Promises Promises [02] : Mencintaimu Sekali Lagi
Rio
mengangkat kepala, mengalihkan perhatian dari dokumen yang sedang
dibacanya, saat mendengar pintu ruang kerjanya terbuka. Dalam sekejap,
harum parfum mahal memenuhi ruangan.
“Rio!”
Seorang perempuan cantik bertubuh mungil, melangkah menghampiri meja
kerjanya. Begitu tergesa-gesa hingga ikal-ikal besar rambutnya
terayun-ayun mengikuti langkahnya. Rio menatapnya dengan pandangan
dingin dari balik kacamatanya, lalu menghela napas panjang. “Ada apa,
Ashilla?” Ia menyandarkan punggungnya.
“Rio, kita harus bicara.”
“Bicara…?” Kedua alis Rio terangkat. “Soal…?”
Ashilla menjatuhkan tubuhnya di kursi seberang meja kerja Rio sambil mendesah dramatis. “Rio, Honey, tolong pertimbangkan lagi permintaanku.”
Rio menatap permpuan di hadapannya itu tanpa ekspresi. “Berapa kali aku
harus mengatakan padamu, Ashilla? Aku nggak akan mengubah keputusanku.”
“Rio, aku mohon.” Mata Ashilla yang besar menatapnya dengan pandangan
sedih. “Aku mencintaimu, Rio. Sangat mencintaimu. Aku tahu, aku sudah
melakukan kesalahan besar. Tapi aku janji, semua itu nggak akan terulang
lagi.” Ia menumpukan kedua lengannya di atas meja kerja Rio, dan
memajukan tubuhnya. Menatap lelaki itu dengan pandangan memohon. “Aku
janji Rio.” Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku bahkan akan mengurangi
kesibukanku. Aku janji akan bersikap sebagai istri yang baik.”
“Udah terlambat, Ashilla.”
“Belum, Rio.” Ashilla menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Perceraian
ini masih dalam proses. Kamu masih bisa membatalkannya.” Butir bening
air mata mulai menuruni pipi mulus Ashilla. “Please honey, give me a chance.”
“Udah berapa banyak kesempatan yang aku berikan, Ashilla?” Rio menatap
tajam perempuan di hadapannya dari balik kacamatanya. “Tapi semuanya
kamu sia-siakan.”
“Tapi Rio, a—“
“Udah berapa banyak janji yang kamu berikan kepadaku?” Rio memotong
pembicaraan Ashilla. “Dan berapa banyak yang kamu tepati?” Ia menatap
dingin perempuan di hadapannya. “Nol. Nggak ada.”
“Tapi kali ini aku bersungguh-sungguh, honey. Aku akan menepati janjiku, asal kamu kasih aku satu kesempatan lagi.” Suara Ashilla bergetar. “Honey, pleeease, don’t be so mean.”
Rio menghela napas berat. Ia tidak tahu bagaimana cara membuat
perempuan ini mengerti bahwa ia sudah tidak dapat hidup bersamanya. Ia
sudah terlalu terluka. Rio melirik jam tangannya. “Maaf aku nggak bisa
ngobrol lebih lama denganmu.” Ia kembali menatap Ashilla. “Sebentar lagi
aku ada meeting.”
Ashilla menyeka air
mata yang mengalir di pipinya, menarik napas dalam-dalam, lalu
mengembuskannya dengan dramatis. “Oke, aku nggak akan mengganggumu lebih
lama lagi,” perlahan ia beranjak dari kursi tanpa melepaskan
pandangannya dari Rio. “Tapi, aku mohon, Rio, pertimbangkan lagi
permintaanku.”
Seakan tidak mendengar ucapan Ashilla, Rio bangkit dari kursinya. Ia menghampiri filling cabinet, membukanya, lalu menyibukkan diri mencari file.
Melihat sikap Rio yang dingin, Ashilla mendesah sedih. Ditatapnya Rio
dengan pandangan putus asa. Perlahan, ia melangkah menuju pintu. Namun,
tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia memutar tubuhnya dan menatap punggung
lebar dan kokoh Rio dengan perasaan kacau. Menuruti dorongan hatinya,
Ashilla berlari menghampiri Rio, lali memeluk tubuh lelaki itu, dan
menyandarkan kepalanya pada punggung kokohnya. Ia dapat merasakan tubuh
lelaki itu menengang. Beku. Dingin. Reaksi lelaki itu menusuk hatinya.
Menyakitkan. “You’re the best thing ever happened to me, Honey,” ucapnya dengan suara tercekik. “I love you…”
Rio bergeming.
Perlahan, Ashilla menjauhkan kepalanya, melepaskan pelukannya, memutar
tubuhnya, lalu mengambur meninggalkan ruangan.
Begitu telinganya menangkap suara pintu ditutup, Rio menghela napas lega. Perlahan, ia menutup filling cabinet
dan kembali ke balik meja kerjanya, sebenarnya memang tidak ada data
yang dicarinya. Ia hanya berusaha menghindari percakapan panjang yang
melelahkan dengan perempuan itu. Dulu, ia suka memandangi wajah cantik
Ashilla, secara langsung maupun melalui layar kaca. Namun sekarang,
setiap melihat wajah itu, hatinya seakan teriris. Rio menghempaskan
tubuhnya ke atas kursi dan bersandar. Ia lelah. Amat lelah. Hidup
bersama Ashilla benar-benar menguras habis seluruh energinya. Bahkan,
hanya berada di dekatnya saja sudah membuatnya kelelahan. Ia tidak
saggup lebih lama lagi hidup bersama Ashilla. Tidak sedetikpun.
Ia mencintai Ashilla—yah paling tidak ia pernah mencintai perempuan
itu. Begitu mencintainya hingga ia berusaha menolerir semua kesibukan
Ashilla. Ia bahkan tetap menikahi Ashilla meskipun tahu perempuan itu
tidak menyukai anak kecil dan begitu takut melahirkan. Ia berharap,
setelah menikah Ashilla akan berubah pikiran—atau berharap ia dapat
mengubahnya. Ia mengira cinta dan pengertian dapat menyingkirkan
ketakutan perempuan itu. Namun, hingga pernikahan mereka menginjak tahun
ketiga, tidak ada sedikit pun tanda-tanda Ashilla akan berubah pikiran.
Walaupun begitu menyukai anak-anak dan begitu mendambakan kehadiran
mereka, Rio tetap berusaha memahami ketakutan Ashilla. Ia tidak ingin
memaksa dan mengambil alternatif lain—mengadopsi anak. Kehadiran
seorrang bayi kecil yang lucu, pasti akan mencerahkan hatinya. Menghapus
lelahnya setelah seharian membanting tulang. Mengisi kesunyiannya
setiap kali Ashilla shooting di luat kota. Namun, Ashilla tetap
bersikeras tidak menginginkan anak. Apalagi seorang bayi. Karirnya yang
sedang berada di puncak. Menurutnya, kehadiran seorang bayi—yang pasti
menuntut perhatian khusus—hanya akan menghambat langkahnya. Lagi-lagi
Rio berusaha mengerti. Berusaha menerima. Namun—Rio mendesah
sedih—kesabarannya habis saat mengetahui apa yang dilakukan perempuan
itu di belakangnya.
Beberapa bulan yang lalu,
urusan Rio di Jerman selesai lebih cepat daripada yang diduganya. Ia
luar biasa senang karena itu berate ia bisa tiba di Indonesia tepat pada
hari ulang tahu Ashilla. Tidak seperti biasa, Rio sengaja tidak
memberitahu Ashilla mengenai kepulangannya. Ia ingin member perempuan
itu kejutan; dirinya, dan sebuah BMW keluaran terbaru, sebagai hadiah
untuk ulang tahun istrinya itu.
Namun, setibanya
di rumah, Ashilla-lah yang memberinya kejutan. Rio menemukan istrinya
sedang bersama lelaki lain di kamar mereka. Di tempat tidur mereka. Rasa
nyeri menusuk-nusuk hati Rio saat ingatan itu membayang di matanya.
Kejadian itu membuat hatinya terluka amat dalam. Luka yang melenyapkan
semua cinta yang dimilikinya untuk perempuan itu. Dalam sekejap…
Rio mengulurkan tangan, membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan
gulungan kertas di dalamnya. Perlahan, ia melepaskan karet yang mengikat
gulungan itu, lalu menghamparkan kertas yang sudah berwarna kekuningan
itu di atas meja. Sketsa wajah seorang gadis cantik berponi terpampang
di hadapannya. Ify. Perempuan yang selalu menghuni ruang paling istimewa
di hatinya. Rio menghela napas berat.
Ia tidak
pernah membuang sketsa yang diberikan Ify sebagai hadiah ulang tahunnya,
dulu. Selama ini sketsa itu selalu tersimpan rapi dalam lemari besi
pribadinya, di rumah. Sketsa yang tak pernah lagi dipandanginnya begitu
ia menikah dengan Ashilla. Bahkan nyaris terlupakan. Ia berusaha
mencintai Ashilla dengan sepenuh hatinya. Mencintai segala kelebihan dan
juga kekurangan perempuan yang telah ia nikahi itu. Namun,
perselingkuhan Ashilla membuatnya kembali teringat pada sketsa itu. Pada
malam yang amat menyakitkan itu, Rio mengeluarkan sketsa ini dari
lemari besinya, dan meninggalkan rumah. Dan sejak saat itu, sketsa ini
menjadi penghuni laci meja kerjanya.
Rio tidak
pernah bisa melupakan Ify. Ia memang mencintai Ashilla, tetapi Ify
tetaplah perempuan paling istimewa baginya. Meskipun ia telah berusaha
mengunci rapat-rapat ruang istimewa yang dihuni Ify, dan menguburnya
dalam-dalam, perempuan itu tak pernah tersingkir dari hatinya. Tak
pernah terlupakan. Mungkin, rasa bersalah penyebabnya. Perasaan berdosa
yang selalu mengikutinya. Menghantui hidupnya selama belasan tahun. Ia
tak bisa berhenti mencemaskan Ify. Ia khawatir perbuatannya di masa lalu
berakibat buruk dengan perempuan itu. Walaupun ada rasa cemburu di
hatinya, saat tahu ify telah menikah dan bahkan memilki seorang putrid,
namun ia pun merasa lega. Yah, seharusnya ia senang bahwa apa yang
dikhawatirkannya tidak terjadi. Rio mendesah resah. Seharusnya… tetapi
ternyata, ia tidak terlalu senang.
Seandainya saja
ia bukan pengecut, yang begitu ketakutan dan lari dari tanggung
jawabnya, mungkin ia tidak perlu menderita begini. Saat ini, pasti
dirinyalah yang berada di sisi Ify; menjadi suaminyam dan menjadi ayah
bagi putrinya. Bahkan mungkin, mereka telah dikaruniai satu atau dua
orang anak lagi. Rio mendesah sedih. Mungkin semua yang harus
dijalaninya saat ini adalah hukuman baginya. Bagi perbuatannya di masa
lalu.
Rio menghela napas berat. Ia begitu ingin
menebus kesalahannya, tetapi ia menyadari ia tidak mungkin bisa memiliki
perempuan itu lagi, tidak boleh! Sudah terlambat! Ify telah memiliki
laki-laki lain. Lelaki yang amat beruntung. Lelaki yang membuatnya
teramat iri. Rio menghela napas berat. Perlahan dan hati-hati, ia
menggulung kembali kertas di hadapannya, lalu memasukkanya ke laci.
**
Hingga tiba di rumah sore harinya, Ify masih seperti orang linglung. Ia
belum bisa memercayai bahwa kliennya adalah Rio. Lelaki yang telah
menorehkan luka panjang dan dalam di hatinya. Rio memang bukan kekasih
pertamanya, tetapi ia merasa cintanya pada laki-laki itu berbeda. Tak
pernah sebelumnya ia mencintai seorang pemuda sebesar Ia mencintai Rio.
Saat itu ia merasa menjadi gadis paling beruntung karena bisa menjadi
kekasih pemuda itu—pemuda yang paling banyak diincar para gadis di
sekolahnya. Meski tampan, namun Rio bukanlah pemuda tertampan. Namun
rupanya sifat tenang dan pendiamnyalah justru mengundang rasa penasaran
para gadis.
Rencana Rio untuk melanjutkan studinya
ke Jerman, membuat Ify resah dan putus asa. Ia tidak ingin kehilangan
pemuda itu. Ia tidak sanggup berpisah selama bertahun-tahun dengan
pemuda itu. Meski Rio mengatakan akan pulang ke Indonesia setahun
sekali, tetapi baginya, satu tahun tetaplah rentang waktu yang teramat
lama. Banyak yang bisa terjadi dalam waktu satu tahun. Meskipun Rio
mencoba meyakinkan bahwa ia tidak akan berpaling ke gadis lain, tetapi
Ify tetao saja ketakutan. Di Jerman pasti banyak dan cantik dan—sudah
pasti—agresif. Rasa takut kehilangan membuat ify memohon pada Rio untuk
meneruskan studinya di Jakarta, tetapi lelaki itu tetap teguh pada
pendiriannya. Dalam kesedihan dan keputusasaan, Ify membiarkan Rio
mengambil miliknya yang paling berharga, di malam pesta kelulusan SMA
mereka.
Sehari sebelum keberangkatan Rio, Ify
mendapati dirinya hamil. Saat itu ia masih gadis remaja yang lugu dan
bodog. Ia tidak menyangka kehamilan dapat terjadi meski hanya dengan
sekali berhubungan intim. Dalam kepanikannya, secuil harapan muncul di
hatinya. Harapan bahwa Rio akan membatalkan keberangkatannya, dan
menikahinya. Namun, harapannya musnah dalam sekejap. Bukan saja tidak
berubah pikiran, Rio bahkan meminta Ify untuk mengguggurkan
kandungannya. Ify begitu terpukul saat pemuda itu menyodorkan sejumlah
uang padanya. Ia terluka. Seharusnya sejak awal ia mengerti, bahwa
pemuda seperti Rio tidak mungkin benar-benar jatuh cinta padanya. Ya,
pemuda itu tidak mungkin mencintainya. Pemuda yang lari dari tanggung
jawab dan bahkan tega menyuruhnya aborsi, tidak mungkin memliki rasa
cinta. Saat itu Ify membenci Rio. Begitu membencinya, hingga tak ingin
melihatnya lagi. Seumur hidupnya!
Ify menghela
napas berat. Namun, ternyata ia tidak bisa melakukannya. Kemarah itu
memang masih bercokol di hatinya, tetapi ia sadar, ia tidak lagi
membenci lelaki itu. Seiring berjalannya waktu, seiring bertambahnya
kedewasaan, kebenciannya memudar. Kalau pun ada yang tersisa, bukan
kebencian kepada Rio tetapi pada sikap pengecut lelaki itu. Ify mendesah
resah. Meskipun demikian, tidak berarti ia ingin bertemu lagi dengan
Rio. Tidak berarti ia ingin tetap mengenal dekat lelaki itu. Ia tidak
pernah menyesali apa yang telah terjadi pada dirinya, walaupun ia harus
menanggung semya resikonya. Walaupun hidup menjadi begitu berat sejak
itu. Satu-satunya hal yang disesalinya hanyalah pertemuannya dengan Rio.
Ify membuka pintu rumah, dan menyeberangi ruang tamu. Langkah kakinya
terhenti saat didapatinya seorang gadis kecil asyik membaca novel remaja
di ruang keluarga. Begitu asyiknya ia membaca, hingga tidak menyadari
kehadirannya. Dalam sekejap, kehangatan mengaliri dirinya. “Udah bikin
PR, Ra?” tegur Ify lembut sambil meletakkan tas kerjanya di atas sofa
berbentuk daybed.
Kejora—gadis kecil
itu—bergeming, seakan tidak mendengar ucapannya. Ify
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum penuh kasih. Ia
menghampiri gadis kecil itu, menjulurkan tangannya, lalu menarik pelan
buku yang dibacanya hingga terlepas dari tangan Kejora. Perbuatannya
menimbulkan reaksi gadis kecil di hadapannya. Kepala dengan rambut ikal
yang dikuncir dua itu terangkat. Menatap Ify dengan pandangan protes.
“Mom, Rara kan lagi baca. Jangan ganggu dong.”
Ify tersenyum geli mendengar cara gadis kecil itu memanggilnya.
Beberapa waktu yang lalu Kejora memutuska untuk mengganti cara
memanggilnya dengan Mom. “Mama itu nggak cool, Mom,”
katanya waktu itu. Tak hanya cara memanggil ibunya yang diubahya, ia
bahkan mengubah nama panggilannya menjadi Jojo. Namun, video klip amatir
keong Racun membuat Shinta dan Jojo terkenal, membuatnya kembali pada
panggilannya semula; Rara. Rupanya Kejora benci setengah mati pada lagu
itu. Dan nama Jojo yang begitu identik dengan lagu Keong Racun
membuatnya kesal. Ulah putrid semata wayangnya itu benar-benar membuat
Ify pusing dan sekaligus geli.
Namun terlepas dari
kekeraskepalaan dan ulahnya yang sering kali membuat Ify geleng-geleng
kepala, Kejora adalah anak yang manis dan mandiri. Gadis kecil itu
seakan mengerti bahwa Ify telah begitu banyak berkorban untuknya, hingga
sering kali Ify menganggap kesan Kejora tidak mau merepotkannya. Tak
jarang Ify mendapati anak itu sedang tidak enak badan, tetapi tidak
mengatakan apa-apa padanya. Seakan tidak mau membuatnya khawatir.
Untunglah sebagai ibu, ia cukup peka untuk melihat perubahan pada
putrinya. Kejora selalu tampak tidak bersemangat dan kehilangan nafsu
makan jika sedang tidak enak badan.
“Udah bikin PR belum?” Ify mengulangi pertanyaannya.
“Belom,” wajah Kejora memberengut.
Ify meletakkan satu tangannya di pinggul. Ditatapnya gadis kecil itu
dengan pandangan menegur. “Rara kan udah janji sama Mama, nggak baca
novel dulu sebelum bikin PR?”
“Tinggal dikit lagi kok, Mom.” Kejora menjulurkan tangan, berusaha meraih novel di tangan Ify. “Lagi seru nih.”
Ify menjauhkan novel yang dipegangnya, hingga gadis kecil itu tidak dapat meraihnya. “Bikin PR dulu, Sayang.”
“Dikit lagi, Mom,” gadis kecil itu menatapnya dengan tatapan memohon. “Plisss..”
Ify menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Bikin PR dulu.”
“Mooom!” rengek gadis kecil di hadapannya.
“Kejora, bikin PR dulu.” Suara Ify tegas dan tak terbantah. “Kalo nggak, minggu depan nggak ada jatah novel baru.”
“Hu-uh, Mom nggak asyik nih!” Kejora bangkit dari sofa berbentuk daybed itu lalu melangkah pergi sambil mengentakkan kakinya kuat-kuat.
Ify tersenyum legi melihat ulah putrinya. Putri kecilnya benar-benar
mirip ayahnya—tergila-gila pada buku. Dalam sekejap, seleret kesedihan
merayapi hati Ify, menghapus senyum dari wajahnya. Kejora memang
menuruni sebagian besar garis wajahnya, dan bahkan sifatnya yang agak
keras kepala. Untung saja gadis kecil itu tidak menuruni sifat
cerobohnya. Namun, rambut ikal Kejora, bentuk matanya yang memicing, dan
hobi membacanya, benar-benar menurun dari ayahnya.
Sambil tersenyum geli, Ify meletakkan novel di ats coffee table, lalu melangkah ke kamar.
**
Ify menatap lay-out master bedroom pada monitor
komputernya dengan wajah cemberut. Kesal pada dirinya sendiri
yang—lagi-lagi00bertindak tanpa pikir panjang. Karena begitu ingin
melepaskan diri dari Rio, pagi tadi ia menemui Cakka dan langsung
mengutarakan keinginannya. Ify lupa bahwa bosnya itu adalah seorang
perfeksionis tulen, yang selalu menuntut profesionalisme dari semua
karyawannya. Dan, sudah tentu Cakka ingin mengetahui alasan pengunduran
dirinya. Saat itu barulah Ify sadar bahwa ia tidak bisa mengatakan
alasannya.
Terlalu pribadi.
Seakrab apapun hubungannya dengan bosnya, Ify tidak ingin membicarakan
kehidupannya yang “amat pribadi” itu kepada bosnya.
Untung saja saat itu Cakka sedang sibuk dan tidak mencecar Ify dengan
rentetan pertanyaan. Untuk beberapa saat, Ify hanya bisa berdiri diam
dengan wajah kebingungan, dan akhirnya Cakka menyuruhnya kembali
bekerja.
Ify menghela napas berat. Sepertinya
memang tidak ada jalan untuk menghindari lelaki itu. Dan, rencana Rio
untuk pundah ke rumah itu sebelum selesai ia mengerjakan dekornya,
membuatnya akan sering bertemu dengan lelaki itu. Tapi tak mengapa. Ia
akan memperlakukan lelaki itu sama dengan klien-kliennya yang lain.
Tidak ada acara beramah-tamah antara dua orang teman lama—apalagi
kekasih lama. Tidak ada berbagi cerita mengenai kehidupan masing-masing.
Ia akan sebisa mungkin menjaga jarak.
Ringtone
ponsel yang menjerit-jerit, membuyarkan lamunan Ify. Ia meraih ponsel
yang tergeletak tak jaun darinya dan membaca nama pada layar ponsel. Ify
mengeluh dalam hati saat menemukan nama Ashilla disana. Ia memang belum
mengganti nama pemilik nomor tersebut, dan tidak terlalu peduli. Toh,
biarpun nama Ashilla yang muncul, ia tahu bahwa Rio-lah yang
menghubunginya. Dengan malas Ify menekan tombol hijau dan mendekatkan
ponsel ke telinganya.
“Kamu di mana?” tanya Rio usai Ify menyapa.
“Di kantor,” jawab Ify acuh. “Ada apa?” Ia mengalihkan ponsel ke tangan
kiri, lalu menumpukan siku tangan kirinya di atas meja.
“Aku suka sekali lay-out kamar yang kamu kirimkan, terutama ide rak buku di dalam kamar.”
Ify tidak berkomentar. Ia meraih sebatang pensil dan mulai mencorat-coret kertas di hadapannya.
“Ternyata kamu masih ingat kalau aku suka baca.” Rio kembali meanjutkan ucapannya.
Tangan Ify yang asyik menggambar, terhenti seketika. Membeku. Dengan
kesal, ia merutuki diri dalam hati. Bagaimana ia bisa seceroboh ini? Ia
sama sekali tidak berpikir jauh saat menambahkan rak buku di dalam lay-out kamar itu. Sialan, sekarang Rio pasti tahu bahwa dirinya tidak pernah melupakan lelaki itu.
Otaknya berputar cepat mencari alasan yang masuk akal. “Maaf, aku nggak
tau kalau kamu suka baca,” tukasnya dingin. “Aku hanya berpikir rak
buku itu akan membuat kamarmu lebih berkarakter.”
“Oh, gitu.” Gumam Rio setelah terdiam sejenak. “Hmm..rak buku ini bult-in?”
“Yup. Tukang kayu kami nanti yang membuatnya.” Tangannya kembali
bergerak membuat garis-garis di atas kertas. “Kenapa? Kamu nggak suka?”
“Nggak, nggak.” Tukas Rio cepat. “Aku suka kok. Cuma nanya aja.”
Hening. Canggung.
“Hmm, Ify.” Panggil Rio pelan, lalu kembali terdiam sejenak.
Ify tidak menyukai nada ragu-ragu yang ditangkapnya pada suara Rio.
Intuisinya mengatakan Rio akan mengatakan sesuatu yang tidak ada
hubungannya dengan pekerjaan,
“Kamu mau—“
“Ada furniture yang nggak kamu sukai?” potong Ify cepat.
“Oh, nggak. Aku suka.”
“Warna gorden yang aku pilih?”
“Aku suka semua yang kamu pilihkan. Selera kamu bagus.”
“Kalo gitu aku bisa langsung memesan semua prabotmu.”
“Oke, kirimkan saja semua tagihannya padaku,” kata Rio setelah terdiam beberapa saat.
“Ada lagi?” Dengan cepat Ify menatap pintu ruang kerjanya, dan menghela
napas lega saat tidak mendapati Cakka melintas. Ia tidak ingin kena
tegur Cakka karena cara bicaranya yang ketus dan dingin pada klien.
Apalagi klien yang satu ini adalah teman baik Cakka. “Kalo nggak, aku
harus pergi menemui klien sekarang.”
“Nggak, Fy. Nggak ada lagi.” Rio terdiam sejenak. “Makasih Ify.”
Tanpa berkata-kata lagi, Ify menekan tombol merah pada ponselnya,
meletakannya di atas meja, lalu bersandar sambil menghela napas berat.
Ini proyek paling menyenangkan sekaligus terberat yang harus
ditanganinya.
-------
maaf kalau ada kata-kata yang nggak pantas ya. Hehe :D terus
kalau ada typo maaf juga, ini ngebuttt. kalau Jangan lupa likedan commentnya ya..:)
Kecup muwah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar