Promises Promises [01] : Mencintaimu Sekali Lagi
“Sepertinya, ini alamat yang ibu cari.”
Ify menoleh ke arah supir taksi. Menatapnya sesaat, lalu mengalihkan
pandangannya mengikuti arah pandang lelaki muda itu. Matanya menangkap
nomor rumah yang tertempel pada kotak pos dip agar. Nomor 42A. “Iya,
Pak. Benar.” Ify mengeluarkan dompet dari dalam tas tangannya, melirik
argo, lalu menyerahkan sejumlah uang. “Ambil saja kembaliannya, Pak.”
Tanpa membalas ucapan terimakasih supir taksi, Ify membuka pintu, lalu
melompat keluar. Dengan langkah panjang-panjang ia menghampiri pagar
besi setinggi wajah rumah yang bisa di pandang dari dua sisi jalan.
Tapil beda dengan gaya modern minimalis di tengah lingkungan
Mediterania, justru membuat rumah ini menjadi sangat eye catching.
Fasad rumah terlihat dinamis dengan permainan massa kubus yang
mendominasi, aplikasi tonjolan, cerukan, serta variasi material batu
alam dan deretan bilah besi horizontal sebagai secondary skin.
Pilihan material yang kental dengan nuansa alami tampak pada penggunaan
batu alam hitam susun sirih pada dinding fasad depan. Mau tak mau,
tampilan rumah ini membuat Ify terkejut. Dari penampilan Ashilla, yang
sering dilihatnya di layar kaca, ia selalu menyangka perempuan itu
memiliki karakter sangat feminim dan glamour. Dalam
bayangannya, rumah yang disukai Ashilla pastilah jenis rumah bergaya
Mediterania seperti kebanyakan rumah di lingkungan ini. Menurutnya,
rumah ini cukup maskulin. Dengan beberapa pohon palem yang ditanam di
sisi pagar besi, dan hamparan rumput jepang yang menutupi seluruh bagian
pekarangan. Tanaman semak kucai dan sutra bombai yang turut menghias
pekarangan, memang membuat lansekap tampil lebih cantik, tetapi semuanya
serba hijau. Sewarna. Ify sama sekali tidak menemukan adanya bunga hias
di sana. Tidak ada kesan ceria yang feminim.
Puas
melihat-lihat, Ify kembali melirik jam tangannya. Tak terasa dua puluh
menit telah berlalu. Ify melangkah kembali ke depan rumah. Belum ada
tanda-tanda kehadiran Ashilla. Ify mendengus kesal. Menunggu bukanlah
hal favoritnya, justru sebaliknya. Ia sangat sebal jika harus menunggu.
Kalau saja tak ingat bahwa klien yang satu ini teman baik bosnya, pasti
ia sudah meninggalkan tempat ini dan membuat janji temu untuk lain
waktu.
Ify menghampiri pohon sawo besar,
berlindung dari sengatan sinar matahari. Ia meletakkan tas kerjanya di
sela-sela akar pohon yang bertonjolan, lalu menyandarkan punggungnya.
Digerak-gerakkan kakinya bergantian, mencoba melemaskan otot-ototnya
yang terasa kaku akibat terlalu banyak berdiri. Dalam hati ia menyesali
pilihan busananya hari ini—kemeja putih bergaris abu-abi, dan rok pencili abu-abu. Kalau saja ia mengenakan celana panjang, mungkin ia dapat duduk dengan nyaman di rumput.
Deru mobil yang tertangkap oleh telinganya, membuat ify menoleh. Sebuah Z4 Roadster silver
mendekat. Harapannya tumbuh saat melihat mobil itu memperlambat
lajunya. Begitu mobil berbelok ke jalan masuk rumah dan berhenti, Ify
menghela napas lega. Akhirnya, kliennya datang juga—keningnya
berkerut—atau hanya manager-nya? Sepertinya ia hanya melihat bayangan satu orang di dalam mobil itu. Ya, tak mengapalah. Mungkin, manager Ashilla memang tahu pasti apa yang diinginkan oleh perempuan itu.
Ify segera menyambar tas kerjanya dan menghampiri mobil anggun
tersebut. Pintu mobil terbuka dan seorang lelaki berkacamata turun.
Langkah kaki Ify terhenti seketika. Tubuhnya membeku, dan jantungnya
seakan berhenti berdetak. Ia menatap mata lelaki itu dengan mata
terbelalak lebar dan mulut setengah terbuka. Tak mungkin! Ini tidak
mungkin! Tidak mungkin lelaki itu!
Lelaki itu
balas menatap Ify dari balik kacamatanya tanpa bingkainya. Matanya
nanar. Selama beberapa saat mereka hanya saling memandang tanpa bisa
berkata-kata. Ify memejamkan matanya sesaat, berharap bayangan lekaki
ini segera menghilang. Namun saat ia kembali membuka mata, sosok itu
masih ada di hadapannya. Masih menatapnya dengan pandangan kosong.
Napasnya tercekat di tenggorok. Tidak! Ini tidak mungkin! Yang berdiri
pasti bukan lelaki itu.
Lelaki dari masa lalunya.
Pasti hanya sekedar mirip, Ify menghibur diri. Kemiripan yang, kalian
bisa tambahkan, nyaris sempurna; garis rahang yang tegas, dagu kokoh,
hidung agak mancung, bibir lebar yang maskulin, serta sepasang alis
tebal yang menaungi matanya yang memicing. Ya, Tuhan, semuanya begitu
mirip. Ify menyipitkan matanya, ingin melihat warna mata lelaki itu.
Namun, jarak membuatnya tidak dapat melihat dengan jelas. Dalam hati Ify
berharap lelaki ini tidak memiliki warna mata yang sama dengan lelaki
yang dikenalnya. Ify melanjutkan pengamatannya. Bahkan rambut spyke
yang berwarna coklat gelap pun begitu kirip. Tetapi lekaki ini lebih
tinggi, lebih berisi. Bahunya lebih besar dan kokoh, dengan dada bidang
yang tidak bisa disembunyikan oleh kemeja tosca yang
dikenakannya. Tidak. Ia pasti salah. Lelaki ini hanya mirip dengan Rio.
Lagi pula lelaki ini memiliki kedewasaan serta karisma yang tidak
dimiliki Rio. Ditambah lagi, lelaki ini berkacamata—yah, walaupun hal
terakhir ini tidak terasa cukup relevan.
Tanpa melepaskan pandangannya dari Ify, lelaki itu memperbaiki letak kacamatanya. “Ify…?”
Ucapan yang keluar dari mulut lelaki itu bagai gelegar halilintar di
telinga Ify. Membuat wajahnya pucat pasi seketika. Tubuhnya gemetar.
Kalau lelaki ini bukan lelaki yang dikenalnya, bagaimana ia bisa
mengetahui namanya? Mungkinkah Cakka yang member tahu? Ify membahasi
tenggorokannya yang terasa kering, ia lalu berusaha menggerakkan
lidahnya dengan susah payah. “Ma-Mario..?” tanyanya ragu. Menduga-duga.
“Ya, Tuhan. Ify!” Mata lelaki itu melebar. Cepat, ia menutup pintu, lalu memutari mobilnya, dan menghampiri Ify.
Wajah Ify semakin pias. Jantungnya kini berdetak cepat. tubuhnya mulai
gemetar. Ternyata lelaki ini benar-benar Rio! Lelaki yang pernah menjadi
bagian dari masa remajanya itu, kini berada di hadapannya. Lelaki yang
pernah begitu dicintainya, tapi tega meninggalkannya dalam
ketidakberdayaan. Lelaki yang begitu ingin dilupakannya. Lelaki yang
begitu ingin dibencinya. Satu-satunya manusia yang tidak ingin
ditemuinya lahi—seumur hidupnya. Rupanya, harapannya tak terkabul. Tanpa
sadar Ify melangkah mundur, menjauhi Rio yang telah berdiri
dihadapannya.
“Apa kabar, Ify?”
Ify menundukkan pandangannya, menatap tangan yang terjulur di
hadapannya dengan pandangan kosong. Masih sulit baginya untuk memercayai
kenyataan yang terhampar di depan mata. Ify meremas tali tas kerjanya
dengan resah. “Baik,” gumamnya dengan suara mengambang, tanpa menyambut
jabat tangan Rio.
Rio menarik kembali tangannya
yang hanya tergantung canggung di udara. Ditatapnya Ify dengan pandangan
yang sulit diterjemahkan. “Udah lama sekali kita nggak ketemu,” katanya
setelah terdiam sejenak.
Perlahan, Ify mendongak,
menatap langsung ke mata lelaki di hadapannya. Hatinya mencelos saat
melihat warna bola mata lelaki di hadapannya. Cokelat muda dengan
lingkaran kelabu di sekelilingnya. Jantung Ify berdetak semakin cepat.
secuil keraguan yang tersisa di hatinya musnah dalam sekejap. Kini ia
seratus persen yakin lelaki di hadapannya ini adalah Rio. Rio yang bukan
lagi seorang remaja. Aura kedewasaan dan karismatik yang kini
dimilikinya membuat lelaki itu tampak semakin tampan. Ify menarik napas
dalam-dalam, berusaha mengendalikan keresahannya. Berusaha menahan nyeri
yang mulai merayapi hatinya saat koreng yang tertinggal di sana mulai
terkelupas—satu per satu.
Ify menarik napas
dalam-dalam, berusaha mengendalikan diri. Berusaha menetralisir rasa
terkejut yang pasti terpeta jelas pada wajahnya. Berusaha menunjukkan
ketidakpedulian meski ia mengenal lelaki ini. Berusaha menunjukkan bahwa
tidak ada sesuatu yang istimewa yang pernah terjadi di antara mereka di
masa lalu. Berusaha menampilkan sikap tenang dan formal yang selalu
ditampilkannya setiapkali berhadapan dengan klien. Hanya satu yang tidak
bisa ditampilkannya pada klien yang satu ini; keramahan.
“Jadi kamu desainernya D’Zire?” Rio menatap Ify dengan ekspresi tak percaya.
Dengan gerakan kaku, Ify menganggukkan kepalanya. “Dan, kamu manager-nya Ashilla?”
Kedua alis Rio terangkat. “Manager
Ashilla…?” Perlahan, senyum samar menghiasi wajahnya. “Bukan, aku…
suaminya.” Rio merendahkan tatapannya, “atau lebih tepat jika disebut
calon mantan suami… Kami sedang dalam proses perceraian.”
Mata Ify kembali terbelalak. Tak percaya. Semua orang bahkan tahu siapa
Ashilla—terutama paraa pecinta sinetron—dan betapa perempuan itu tidak
suka kehidupan pribadinya menjadi santapan umum. Dan meski demikian,
semua penduduk Indonesia pun tahu bahwa Ashilla telah menikah beberapa
tahun yang lalu, walaupun tidak ada yang tahu dengan siapa ia berumah
tangga. Namun, siapa yang menyangka kalau suami aktris terkenal itu
adalah lelaki yang dikenalnya? Bahkan, lelaki yang pernah menjadi
miliknya? Ify bingung saat sebuah perasaan aneh merambati hatinya.
Perasaan yang tidak dipahaminya. Sebelum ia sempat menyelami
perasaannya, sebuah perntanyaan melintas cepat di benaknya. Kalau ini
rumah Ashilla, lalu apa yang dilakukan Rio di tempat ini? Ify menghela
napas panjang. Ah, sudahlah. Kedatangannya kemari untuk bekerja, bukan
untuk mengorek kehidupan pribadi Rio dan artis terkenal itu. “Boleh aku
melihat rumah kamu sekarang?”
Rio mengangguk
sambil tersenyum canggung. Ia memutar tubuhnya dan melangkah menghampiri
pagar. Membukanya dan mempersilakan Ify masuk. Ify berjalan mendahului
Rio, menyeberangi halaman yang telah tertata rapi. Mata Ify menyapu
bangunan di hadapannya. Mengamati pintu dan jendela-jendela besar yang
didesain secara khusus dari dekat. Semuanya terlihat alami dan
menampilkan karakter kayu merbau yang kuat.
Rio
mempercepat langkahnya, mendahului Ify. Ia menghampiri pintu depan dan
membukanya. Tanpa menunggu dipersilakan lagi, Ify melangkah masuk.
Sebuah ruang lapang dan tanpa isi langsung menyambutnya. Ternyata rumah
ini tidak hanya didesain dengan cermat dari sisi luarnya saja, tetapi
juga dalam penataan ruang, sistem pergeraka udara dan peroleha view dari dalam rumah. Penempatan innercourt dan void
di atas ruang keluarga menciptakan pertukaran udara secara maksimal.
Ify menyukai apa yang dilihatnya. Rumah ini bagus, dan ia pasti akan
senang mengerjakan dekornya. Sayang, ia tidak bisa meng-handle proyek
ini—lebih tepatnya, tidak ingin. Sementara telinganya menangkap
penjelasan Rio yang mengiringi langkahnya menelusuri setiap jengkal
rumah, Ify sibuk mencari-cari alas an yang tepat untuk disampaikan pada
Cakka agar ia bisa mengalihkan proyek ini ke tangan interior designer lainnya.
“Sudah berapa lama kerja di D’Zire?”
“Dua tahun.”
“Kamu menyukai pekerjaanmu?”
“Begitulah,” jawab Ify tak acuh.
Rio menghela napas panjang. Rasa senang yang muncul saat perempuan
cantik ini adalah kekasih lamanya, musnah dalam sekejap. Rasa kecewa
merayapi hati Rio, menyadari betapa dinginnya sikap Ify terhadapnya.
“Menurut kamu, interior seperti apa yang paling cocok untuk rumah ini?”
Ify menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan yang tampak terang oleh
cahaya matahari yang menyelinap masuk dari setiap jendela besar. Semua
ruang di rumah ini didesain berskala besar dengan konsep terbua,
sehingga menciptakan komunikasi antar ruang. Beberapa ide melintas cepat
di dalam benar Ify. Ide-ide yang ia yakin akan membuat rumah ini semaki
cantik. “Modern minimalis.” Ify menyelipkan seuntai rambut yang
terlepas dari ikatannya ke belakang telinga, “tapi aku rasa, modern
minimalis nggak sesuai dengan karakter Ashilla.”
“Apa urusannya dengan Ashilla?”
Nada ketus di suara Rio membuat Ify terkejut. Cepat, ia menoleh pada lelaki di sisinya. Menatapnya penuh tanya.
“Bukannya ini rumah Ashilla?”
“Bukan.” Rio memasukkan tangannya ke saku celananya sambil menghela
napas berat. “Ini rumahku. Shilla sama sekali nggak tau soal rumah ini.”
Suaranya melunak.
Sekarang Ify mengerti mengapa
arsitektiur bangunannya begitu jauh berbeda dengan karakter Ashilla, dan
mengapa Rio yang datang menemuinya. Mungkin, Cakka tidak tahu bahwa Rio
telah berpisah dari Ashilla, dan sepertinya bosnya itu mengira rumah
ini masih milik keduannya.
“Jadi, kapan kamu bisa mulai mengerjakannya?”
Ify mengendikkan bahunya. “Aku harus melihat keseluruhan rumah dulu,
memotret, dan mengukur.” Dengan enggan, ia membuka tas kerjanya dan
mengeluarkan digital camera yang di bawanya. “Tapi hari ini aku nggak bawa alat pengukur, jadi cukup mengambil beberapa gambar ruangan.”
Rio mengangguk setuju. “Kamu boleh melakukan apa saja. Semuanya aku
serahkan padamu,” katanya kalem. “Bahkan, kalau ada ruangan yang ingin
kamu bongkar, silakan saja. Nggak usah pikirkan soal budget.”
Hmm..tawaran
yang amat menggirukan! Jarang sekali ada klien yang member kebebasan
pada Ify untuk memanifestasikan ide-idenya. Apalagi dengan budget
tak terbatas. Kebanyakan dari mereka begitu cerewet dan ingin ikut
camput. Tapi ya…memang itu hak mereka sebagai pemilik rumah dan uang.
Dan sampai sejauh ini, sudah dapat dipastikan, proyek ini adalah proyek
paling menyenangkan baginya—ia mengeluh dalam hati—dengan catatan; bukan
Rio kliennya. Tanpa berkata-kata lagi, Ify mulai mengambil ruangan
dengan digital camera-nya.
Rio mengamati Ify yang masih sibuk dengan digital camera-nya.
Meski telah beberapa saat ia menemani perempuan ini berkeliling lantai
dasar, namun hingga detik ini ia masih juga belum bisa memercayai
pengelihatannya. Ify benar-benar ada di dekatnya! Perempuan yang
dicarinya bertahun-tahun yang lalu, tiba-tiba muncul di hadapannya! Rio
tida menyangka, pertemuan tak sengajanya dengan Cakka—seorang teman lama
sata kuliah—membawanya kepada perempuan yang amat dicintainya ini.
Rio menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu guestroom.
Matanya menjelajahi soosk ramping di dalam ruangan, yang sedang asyik
bekerja dengan kameranya itu, dengan tatapan penuh kerinduan. Napas Rio
tertahan d tenggorok saat melihat jari lentik Ify menyelipkan seuntai
rambutnya ke balik telinga. Jari-jari indah yang dulu sering di
belainya. Ify tampak begitu cantik dalam keanggunan dan kedewasannya.
Lebih cantik daripada yang diingatnya. Ya, ia tidak pernah bisa
melupakan mata bulat yang jernih dengan bulu mata yang panjang dan
lentik itu, hidung bangir dan dagu yang lancip itu. Segala sesuatu yang
amat disukainya dan dirindukannya dari perempuan ini. Rio menelan ludah,
membasahi tenggorokannya yang terasa kering. “Kamu menyukai
pekerjaanmu?”
“Menurutmu?”
Rio tersenyum canggung. “Dari dulu aku sudah menduga, suatu hari nanti
kamu akan bekerja di bidang seni—entah sebagai pelukis atau bidang
kreatif.” Rio mencoba mengabaikan sikap dingin Ify. “Bahkan, sampai
sekarang pun aku masih ingat sketsa-sketsa yang kamu buat. Kamu memang
berbakat.”
Ucapan Rio membuat darah Ify membeku.
Ia tidak mengerti untuk apa Rio mengingatkannya pada kejadian yang telah
lama berlalu? Apakah lelaki ini ingin mengulang kembali kebersamaan
mereka dulu? Ify tersenyum sinis. Tidak. Itu tidak akan terjadi.
Baginya, Rio adalah masa lalu. Dan, akan tetap begitu. Selamanya. “Aku
nggak ingat soal itu,” jawabnya dingin. Bahkan tanpa mau susah payah
mengalihkan pandangannya kepada Rio.
Rio tertegun
mendengar sinisme yang tersirat pada suara Ify. Rasa kecewa semakin
pekat menyelimutinya. Ify bersikap seakan dirinya tak pernah menjadi
bagian istimewa dalam hidup perempuan itu. Bahkan seakan tidak pernah
mengenalnya. Sikap perempuan ini membuat dirinya merasa tak berarti.
Merasa terbuang. Apakah Ify begitu sakit hati atas kebodohannya di masa
lalu? Begitu besarkah kebencian Ify padanya? Rio menundukkan kepala, dan
mendesah pelan. Ia tidak akan menyalahkan Ify jika membecinya. Semua
memang kesalahannya.
Dari balik bulu matanya, Rio
melihat ify kembali bergerak. Perempuan itu melangkah mendekati pintu.
Rio memiringkan tubuhnya, memberi ruang kepada Ify untuk lewat. Namun,
ternyata ruang yang diberikannya tidak cukup luas, hingga tangan
perempuan itu menggesek perutnya. Bibir Rio mongering seketika. Sentuhan
itu sangat ringan, tetapi menimbulkan getar samar di seluruh tubuhnya.
Rio menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan diri, lalu kembali
membuntuti Ify ke beranda belakang.
Diam-diam,
Rio kembali menelusuri jari-jari panjang dan lentik Ify dengan matanya.
Mencari benda bulat yang melingkari jari manis perempuan itu. Sebersit
harapan muncul saat ia tidak menemukan cincin pernikahan di jari-jari
indah perempuan itu. Tetapi apa mungkin perempuan secantik Ify belum
menikah? Atau, mungkun bernasib sama dengannya—sudah bercerai? Atau
mungkin ia tidak suka mengenakan cincin nikahnya? Tapi, apakah dengan
seperti itu suaminya tidak merasa cemas? Bukankah itu bagaikan umpan
yang memancing para lelaki untuk mendekati istrinya? Ya, Tuhan. Begitu
banyak pertanyaan yang ingin diajukannya. Pertanyaan yang sifatnya lebih
pribadi. Semuanya sudah berkumpul di benaknya, berdesak-desakan. Namun,
mengingat sikap dingin Ify, ia terpaksa menahan diri. Sepertinya ini
bukan saat yang terpat. Mungkin—sama sepertinya—Ify pun masih amat
terkejut dengan pertemuan yang terduga ini. Mungkin, saat ini perempuan
itu ingin melampiaskan kemarahan padanya. Kemarahan yang sudah
dipendamnya selama belasan tahun. Yah, ia bisa menerima sikap Ify apapun
itu. Ia bisa mengerti. Apa yang dilakukannya dulu pasti amat
menyakitkan perempuan itu. Amat melukainya. Tetapi, ada sesuatu yang
ingin dikatakannya. Rio berharap, suatu saat nantim Ify mau
mendengarkannya. Dan mau memaafkannya.
Ify dapat
merasakan mata Rio terus mengawasi semua geraknya. Dipandangi diam-diam
oleh seorang lelaki, bukan hal baru lagi bagi Ify. Banyak klien lelaki
yang bersikap seperti itu.
Namun, kali ini
berbeda. Tatapan lelaki itu membuatnya sukit untuk bersikap tenang dan
tak peduli. Mau tak mau hal ini sangat mengejutkannya. Tiga belas tahun
sudah ia tidak bertemu Rio, tetapi ia tak menyangka lelaki ini masih
memiliki pengaruh yang begitu kuat atas dirinya. Masih sanggup membuat
jantungnya berdebar resah.
Ify menarik napas
dalam-dalam untuk mengendalikan dirinya. Sebaiknya ia segera mengalihkan
proyek ini pada rekan kerjanya yang lain. Ia tidak sanggup
meneruskannya. Ia takut… Takut tidak dapat menguasai diri. Takut dinding
yang melindungi hatinya roboh. Ia tidak ingin jath cinta lagi pada
lelaki ini. Lelaki yang telah membuat hidupnya menderita, dan telah
membuatnya tak percaya lagi pada cinta. Ify menurunkan digital camera-nya, menyelipkan seuntai rambut ke belakang telinganya, lalu mengalihkan pandangannya pada Rio. “Boleh liat lantai dua?”
Rio mengangguk.
Ify menghampiri tangga yang dikonsep melayang hingga menciptakan garis
lebih tegas dalam ruang. Tangga itu didukung dengan bahan kayu di atas
balutan warna putih pada nagian struktur pijakan. Karena ingin
menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin, terlalu sibuk mengendalikan
rasa gugupnya, Ify jadi kurang berhati-hati. Hak sepatunya terpleset, ia
limbung. Tubuhnya kehilangan keseimbanga. Dengan panic, Ify berusaha
menggapai railing, tetapi kedua tangannya, yang sibuk memegang tas kerja dan digital camera, membuatnya tidak bisa menggapai railing.
Ia tidak bisa menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Dalam keadaan yang
semakin panic, Ify merasakan sepasang tangan besar dan kokoh menahan
tubuhnya. Memegangi kedua pinggangnya dengan erat. Tangan Rio! Jantung
Ify berdentam semakin liar. Terkejut oleh reaksi yang muncul saat tangan
lelaki itu di tubuhnya dan malu… membuat wajah Ify menghangat,
“Makasih,” gumamnya tanpa berani menoleh.
“Mau aku bantu membawakan tas kerjamu?” Rio menawarkan dengan hati-hati.
“Nggak,” jawab Ify lebih ketus daripada yang di kehendakinya.
Rio tidak berkata-kata lagi. Diikutinya Ify dalam diam.
Di lantai atas, lagi-lagi Ify mendapati ruangan luas yang bisa
dijadikan tempat alternatif berkumpul dengan keluarga. Ruangan ini di
lengkapi dengan bukaan, jendela-jendela lebar, serta teras, sehingga
membyat ruangan tampak terang dan sehat berkat sirkulasi udara yang
lancar. Tidak ingin membuang waktu, Ify meletakkan tas kerjanya di
lantai, dan mulai membidikkan kameranya, tanpa bicara sepatah kata pun.
Usai memotret kamar tidur utama, Ify menghela napas panjang, “Selesai,”
katanya dengan lega.
“Hmm.., Ify,” Rio melirik Ify
dengan canggung. “Kamu udah makan siang?” Jantungnya berdebar penuh
harap. “Nggak jauh dari sini ada restoran yang enak dan nyaman.”
“Makasih.” Tukas Ify sambil memasukkan digital camera-nya ke tas kerja. “Aku harus segera pulang.”
“Mau aku antar?” tanya Rio lagi setelah terdiam sejenak.
“Nggak usah repot-repot,” tolak Ify cepat. Ia mengeluarkan ponselnya dan men-dial perusahaan taksi langganannya sebelum Rio memaksanya untuk menerima tawarannya. “Aku bisa memesan taksi.”
Rasa kecewanya menggumpal, hingga menyesakkan dada Rio. Tanpa
berkata-kata lagi, ia memutar tubuhnya, dan mendahului Ify turun ke
lantai bawah.
Ify menjauhkan ponsel dari
telinganya dengan gelisah. Operator perusahaan taksi sudah mengatakan
akan segera mengirim taksi untuk menjemputnya. Namun, Ify tahu, tidak
mungkin taksi itu akan muncul dalam sepuluh menit. Ify mendesah resah.
Seandainya saja mobilnya tidak ngadat lagi dan tidak harus menginap di
bengkel, tentunya ia dapat secepatnya pergi dari tempat ini. Dalam hati
Ify memaki kebodohannya. Seandainya ia sudah memesan taksi sejak
setengah jam yang lalu, tentu ia tidak perlu terjebak lebih lama lagi
dengan lelaki ini. Dengan setengah putus asa, Ify meletakkan tas
kerjanya pada anak tangga ketiga dari bawah, lalu menghempaskan
tubuhnya.
“Oya, Ify,” Rio menyandarkan sisi tubuhnya pada railing, menghadap Ify. “Aku bisa minta tolong?”
Ify mendongak, menatap Rio dengan mata menypit. Penuh antisipasi. “Apa?”
“Kamu bisa mengerjakan kamar tidur utama dulu?”
Ify menatap Rio dengan pandangan aneh. Permintaan Rio bukanlah masalah
besar baginya. Namun, pasti ada sesuatu yang membuat lelaki ini
memintanya mengerjakan kamar tidur utama terlebih dulu. “Kenapa?”
Rio mengangkat bahunya. “Aku nggak betah tinggal di hotel.”
Kedua alis Ify terangkat. “Di hotel?”
Rio mengangguk sambil tersenyum canggung. “Aku memberikan rumah yang dulu—yang aku tempati bersama Shilla—padanya.”
“Harta gono-gini,” gumam Ify tanpa sadar, dan langsung menyesalinya.
Hening. Canggung.
Tanpa berkata-kata lagi, Ify menunduk dan mulai mengutak-atik
ponselnya. Berpura-pura sibuk agar dapat menghindari pembicaraan
mengenai kehidupan pribadi Rio. Ia sama sekali tidak ingin tahu apa yang
terjadi pada pernikahan Rio, bahkan tidak peduli. Dan menghindari…
“Bagaimana dengan kamu, Fy? Udah berapa buntutmu?”
Ify mengeluh dalam hati. Ini dia yang ingin dihindarinya. Ia tidak
ingin lelaki ini bertanya-tanya tentang kehidupan pribadinya. Ify
mempertimbangkan sejenak, perku tidaknya memberitahu lelaki ini.
Mengingat bosnya adalah teman baik Rio, Ify memutuskan untuk
mengatakannya saja. Bukan karena ia yakin Rio akan mengorek-ngorek
kehidupan pribadinya dari Cakka, ia hanya sekedar berjaga-jaga.
Bagaimanapun juga, ketahuan berbohong hanya akan membuatnya malu.
“Satu,” jawabnya tanpa menatap Rio.
“Perempuan? Laki-laki?”
Kening Ify berkerut saat menatap nada antusias pada suara lelaki itu. “Perempuan.”
“Aku selalu ingin punya anak perempuan.” Rio menghela napas berat.
“Sayang, Shilla nggak suka anak kecil.” Suaranya sarat kesedihan dan
kekecewaan.
Seluruh darah yang mengaliri tubuh Ify
seakan membeku. Ia menundukkan wajahnya semakin dalam. Berusaha keras
menyembunyikan keresahannya dari pandangan Rio. Untunglah sebelum lelaki
itu sempat bertanya-tanya lagi, ponselnya bordering.
Rio merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya, dan melirik sekilas
layarnya. “Bentar ya, Fy.” Ia melangkah menjauhi Ify.
Ify mengangguk, lalu menghela napas lega. Ia mengambil kembali camera digital-nya
dan mengamati gambar-gambar yang diambilnya tadi. Mengira-ngira apa
yang akan dilakukannya pada setiap ruangan di dalam gambar—apabila ia
yang mendekornya. Imajinasinya berkelebat di dalam benaknya. Dalam
sekejap keasyikannya bermain dengan imajinasi membuatnya lupa pada
sekitarnya. Suara langkah kaki yang tertangkap oleh telinganya, mengusik
keasyikannya. Mengingatkannya bahwa ada orang lain sedang bersamanya.
“Maaf, agak lama meninggalkan kamu.”
Ify bergeming. Matanya terpaku pada layar kamerannya seakan tidak
mendengar ucapan Rio. Rio menghela napas berat, lalu kembali
menyandarkan sisi tubuhnya pada railing. Diam-diam ia mengamati
perempuan yang tampak tenggelam dalam keasyikannya itu. Walaupun tidak
melihat, Ify dapat merasakan mata lelaki itu mengarah padanya. Tatapan
yang—tanpa dikehendakinya—membuat jantungnya berdebar resah. Ify
menundukkan wajahnya sedalam mungkin, berusaha menyembunyikan wajahnya
yang—diluar kehendaknya—menghangat.
Suara ketukan
pada pintu mengejutkan Rio dan Ify. Serentak mereka menoleh ke pintu
masuk, dan melihat seroang lelaki setengah baya berseragam berdiri di
sana. Ify menghela napas lega. Untunglah, taksi pesanannya sudah datang.
Ia tidak tahu, berapa lama lagi ia bisa menyembunyikan keresahannya
dari pandangan Rio.
“Selamat sore, saya mencari Ibu Ify.”
Sigap, Ify menyambar tas kerjanya dan beranjak. “Iya, Pak. Saya
sendiri.” Tanpa menoleh kepada Rio, apalagi berbasa basi, ia bergegas
menuruni anak tangga yang tersisa dan melangkah menyeberangi ruangan.
Rio mengantarkan Ify hingga ke tempat taksi diparkirkan. “Hubungi aku kalau kamu perlu sesuatu.”
Ify hanya mengangguk tak acuh, lalu masuk ke taksi.
“Oya, tunggu sebentar,” Rio merogoh saku celananya dan mengeluarkan serenceng kunci. “Ini kunci rumahku.”
Ify menerima kunci yang dijulurkan padanya tanpa berkata-kata,
membiarkan Rio menutup pintu taksi untuknya, dan langsung menyebutkan
alamatnya pada supir taksi.
Rio memandangi taksi
yang mulai melaju menjauhi tempatnya berdiri itu, hingga menghilang di
belokan jalan. Rio mendesah sedih, lalu memutar tubuhnya, dan melangkah
lesu menyebrangi pekarangan.
-------------
Ini
bukan lanjutan cerbung saya ‘Promise’ (ini idenya hilang melayang entah
kemana!), ini copas dari Novel judulnya Promises Promises, written by
Dahlian. Excited? Ditunggu comment dan like-nya.
Kecup mesra,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar