Promises Promises [06] : Mencintaimu Sekali Lagi
Ify
menaiki tangga menuju lantai atas kediaman Rio dengan seulas senyum
puas menghiasi wajahnya. Pak Santoso telah membuat keputusan. Beliau
memilih perusahaan Cakka untuk mengerjakan desain interior kantor
barunya. Dan, semua ini berkat Rio.
Pertolongan
yang diberikan Rio pada Ify sebenarnya amat sepele, tetapi lelaki itu
telah menyelamatkan kedibilitasnya di mata Cakka. Kalau saja tidak ada
Rio saat itu, Ify tidak mungkin tidak akan bisa menghadiri pesentasi,
apalagi memenangkan tender. Meski tidak ingin mengakui, sikap
Rio yang rela menyampingkan harga dirinya sebagai lelaki, cukup membuat
Ify merasa tersentuh.
Ify
menghela napas panjang. Rio telah melakukan banyak hal untuknya,
dan—terus terang—itu membuatnya takut. Takut terjebak oleh rasa nyaman
yang ditimbulkan oleh perhatian dan kepedulian Rio padanya. Untunglah,
kesibukannya mengerjakan kantor Pak Santoso mengurangi kemungkinan ia
bertemu dengan lelaki itu. Ya, selama tiga hari belakangan ini ia tidak
bertemu dengan lelaki itu karena selalu datang ke kediamannya saat
menjelang sore.
Ify
mendesah. Ada hal yang diresahkannya sekaligus membuatnya bingung.
Sesuatu yang tidak dimengertinya. Seharusnya semua ini bisa membuatnya
lega, tetapi mengapa ada secuil rasa kecewa di hatinya?
Ify
mengabaikan suara ribut di lantai bawah. Para pekerja bangunan sedang
membongkar toilet tamu. Dan sementara menunggu ruang kerja Rio selesai,
Ify bisa menyelesaikan pekerjaan yang lain. Ify menyapukan pandangannya
ke sekeliling ruang duduk di lantai atas. Ruangan ini tampak seperti
kapal pecah; selain perabotan untuk guestroom, ada juga satu set sofa berbahan kulit hitam, niche,
dan kardus-kardus. Rupanya, furnitur untuk ruang duduk lantai atas
telah datang. Ify mengalihkan pandanganna pada Riko dan Goldi yang
sedang memasang kandelar—yang ditemukan Ify secara tak sengaja, saat
menemani Kejora ke toko buku beberapa hari yang lalu, ia mendapati mall
yang mereka datangi sedang mengadakan pameran furniture. Profesi,
membuatnya tidak dapat mengabaikan pameran tersebut dan memutuskan untuk
melihat-lihat. Saat itulah ia menemukan kandelar berbahan stainless yang simple dan cantik itu. Dalam sekejap Ify langsung tahu, lampu itu cocok untuk ruang duduk rumah Rio. “Wallpaper guestroom udah selesai dipasang?” tanya Ify.
“Udah, Bu.”Riko yang ditanya, menjawab sopan.
Ify
mengangguk puas. “Abis pasang lampu, tolong masukin perabot ke kamar,
ya,” katanya lagi pada Riko yang langsung mengangguk patuh.
Ify menyapukan pandangannya ke sekeliling kamar tamu. Wallpaper sudah terpasang dengan rapi, begitu juga lampu dan rel untuk gorden. Ify tersenyum puas. Seperti dugaannya, wallpaper hijau muda bercorak floral samar itu member kesegaran dan warna cerah pada kamar tamu.
Setelah semua perabot diletakkan pada tempatnya, Ify memberitahu Riko dinding mana yang ingin dieksplorasinya dengan sentuhan niche,
dan menyuruhnya untuk segera memasangnya. Sementara kedua anak buahnya
mengerjakan perintah, ia menyambar dua kantong kertas yang diletakkannya
di ruang duduk dan membawanya ke guestroom.
Ify
mengeluarkan gorden dari salah satu kantong kertas lalu menaiki tangga
yang telah diletakkan Riko di bawah jendela. Keningnya berkerut saat
mendapati tangga itu goyang. Rupanya, salah satu kakinya lebih pendek
daripada yang lainnya. Ify mendesah kesal. Sudah beberapa kali ia
memberitahu Riko untuk tidak membawa tangga yang seperti ini. Ify tidak
takut pada ketinggian, tetapi tangga yang tidak berpijak dengan mantap
sepertinini selalu membuatnya khawatir. Bukan hanya keselamatan
dirinya—yang saat ini akan menggunakannya—tetapi juga anak buahnya.
Dengan
hati-hati, Ify memijakkan kakinya pada anak tangga yang berikutnya, dan
mulai memasang gorden. Diluar jendela, dan akhirnya memutuskan untuk
berhenti sejenak. Ia ingin memejamkan matanya dengan menikmati
pemandangan di sekitar kompleks yang ditata apik dan menyenangkan ini.
Hamparan rumah-rumah bergaya Mediterania tampak amat cantik dengan
hamparan luas padang golf di belakangnya. Membuatnya betah berlama-lama
memandangnya. Ify menghela napas panjang. Sejak dulu ia ingin sekali
memiliki rumah di komplek seperti ini, tetapi ia sadar ia tak mampu
memilikinya.
Suara
berdehem di bawahnya, membuat Ify tersentak. Tanpa pikir panjang ia
memutar bahunya dengan cepat. Lupa, bahwa tangga yang dinaikinya tidak
berpijak sempurna pada lantai. Mata Rio terbelalak ngeri saat melihat
tangga yang dinaiki Ify tiba-tiba oleng. Cepat, ia mengulurkan satu
tangannya untuk menangkap tubuh Ify dari belakang, sementara tangan
lainnya menahan agar tangga tersebut tidak terjungkir, berusaha
mengembalikan keseimbangan tangga.
Ify
ingin menghela napas lega karena terhindar dari kecelakaan. Namun, saat
menyadari ada tangan kokoh yang menempel pada perutnya, jantungnya yang
telah berdebar keras semakin mengentak liar dalam rongga dadanya.
Merasakan tubuh Rio menempel pada pinggulnya, membuat desakan panas yang
menjalar ke seluruh tubuhnya. Ify merayap menuruni tangga, berharap gerakan yang dibuatnya akan membuat lelaki itu melepaskannya.
Namun,
hingga kedua kakinya mengenjak lantai, tangan Rio tetap melingkari
pinggangnya. Ify mengeluh dalam hati. Rupanya, lelaki itu belum mengerti
keinginannya. Ify memutar tubuhnya, lalu mendongak menatap Rio.
Bibirnya sudah terbuka, hendak mengucapkan terimakasih sekaligus meminta
lelaki itu melepaskannya. Namun, cara Rio menatapnya, membuatnya
tertegun. Begitu lembut dan penuh kekhawatiran.
Otak
Ify seakan kosong seketika. Semua kata-kata yang telah tersusun di
benaknya, lenyap dalam sekejap. Mata bulat dan indah Ify yang melebar,
seakan menghipnotis Rio. Harum lembut dan manis yang terhirup hidung
Rio, membuat napasnya tercekat di tenggorok. Bibir lembut Ify yang
setengah terbuka, meruntuhkan kendali dirinya yang telah rapuh. Seluruh
tubuhnya seakan bergerak diluar kehendaknya. Ify menayap kosong wajah
Rio yang semakin mendekat padanya. Saat Rio mengecup bibirnya, Ify
merasakan letupan-letupan hebat di dalam tubuhnya. Gairah yang telah
bertahun-tahun dipendamnya, diabaikannya, mendadak meluap kepermukaan.
Perasaan yang akhir-akhir ini tidak ingin diakuinya, kini mengalir
keluar begitu saja tanpa bisa dicegah. Tak terbendung. Di luar
kehendaknya, ia membalas ciuman Rio dengan bergairah. Tangan Ify
terulur, meraih pundak kokoh Rio. Cara Ify mencengkram pundaknya,
membuat sekujur tubuh Rio seakan terbakar. Hasrat yang telah sulit
dikendalikannya sejak melihat perempuan itu dalam keadaan basah kuyup,
kini lepas tak terkendali. Rio mempererat pelukannya. Merapatkan tubuh
lembut perempuan itu pada tubuhnya. Ciuman lembutnya berubah panas.
Menuntut. Tangannya menjelajahi punggung Ify dengan gerakan sensual,
hingga membuat tubuh Ify bergetar.
Suara
benda jatuh di luar ruangan, langsung menyentak kesadaran mereka.
Mengejutkan. Secepat kilat, keduanya menarik diri. Menjauh. Kemudian
saling menatap dengan salah tingkah.
“Maaf,” gumam Rio canggung seraya mengatur napasnya yang tersengal.
Ify
menundukkan wajahnya yang merah padam, menghindari pandangan lelaki di
hadapannya ini. Berusaha menyembunyikan perasaannya yang kacau balau.
Dalam hati, ia sinuk memaki-maki dirinya. Merutuki kebodohannya.
Bagaimana bisa ia semudah itu membalas ciuman Rio? Tanpa berkata-kata
dan tanpa memedulikan pekerjaanya yang belum selesai, Ify meninggalkan
ruangan.
Rio menangkap tangan Ify saat perempuan itu melewatinya. “Ify.”
Suara
berat Rio terdengar lebih dalam daripada biasanya. Terdengar seksi
sehingga kembali meningkatkan keresahan Ify. Tangan Rio yang melingkari
pergelangan tangannya, membuat kulit Ify mengencang. Menyadari tubuhnya
mulai bereaksi di luar kehendaknya, Ify tahu bahwa ia tidak bisa satu
detik lebih lama lagi di dekat lelaki ini. Ify menarik tangannya hingga
terlepas dari genggaman Rio.
“Aku
mau ngecek pekerjaan Riko.” Ify melanjutkan langkahnya seraya menarik
napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan dirinya. Berusaha menata
kembali perasaannya yang kacau balau. Apa yang paling ditakutinya telah
terjadi. Selama ini Ify selalu berusaha keras mencegah dirinya jatuh
cinta lagi pada Rio. Namun, ciuman penuh gairah itu membuatnya mengerti
bahwa ternyata ia telah jatuh cinta atau lebih tepatnya masih mencintai
lelaki itu. Ternyata, perasaan itu menelusup masuk begitu saja ke dalam
hatinya. Tanpa bisa dicegah. Mungkinkah sikap lelaki itu penyebabnya?
Karena lelaki itu selalu ada setiap kali ia membutuhkan bantuan? Karena
sikap lelaki itu menimbulkan perasaan aman? Membuatnya merasa dilindungi
dan dijaga? Membuatnya merasa tidak sendirian? Ataukan cinta itu memang
tidak pernah hilang dari hatinya? Hanya mengendap di dasar hatinya, dan
menunggu saat yang tepat untuk muncul kembali ke permukaan? Entahlah.
Kejadian ini terlalu tiba-tiba, dan terlalu mengejutkannya. Membuat
otaknya lumpuh seketika.
Ify
mendesah kesal. Rasa marahnya menjalari hatinya. Marah pada dirinya
yang begitu mudah terperosok ke dalam pesona lelaki itu—untuk kedua
kalinya. Marah pada hatinya yang tidak mau mengikuti keinginannya.
Mengapa begitu sulit meyakinkan dirinya bahwa Rio tidak mungkin
mencintainya? Ciuman itu tidak berarti apa-apa bagi Rio. Mungkin lelaki
itu memang menikmatinya, tetapi tidak berarti mencintainya. Tidak
mungkin. Ia sudah tidak bisa memercayai lelaki itu.
Ify menghampiri Riko dan Goldi yang sedang memasang niche. “Apa yang jatuh, Di?”
“Saya, Bu,” Riko cengengesan. “Nggak sengaja kesandung itu.” Ia menunjuk gulungan karpet yang tergeletak di lantai.
Mata
Ify menyipit, menatap Riko curiga. Benarkah yang dikatakan anak buahnya
ini? Jangan-jangan Riko melihat apa yang terjadi di guestroom. Atau ia saja yang terlalu curiga? Terlalu takut peristiwa tadi terlihat orang lain?
“Ya, udah. Lai kali hati-hati.”
“Itu apa sih?”
Suara berat Rio yang terdengar begitu dekat di balik punggungnya, membuat Ify tersentak untuk kedua kalinya.
“Niche.” Jawab Ify tanpa menoleh.
“Untuk apa?”
“Cuma sebagai sentuhan dekoratif pada dinding supaya nggak kelihatan kosong dan terkesan monoton aja.”
Rio mengamati niche berbentuk floral itu selama beberapa saat, lalu mengangguk. “Hmm..cantik.” Ia melangkah maju menghampiri niche,
lalu membelainya dengan jari-jarinya yang panjang dan kokoh. “Bahannya
dari apa?” Rio melirik Ify dari sudut matanya, dan hatinya mencelos saat
mendapati wajah cantik perempuan itu menegang, dan bibirnya menipis.
Ify menyelipkan seuntai rambutnya yang terurai ke balik telinga dengan gelisah. “Marmer travertine.” Usai menjawab pertanyaan Rio, ia membalikkan tubuhnya dan bergegas kembali ke guestroom. Berusaha sedapat mungkin menghidari Rio.
Rio
menghela napas berat. Ekspresi Ify membuatnya mengerti bahwa perempuan
itu sedang kesal, dan kini berusaha menghindarinya. Tak apa. Ia sama
sekali tidak tersinggung. Ia dapat memahami perasaan Ify. Kejadian tadi
benar-benar diluar kendali, dan pasti membuat wanita itu merasa malu dan
canggung. Rio tahu, lebih baik ia tidak mengusik Ify. Tidak untuk saat
ini. Rio memuji pekerjaan Riko dan Goldi sebelum akhirnya berbalik dan
melangkah pergi.
Seiring
langkah kakinya menuruni anak tangga, secuil demi secuil harapan muncul
di hati Rio. Walaupun otaknya terasa kosong saat berciuman dengan Ify,
walaupun seluruh tubuhnya seakan bergerak sendiri di luar kehendaknya,
tetapi satu hal yang ia tahu pasti, perempuan itu membalas ciumannya.
Dengan sama bergairahnya pula. Bukankah berarti Ify tidak
sungguh-sungguh membencinya? Jika memang membencinya, perempuan itu
tidak akan mungkin membalas ciumannya? Ify pasti akan langssavagup
cepat. Apakah ini berarti ia masih mempunyai harapanafin untuk merebut
kembali hati Ify? Rio menarik napas dalam-dalam. Mungkin sudah saatnya
ia melakukan sesuatu.
-------------------
Makin hancur ya???????????????maff ya,,,hihihihihihihihi:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar