Rabu, 09 Januari 2013

Promises Promises[02]:Mencintaimu Sekali lagi

Promises Promises [02] : Mencintaimu Sekali Lagi

 

Rio mengangkat kepala, mengalihkan perhatian dari dokumen yang sedang dibacanya, saat mendengar pintu ruang kerjanya terbuka. Dalam sekejap, harum parfum mahal memenuhi ruangan.

            “Rio!”

            Seorang perempuan cantik bertubuh mungil, melangkah menghampiri meja kerjanya. Begitu tergesa-gesa hingga ikal-ikal besar rambutnya terayun-ayun mengikuti langkahnya. Rio menatapnya dengan pandangan dingin dari balik kacamatanya, lalu menghela napas panjang. “Ada apa, Ashilla?” Ia menyandarkan punggungnya.

            “Rio, kita harus bicara.”

            “Bicara…?” Kedua alis Rio terangkat. “Soal…?”

            Ashilla menjatuhkan tubuhnya di kursi seberang meja kerja Rio sambil mendesah dramatis. “Rio, Honey, tolong pertimbangkan lagi permintaanku.”

            Rio menatap permpuan di hadapannya itu tanpa ekspresi. “Berapa kali aku harus mengatakan padamu, Ashilla? Aku nggak akan mengubah keputusanku.”

            “Rio, aku mohon.” Mata Ashilla yang besar menatapnya dengan pandangan sedih. “Aku mencintaimu, Rio. Sangat mencintaimu. Aku tahu, aku sudah melakukan kesalahan besar. Tapi aku janji, semua itu nggak akan terulang lagi.” Ia menumpukan kedua lengannya di atas meja kerja Rio, dan memajukan tubuhnya. Menatap lelaki itu dengan pandangan memohon. “Aku janji Rio.” Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku bahkan akan mengurangi kesibukanku. Aku janji akan bersikap sebagai istri yang baik.”

            “Udah terlambat, Ashilla.”

            “Belum, Rio.” Ashilla menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Perceraian ini masih dalam proses. Kamu masih bisa membatalkannya.” Butir bening air mata mulai menuruni pipi mulus Ashilla. “Please honey, give me a chance.”

            “Udah berapa banyak kesempatan yang aku berikan, Ashilla?” Rio menatap tajam perempuan di hadapannya dari balik kacamatanya. “Tapi semuanya kamu sia-siakan.”

            “Tapi Rio, a—“

            “Udah berapa banyak janji yang kamu berikan kepadaku?” Rio memotong pembicaraan Ashilla. “Dan berapa banyak yang kamu tepati?” Ia menatap dingin perempuan di hadapannya. “Nol. Nggak ada.”

            “Tapi kali ini aku bersungguh-sungguh, honey. Aku akan menepati janjiku, asal kamu kasih aku satu kesempatan lagi.” Suara Ashilla bergetar. “Honey, pleeease, don’t be so mean.”

            Rio menghela napas berat. Ia tidak tahu bagaimana cara membuat perempuan ini mengerti bahwa ia sudah tidak dapat hidup bersamanya. Ia sudah terlalu terluka. Rio melirik jam tangannya. “Maaf aku nggak bisa ngobrol lebih lama denganmu.” Ia kembali menatap Ashilla. “Sebentar lagi aku ada meeting.”

            Ashilla menyeka air mata yang mengalir di pipinya, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan dramatis. “Oke, aku nggak akan mengganggumu lebih lama lagi,” perlahan ia beranjak dari kursi tanpa melepaskan pandangannya dari Rio. “Tapi, aku mohon, Rio, pertimbangkan lagi permintaanku.”

            Seakan tidak mendengar ucapan Ashilla, Rio bangkit dari kursinya. Ia menghampiri filling cabinet, membukanya, lalu menyibukkan diri mencari file.

            Melihat sikap Rio yang dingin, Ashilla mendesah sedih. Ditatapnya Rio dengan pandangan putus asa. Perlahan, ia melangkah menuju pintu. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia memutar tubuhnya dan menatap punggung lebar dan kokoh Rio dengan perasaan kacau. Menuruti dorongan hatinya, Ashilla berlari menghampiri Rio, lali memeluk tubuh lelaki itu, dan menyandarkan kepalanya pada punggung kokohnya. Ia dapat merasakan tubuh lelaki itu menengang. Beku. Dingin. Reaksi lelaki itu menusuk hatinya. Menyakitkan. “You’re the best thing ever happened to me, Honey,” ucapnya dengan suara tercekik. “I love you…

            Rio bergeming.

            Perlahan, Ashilla menjauhkan kepalanya, melepaskan pelukannya, memutar tubuhnya, lalu mengambur meninggalkan ruangan.

             Begitu telinganya menangkap suara pintu ditutup, Rio menghela napas lega. Perlahan, ia menutup filling cabinet dan kembali ke balik meja kerjanya, sebenarnya memang tidak ada data yang dicarinya. Ia hanya berusaha menghindari percakapan panjang yang melelahkan dengan perempuan itu. Dulu, ia suka memandangi wajah cantik Ashilla, secara langsung maupun melalui layar kaca. Namun sekarang, setiap melihat wajah itu, hatinya seakan teriris. Rio menghempaskan tubuhnya ke atas kursi dan bersandar. Ia lelah. Amat lelah. Hidup bersama Ashilla benar-benar menguras habis seluruh energinya. Bahkan, hanya berada di dekatnya saja sudah membuatnya kelelahan. Ia tidak saggup lebih lama lagi hidup bersama Ashilla. Tidak sedetikpun.

            Ia mencintai Ashilla—yah paling tidak ia pernah mencintai perempuan itu. Begitu mencintainya hingga ia berusaha menolerir semua kesibukan Ashilla. Ia bahkan tetap menikahi Ashilla meskipun tahu perempuan itu tidak menyukai anak kecil dan begitu takut melahirkan. Ia berharap, setelah menikah Ashilla akan berubah pikiran—atau berharap ia dapat mengubahnya. Ia mengira cinta dan pengertian dapat menyingkirkan ketakutan perempuan itu. Namun, hingga pernikahan mereka menginjak tahun ketiga, tidak ada sedikit pun tanda-tanda Ashilla akan berubah pikiran. Walaupun begitu menyukai anak-anak dan begitu mendambakan kehadiran mereka, Rio tetap berusaha memahami ketakutan Ashilla. Ia tidak ingin memaksa dan mengambil alternatif lain—mengadopsi anak. Kehadiran seorrang bayi kecil yang lucu, pasti akan mencerahkan hatinya. Menghapus lelahnya setelah seharian membanting tulang. Mengisi kesunyiannya setiap kali Ashilla shooting di luat kota. Namun, Ashilla tetap bersikeras tidak menginginkan anak. Apalagi seorang bayi. Karirnya yang sedang berada di puncak. Menurutnya, kehadiran seorang bayi—yang pasti menuntut perhatian khusus—hanya akan menghambat langkahnya. Lagi-lagi Rio berusaha mengerti. Berusaha menerima. Namun—Rio mendesah sedih—kesabarannya habis saat mengetahui apa yang dilakukan perempuan itu di belakangnya.

            Beberapa bulan yang lalu, urusan Rio di Jerman selesai lebih cepat daripada yang diduganya. Ia luar biasa senang karena itu berate ia bisa tiba di Indonesia tepat pada hari ulang tahu Ashilla. Tidak seperti biasa, Rio sengaja tidak memberitahu Ashilla mengenai kepulangannya. Ia ingin member perempuan itu kejutan; dirinya, dan sebuah BMW keluaran terbaru, sebagai hadiah untuk ulang tahun istrinya itu.

            Namun, setibanya di rumah, Ashilla-lah yang memberinya kejutan. Rio menemukan istrinya sedang bersama lelaki lain di kamar mereka. Di tempat tidur mereka. Rasa nyeri menusuk-nusuk hati Rio saat ingatan itu membayang di matanya. Kejadian itu membuat hatinya terluka amat dalam. Luka yang melenyapkan semua cinta yang dimilikinya untuk perempuan itu. Dalam sekejap…

            Rio mengulurkan tangan, membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan gulungan kertas di dalamnya. Perlahan, ia melepaskan karet yang mengikat gulungan itu, lalu menghamparkan kertas yang sudah berwarna kekuningan itu di atas meja. Sketsa wajah seorang gadis cantik berponi terpampang di hadapannya. Ify. Perempuan yang selalu menghuni ruang paling istimewa di hatinya. Rio menghela napas berat.

            Ia tidak pernah membuang sketsa yang diberikan Ify sebagai hadiah ulang tahunnya, dulu. Selama ini sketsa itu selalu tersimpan rapi dalam lemari besi pribadinya, di rumah. Sketsa yang tak pernah lagi dipandanginnya begitu ia menikah dengan Ashilla. Bahkan nyaris terlupakan. Ia berusaha mencintai Ashilla dengan sepenuh hatinya. Mencintai segala kelebihan dan juga kekurangan perempuan yang telah ia nikahi itu. Namun, perselingkuhan Ashilla membuatnya kembali teringat pada sketsa itu. Pada malam yang amat menyakitkan itu, Rio mengeluarkan sketsa ini dari lemari besinya, dan meninggalkan rumah. Dan sejak saat itu, sketsa ini menjadi penghuni laci meja kerjanya.

            Rio tidak pernah bisa melupakan Ify. Ia memang mencintai Ashilla, tetapi Ify tetaplah perempuan paling istimewa baginya. Meskipun ia telah berusaha mengunci rapat-rapat ruang istimewa yang dihuni Ify, dan menguburnya dalam-dalam, perempuan itu tak pernah tersingkir dari hatinya. Tak pernah terlupakan. Mungkin, rasa bersalah penyebabnya. Perasaan berdosa yang selalu mengikutinya. Menghantui hidupnya selama belasan tahun. Ia tak bisa berhenti mencemaskan Ify. Ia khawatir perbuatannya di masa lalu berakibat buruk dengan perempuan itu. Walaupun ada rasa cemburu di hatinya, saat tahu ify telah menikah dan bahkan memilki seorang putrid, namun ia pun merasa lega. Yah, seharusnya ia senang bahwa apa yang dikhawatirkannya tidak terjadi. Rio mendesah resah. Seharusnya… tetapi ternyata, ia tidak terlalu senang.

            Seandainya saja ia bukan pengecut, yang begitu ketakutan dan lari dari tanggung jawabnya, mungkin ia tidak perlu menderita begini. Saat ini, pasti dirinyalah yang berada di sisi Ify; menjadi suaminyam dan menjadi ayah bagi putrinya. Bahkan mungkin, mereka telah dikaruniai satu atau dua orang anak lagi. Rio mendesah sedih. Mungkin semua yang harus dijalaninya saat ini adalah hukuman baginya. Bagi perbuatannya di masa lalu.

            Rio menghela napas berat. Ia begitu ingin menebus kesalahannya, tetapi ia menyadari ia tidak mungkin bisa memiliki perempuan itu lagi, tidak boleh! Sudah terlambat! Ify telah memiliki laki-laki lain. Lelaki yang amat beruntung. Lelaki yang membuatnya teramat iri. Rio menghela napas berat. Perlahan dan hati-hati, ia menggulung kembali kertas di hadapannya, lalu memasukkanya ke laci.

 

**

            Hingga tiba di rumah sore harinya, Ify masih seperti orang linglung. Ia belum bisa memercayai bahwa kliennya adalah Rio. Lelaki yang telah menorehkan luka panjang dan dalam di hatinya. Rio memang bukan kekasih pertamanya, tetapi ia merasa cintanya pada laki-laki itu berbeda. Tak pernah sebelumnya ia mencintai seorang pemuda sebesar Ia mencintai Rio. Saat itu ia merasa menjadi gadis paling beruntung karena bisa menjadi kekasih pemuda itu—pemuda yang paling banyak diincar para gadis di sekolahnya. Meski tampan, namun Rio bukanlah pemuda tertampan. Namun rupanya sifat tenang dan pendiamnyalah justru mengundang rasa penasaran para gadis.

            Rencana Rio untuk melanjutkan studinya ke Jerman, membuat Ify resah dan putus asa. Ia tidak ingin kehilangan pemuda itu. Ia tidak sanggup berpisah selama bertahun-tahun dengan pemuda itu. Meski Rio mengatakan akan pulang ke Indonesia setahun sekali, tetapi baginya, satu tahun tetaplah rentang waktu yang teramat lama. Banyak yang bisa terjadi dalam waktu satu tahun. Meskipun Rio mencoba meyakinkan bahwa ia tidak akan berpaling ke gadis lain, tetapi Ify tetao saja ketakutan. Di Jerman pasti banyak dan cantik dan—sudah pasti—agresif. Rasa takut kehilangan membuat ify memohon pada Rio untuk meneruskan studinya di Jakarta, tetapi lelaki itu tetap teguh pada pendiriannya. Dalam kesedihan dan keputusasaan, Ify membiarkan Rio mengambil miliknya yang paling berharga, di malam pesta kelulusan SMA mereka.

            Sehari sebelum keberangkatan Rio, Ify mendapati dirinya hamil. Saat itu ia masih gadis remaja yang lugu dan bodog. Ia tidak menyangka kehamilan dapat terjadi meski hanya dengan sekali berhubungan intim. Dalam kepanikannya, secuil harapan muncul di hatinya. Harapan bahwa Rio akan membatalkan keberangkatannya, dan menikahinya. Namun, harapannya musnah dalam sekejap. Bukan saja tidak berubah pikiran, Rio bahkan meminta Ify untuk mengguggurkan kandungannya. Ify begitu terpukul saat pemuda itu menyodorkan sejumlah uang padanya. Ia terluka. Seharusnya sejak awal ia mengerti, bahwa pemuda seperti Rio tidak mungkin benar-benar jatuh cinta padanya. Ya, pemuda itu tidak mungkin mencintainya. Pemuda yang lari dari tanggung jawab dan bahkan tega menyuruhnya aborsi, tidak mungkin memliki rasa cinta. Saat itu Ify membenci Rio. Begitu membencinya, hingga tak ingin melihatnya lagi. Seumur hidupnya!

            Ify menghela napas berat. Namun, ternyata ia tidak bisa melakukannya. Kemarah itu memang masih bercokol di hatinya, tetapi ia sadar, ia tidak lagi membenci lelaki itu. Seiring berjalannya waktu, seiring bertambahnya kedewasaan, kebenciannya memudar. Kalau pun ada yang tersisa, bukan kebencian kepada Rio tetapi pada sikap pengecut lelaki itu. Ify mendesah resah. Meskipun demikian, tidak berarti ia ingin bertemu lagi dengan Rio. Tidak berarti ia ingin tetap mengenal dekat lelaki itu. Ia tidak pernah menyesali apa yang telah terjadi pada dirinya, walaupun ia harus menanggung semya resikonya. Walaupun hidup menjadi begitu berat sejak itu. Satu-satunya hal yang disesalinya hanyalah pertemuannya dengan Rio.

            Ify membuka pintu rumah, dan menyeberangi ruang tamu. Langkah kakinya terhenti saat didapatinya seorang gadis kecil asyik membaca novel remaja di ruang keluarga. Begitu asyiknya ia membaca, hingga tidak menyadari kehadirannya. Dalam sekejap, kehangatan mengaliri dirinya. “Udah bikin PR, Ra?” tegur Ify lembut sambil meletakkan tas kerjanya di atas sofa berbentuk daybed.

            Kejora—gadis kecil itu—bergeming, seakan tidak mendengar ucapannya. Ify menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum penuh kasih. Ia menghampiri gadis kecil itu, menjulurkan tangannya, lalu menarik pelan buku yang dibacanya hingga terlepas dari tangan Kejora. Perbuatannya menimbulkan reaksi gadis kecil di hadapannya. Kepala dengan rambut ikal yang dikuncir dua itu terangkat. Menatap Ify dengan pandangan protes.

            “Mom, Rara kan lagi baca. Jangan ganggu dong.”

            Ify tersenyum geli mendengar cara gadis kecil itu memanggilnya. Beberapa waktu  yang lalu Kejora memutuska untuk mengganti cara memanggilnya dengan Mom. “Mama itu nggak cool, Mom,” katanya waktu itu. Tak hanya cara memanggil ibunya yang diubahya, ia bahkan mengubah nama panggilannya menjadi Jojo. Namun, video klip amatir keong Racun membuat Shinta dan Jojo terkenal, membuatnya kembali pada panggilannya semula; Rara. Rupanya Kejora benci setengah mati pada lagu itu. Dan nama Jojo yang begitu identik dengan lagu Keong Racun membuatnya kesal. Ulah putrid semata wayangnya itu benar-benar membuat Ify pusing dan sekaligus geli.

            Namun terlepas dari kekeraskepalaan dan ulahnya yang sering kali membuat Ify geleng-geleng kepala, Kejora adalah anak yang manis dan mandiri. Gadis kecil itu seakan mengerti bahwa Ify telah begitu banyak berkorban untuknya, hingga sering kali Ify menganggap kesan Kejora tidak mau merepotkannya. Tak jarang Ify mendapati anak itu sedang tidak enak badan, tetapi tidak mengatakan apa-apa padanya. Seakan tidak mau membuatnya khawatir. Untunglah sebagai ibu, ia cukup peka untuk melihat perubahan pada putrinya. Kejora selalu tampak tidak bersemangat dan kehilangan nafsu makan jika sedang tidak enak badan.

            “Udah bikin PR belum?” Ify mengulangi pertanyaannya.

            “Belom,” wajah Kejora memberengut.

            Ify meletakkan satu tangannya di pinggul. Ditatapnya gadis kecil itu dengan pandangan menegur. “Rara kan udah janji sama Mama, nggak baca novel dulu sebelum bikin PR?”

            “Tinggal dikit lagi kok, Mom.” Kejora menjulurkan tangan, berusaha meraih novel di tangan Ify. “Lagi seru nih.”

            Ify menjauhkan novel yang dipegangnya, hingga gadis kecil itu tidak dapat meraihnya. “Bikin PR dulu, Sayang.”

            “Dikit lagi, Mom,” gadis kecil itu menatapnya dengan tatapan memohon. “Plisss..”

            Ify menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Bikin PR dulu.”

            “Mooom!” rengek gadis kecil di hadapannya.

            “Kejora, bikin PR dulu.” Suara Ify tegas dan tak terbantah. “Kalo nggak, minggu depan nggak ada jatah novel baru.”

            “Hu-uh, Mom nggak asyik nih!” Kejora bangkit dari sofa berbentuk daybed itu lalu melangkah pergi sambil mengentakkan kakinya kuat-kuat.

            Ify tersenyum legi melihat ulah putrinya. Putri kecilnya benar-benar mirip ayahnya—tergila-gila pada buku. Dalam sekejap, seleret kesedihan merayapi hati Ify, menghapus senyum dari wajahnya. Kejora memang menuruni sebagian besar garis wajahnya, dan bahkan sifatnya yang agak keras kepala. Untung saja gadis kecil itu tidak menuruni sifat cerobohnya. Namun, rambut ikal Kejora, bentuk matanya yang memicing, dan hobi membacanya, benar-benar menurun dari ayahnya.

            Sambil tersenyum geli, Ify meletakkan novel di ats coffee table, lalu melangkah ke kamar.

 

**

            Ify menatap lay-out master bedroom pada monitor komputernya dengan wajah cemberut. Kesal pada dirinya sendiri yang—lagi-lagi00bertindak tanpa pikir panjang. Karena begitu ingin melepaskan diri dari Rio, pagi tadi ia menemui Cakka dan langsung mengutarakan keinginannya. Ify lupa bahwa bosnya itu adalah seorang perfeksionis tulen, yang selalu menuntut profesionalisme dari semua karyawannya. Dan, sudah tentu Cakka ingin mengetahui alasan pengunduran dirinya. Saat itu barulah Ify sadar bahwa ia tidak bisa mengatakan alasannya.

            Terlalu pribadi.

            Seakrab apapun hubungannya dengan bosnya, Ify tidak ingin membicarakan kehidupannya yang “amat pribadi” itu kepada bosnya.

            Untung saja saat itu Cakka sedang sibuk dan tidak mencecar Ify dengan rentetan pertanyaan. Untuk beberapa saat, Ify hanya bisa berdiri diam dengan wajah kebingungan, dan akhirnya Cakka menyuruhnya kembali bekerja.

            Ify menghela napas berat. Sepertinya memang tidak ada jalan untuk menghindari lelaki itu. Dan, rencana Rio untuk pundah ke rumah itu sebelum selesai ia mengerjakan dekornya, membuatnya akan sering bertemu dengan lelaki itu. Tapi tak mengapa. Ia akan memperlakukan lelaki itu sama dengan klien-kliennya yang lain. Tidak ada acara beramah-tamah antara dua orang teman lama—apalagi kekasih lama. Tidak ada berbagi cerita mengenai kehidupan masing-masing. Ia akan sebisa mungkin menjaga jarak.

            Ringtone ponsel yang menjerit-jerit, membuyarkan lamunan Ify. Ia meraih ponsel yang tergeletak tak jaun darinya dan membaca nama pada layar ponsel. Ify mengeluh dalam hati saat menemukan nama Ashilla disana. Ia memang belum mengganti nama pemilik nomor tersebut, dan tidak terlalu peduli. Toh, biarpun nama Ashilla yang muncul, ia tahu bahwa Rio-lah yang menghubunginya. Dengan malas Ify menekan tombol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinganya.

            “Kamu di mana?” tanya Rio usai Ify menyapa.

            “Di kantor,” jawab Ify acuh. “Ada apa?” Ia mengalihkan ponsel ke tangan kiri, lalu menumpukan siku tangan kirinya di atas meja.

            “Aku suka sekali lay-out kamar yang kamu kirimkan, terutama ide rak buku di dalam kamar.”

            Ify tidak berkomentar. Ia meraih sebatang pensil dan mulai mencorat-coret kertas di hadapannya.

            “Ternyata kamu masih ingat kalau aku suka baca.” Rio kembali meanjutkan ucapannya.

            Tangan Ify yang asyik menggambar, terhenti seketika. Membeku. Dengan kesal, ia merutuki diri dalam hati. Bagaimana ia bisa seceroboh ini? Ia sama sekali tidak berpikir jauh saat menambahkan rak buku di dalam lay-out kamar itu. Sialan, sekarang Rio pasti tahu bahwa dirinya tidak pernah melupakan lelaki itu.

            Otaknya berputar cepat mencari alasan yang masuk akal. “Maaf, aku nggak tau kalau kamu suka baca,” tukasnya dingin. “Aku hanya berpikir rak buku itu akan membuat kamarmu lebih berkarakter.”

            “Oh, gitu.” Gumam Rio setelah terdiam sejenak. “Hmm..rak buku ini bult-in?”

            “Yup. Tukang kayu kami nanti yang membuatnya.” Tangannya kembali bergerak membuat garis-garis di atas kertas. “Kenapa? Kamu nggak suka?”

            “Nggak, nggak.” Tukas Rio cepat. “Aku suka kok. Cuma nanya aja.”

            Hening. Canggung.

            “Hmm, Ify.” Panggil Rio pelan, lalu kembali terdiam sejenak.

            Ify tidak menyukai nada ragu-ragu yang ditangkapnya pada suara Rio. Intuisinya mengatakan Rio akan mengatakan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan,

            “Kamu mau—“

            “Ada furniture yang nggak kamu sukai?” potong Ify cepat.

            “Oh,  nggak. Aku suka.”

            “Warna gorden yang aku pilih?”

            “Aku suka semua yang kamu pilihkan. Selera kamu bagus.”

            “Kalo gitu aku bisa langsung memesan semua prabotmu.”

            “Oke, kirimkan saja semua tagihannya padaku,” kata Rio setelah terdiam beberapa saat.

            “Ada lagi?” Dengan cepat Ify menatap pintu ruang kerjanya, dan menghela napas lega saat tidak mendapati Cakka melintas. Ia tidak ingin kena tegur Cakka karena cara bicaranya yang ketus dan dingin pada klien. Apalagi klien yang satu ini adalah teman baik Cakka. “Kalo nggak, aku harus pergi menemui klien sekarang.”

            “Nggak, Fy. Nggak ada lagi.” Rio terdiam sejenak. “Makasih Ify.”

            Tanpa berkata-kata lagi, Ify menekan tombol merah pada ponselnya, meletakannya di atas meja, lalu bersandar sambil menghela napas berat. Ini proyek paling menyenangkan sekaligus terberat yang harus ditanganinya.

 

-------

 maaf kalau ada kata-kata yang nggak pantas ya. Hehe :D terus kalau ada typo maaf juga, ini ngebuttt. kalau Jangan lupa likedan commentnya ya..:)

Kecup muwah,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar