa payung?”
Ify tersenyum malu, tidak menjawab.
“Ketinggalan,” Rio menjawab sendiri pertanyaannya sambil tersenyum
geli. “ternyata, kamu nggak banyak berubah, ya? Masih aja pelupa.”
Wajah Ify menghangat.
“Udah telepon bengkel?”
“Udah,” Ify meletakkan mug-nya di atas meja pantry, “Tapi nggak ada yang angkat. Mungkin tutup.” Ia meraih garpu dan mulai memotong secuil cake di hadapannya.
Rio mengangguk. “Nanti biar aku liat, apa masalahnya.”
Hening.
“Kamu nggak kerja?” Ify berusaha memecah keheningan.
“Kantorku melewati daerah rawan banjir, jadi aku kerja dirumah saja.”
Kembali hening. Canggung.
Rio mendongak, menatap Ify dari balik kacamatanya. Perempuan itu
menunduk. Menatap kue di hadapannya dengan mata nanar. Sesekali
tangannya bergerak menyuapkan potongan kue ke dalam mulutnya, tetapi
tampak jelas pikirannya melayang kemana-mana. Rio menarik napas
dalam-dalam, “Berapa usia anakmu?”
Pertanyaan Rio
yang tidak terduga membuat Ify nyaris tersedak. Seluruh darah di
tubuhnya seakan membeku. Otaknya berputar cepat. Panik memikirkan
berbagai kemungkinan. “Sebelas,” dustanya pada akhirnya.
Rio tertegun. Jantungnya berdetak cepat. Mungkinkah..? Otak Rio
menghitung dengan cepat. Rasa kecewa menghapus secuil harapan yang
sempat muncul, saat mendapati perhitungannya meleset. Rio memperbaiki
letak kacamatanya. “Siapa namanya?”
“Kejora.”
“Nama yang cantik.” Rio tersenyum lembut. “Kelas berapa?”
Sekali lagi, otak Ify berputar panik. “Satu SMP.”
Kedua alis Rio terangkat. Ia menatap Ify dengan pandangan yang sulit di terjemahkan.
“Kejora pernah loncat kelas waktu SD,” Ify menambahkan dengan cepat dan gugup.
“Gadis kecil yang cerdas.”
Suara Rio yang lembut saat berbicara, membat Ify semakin gugup. Ia memakukan pandangannya pada meja pantry, tidak berani membalas tatapan lelaki di hadapannya.
“Seandainya aku punya anak perempuan,” Rio menyesap cokelat hangatnya,
“aku pasti memberinya nama yang secantik itu juga.”
Ify mendongak. Ia tertegun saat mendapati wajah lelaki fi hadapannya
berubah muram. Ia tidak mengerti, apakah Rio menyesali pernikahannya
dengan Ashilla yang tidak menginginkan anak, atau lelaki itu menyesali
perbuatannya di masa lalu. Hanya satu hal yang ia mengerti; keakraban
ini membuatnya resah sekaligus takut. Ia harus menyudahinya. Ify bangkit
berdiri dari kursi. “Aku mau menelpon mandor yang akan mengerjakan
perpustakaanmu dulu.”
Rio mendongak. Ia menatap
Ify sejenak, lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela. “Hujan udah
reda.” Ia bangkit dari kursi, dan menyambar kunci mobil Ify. “Lebih baik
aku periksa mobilmu sekarang,” katanya seraya melangkah pergi.
**
Usai mengenakan kembali pakaiannya yang telah kering, Ify turun ke
lantai bawah. Hujan telah berhenti, dan tidak banyak yang bisa
dilakukannya hari ini tanpa kehadiran anak buahnya. Beberapa furniture
yang seharusnya tiba hari ini pun terpaksa tertunda pengirimnya. Jadi
lebih baik ia meninggalkan kediaman Rio. Ia tidak sanggup berada lebih
lama lagi di dekat lelaki itu. Situasi hari ini begitu memalukan
sekaligus mengerikan.
Baru saja ia mejejakkan
kakinya pada anak tangga terakhir, pintu depan terbuka. Ify terkesiap
melihat Rio melangkah masuk sambil menenteng toolbox. Rambut
lelaki itu berantakan dan tangannya berlumuran oli. Bahkan, ada sedikit
kotoran oli yang tercoreng di wajahnya. Namun, penampilan lelaki itu
mampu membuat jantung Ify bergetar resah. Rio tampak begitu tampan dan
maskulin.
“Mobilmu udah beres.” Rio menatap Ify dengan seulas senyum memikat mengembang di wajahnya.
“Oh, gitu…makasih.” Ify mengalihkan pandangannya dari wajah lelaki itu,
berusaha menyembunyikan keresahannya. “Kalo gitu, sebaiknya aku pulang
saja.” Lanjutnya cepat dan sedikit gugup. “Mudah-mudahan besok aku udah
bisa melanjutkan pekerjaan.” Ia melangkah cepat menghampiri Rio dan
meraih kunci mobil yang disodorkan lelaki itu padanya.
Rio mengangguk memutar tubuhnya, lalu mengikuti Ify keluar rumah.
“Kalau ada apa-apa, jangan ragu telepon aku,” ucapnya cepat sebelum Ify
menutup pintu mobil.
Rio mengawasi perempuan itu
menyalakan mesin mobil, memundurkannya hingga keluar dari pekarangan
rumahnya, dan melaju pergi. Setelah mobil Ify menghilang dari pandangan
matanya, Rio menghela napas panjang dan berbalik. Yah, memang lebih baik
begini. Walaupun sepatuh dirinya masih ingin lebih lama lagi bersama
Ify, tetapi bayangan tubuh Ify yang menggoda di balik pakaian basahnya,
dan betapa menggemaskannya penampilan perempuan itu dalam balutan kaos
kedodoran, membuat Rio khawatir tidak dapat mengendalikan dirinya lebih
lama lagi.
Maaf ngaret banget, nungguin laptop jadi, sama ke bandung buat ini ngaret. Maaf ya, part ini full Rify! Memuaskan gak?:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar