ATTENTION : A novel written by Dahlian. Novel
genre dewasa tapi bukan No Children. Saya nggak memaksa kalian baca,
kalau memang kurang suka jangan baca. Aku udah peringatin dari awal,
jadi kalo ada yang protes (novel ini terlalu frontal atau semacamnya),
aku nggak bakal tanggepin ya. Lagian, tergantung pembaca juga, kalau
kalian liatnya dari sisi No Children, ya novel ini bakal keliatan gitu,
kalau nggak, ya novel ini pasti jatuhnya seru. J
Promises Promises [03] : Mencintaimu Sekali Lagi
Ify menatap rak buku built-in,
yang tingginya mencapai langit-langit kamar tidur Rio, dengan pandangan
puas. Mang Asep—tukang kayu yang selalu digunakan perusahannya—memang
tidak pernah mengecewakan. Kerjanya cepat, dan hasilnya rapi. Ify
menelusuri kayu rak buku itu dengan jarinya. Rak buku ini akan tampak
semakin cantik jika telah dipenuhi buku-buku. Setelah semua perabot
diletakkan pada tempatnya, ia tinggal memasang gorden, seprai, dan
sarung bantal. Rio memang menyerahkan segala urusan kepadanya, bahkan
hingga urusan seprai, sarung bantal, dan hal-hal remeh lainnya. Setelah
anak buahnya membersihkan lantai parket, sore ini juga kamar ini siap
untuk dihuni. Ify mengambil tangga kayu pendek yang tadi di bawanya,
lalu meletakkannya di depan rak buku. Tangga kayu ini akan mempermudah
Rio untuk menjangkau buku yang terletak pada rak teratas.
“Tempat tidurnya mau dipasang di mana, Bu?”
Suara Riko—salah seorang anak buahnya—membuyarkan lamunanya. Ify
memutar tubuhnya, dan menunjuk ke bidang yang telah ditutupi panel
berlapis wallcover cokelat dalam motif geometris yang lembut. “Di situ.”
Dua anak buahnya segera menggotong rangka baja ke tempat yang ditunjuk
Ify, dan dengan cekatan menyambungkan rangka-rangka yang masih terpisah.
Dalam waktu tak sampai tiga puluh menit, tempat tidur king size berkerangka baja hitam dengan headboard
simpel tetapi cantik itu, telah terpasang lengkap dengan kasurnya. Ify
kembali menuyuruh kedua anak buahnya memasang lampu baca gantung pada
kedua sisi tempat tidur, tepat di atas nakas. Usai memasang lampu baca,
kedua anak buah Ify mengangkat drawer console dan meletakkan di seberang tempat tidur, lalu meletakkan longue chair di sisi jendela.
Ify melirik jam tangannya sekilas, lalu menoleh pada anak buahnya.
“Istirahat dulu, Ko.” Ia memutar tubuhnya dan melangkah keluar ruangan.
Diraihnya tas tangannya yang dibiarkan tergeletak di lantai depan kamar
tidur, dan mengeluarkan dompet. Saat ia baru mengeluarkan beberapa
lembar uang, Riko dan Goldi keluar kamar. “Nih, buat makan siang.” Ia
menjulurkan uang di tangannya.
“Ibu mau sekalian dibelikan?” Tanya Riko sambil mengambil uang dari tangan Ify.
Ify menggeleng. “Saya belum lapar. Tolong beliin Aqua aja.”
Riko mengangguk dan melangkah pergi diikuti Goldi.
Ify mengambil tangga bambu setinggi satu meter yang disandarkan pda
dinding di dekatnya, membawanya masuk ke kamar, lalu ia menyeberangi
koridor menuju kamar mandi. Pada salah sisi koridor terdapat lemari
pakaian built-in besar memenuhi dinding, yang telah dipasang
sejak awal oleh pemborong rumah ini. Lemari kayu itu bagus, dan Ify
tidak ingin mengubahnya. Ia hanya menambahkan wallcover berwarna krem dengan motif geometris pada bidang kosong di hadapan lemari pakaian itu.
Nuansa cokelat krem bercampur putih mendominasi hampir seluruh ruangan
kamar mandi, lewat pilihan warna senada marmer dan keramik. Bathub,
wastafel, dan kloset berada dalam satu area—di ujung dalam
ruangan—masing-masing terpisah jarak yang cukup. Di dekat kloset
terdapat shower yang dipisahkan oleh pintu kaca frameless. Cermin berbingkai sederhana di pasang pada sisi dinding di area bathub hingga merefleksikan keleluasaan ruang. Ify telah meletakkan slim storage for toiletries di sisi cermin. Meja rias yang berasa di area kering, di dekat pintu masuk. Desain menjanya simple; hanya berupa hanging table
yang terdiri dari dua laci. Cermin, sengaja dipilihkan bentuk yang
sederhana, berupa panel dengan rak-rak untuk menyimpan aksesories dan
perangkat berhias. Ify menyandarkan tangga bambu yang dibawanya pada
dinding di antara kedua area, lalu melangkah keluar.
Ify memandang ke sekililing kamar, matanya tertuju pada tumpukan kardus
berukuran sedang di dekat pintu. Kardus milik Rio. Dengan penuh rasa
ingin tahu, ia menghampiri kardus itu, dan melihat tulisan ‘favorite books’
yang ditulis dengan spidol tebal warna hitam. Ify mengangkat kardus
teratas, meletakkannya di lantai, lalu mendorongnya mendekati rak buku.
Tanpa memedulikan keringat yang mulai menitik dari keningnya, ia merogoh
saku belakang celana jeans-nya, mengeluarkan cutter,
lalu merobek lakban yang melekat pada tutup kardus. Ia tidak terlalu
suka membaca , tetapi ia sangat suka mengatur buku-buku. Merapikan rak
buku Kejora adalah salah satu pekerjaan yang paling disukainya jika
sedang berada di rumah. Rak buku Kejora hampir selalu berantakan karena
gadis kecil itu sering kali menaruh bukunya secara asal. Bahkan tak
jarang Kejora hanya melemparkan begitu saja buku-buku yang telah selesai
dibacanya. Ify menyukai warna-warni punggung buku yang terjajar rapi.
Warna-warna yang tak beraturan dan tebal-tipisnya buku, seakan member
sentuhan unik pada ruangan. Saat Ify sudah memnuhi baris ketiga teratas
rak buku, kedua anak buahnya kembali dari istirahat.
“Bu, di bawah ada orang dari toko elektronik.” Riko memberitahunya.
Ify segera meletakkan buku yang dipegangnya secara asal di atas rak,
menyeka keringat yang mengaliri keningnya dengan punggung tangan,
melompat turun dari tangga kayu, lalu melesat keluar kamar sambil
menepukkan kedua tangannya. Mencoba menyingkirkan debu yang menempel
pada telapak tangannya.
Di ruang tamu, seorang
lelaki berusia awal tiga puluh sedang menunggunya. “Siang, Bu. Saya
mengantarkan pesanan Pak Rio.”
Ify melihat sebuah kardus besar bergambar TV tergeletak di teras. “Oya, Pak, tolong angkat ke atas ya.”
Lelaki itu memanggil anak buahnya yang menunggu di mobil. Menyuruh
mereka mengangkat kardus sesuai permintaan Ify, lalu menjulurkan sebuah clipboard dan pulpen pada Ify. “Tolong tanda tangan di sini, Bu.”
“Makasih, Pak.” Ify mengembalikan clipboard pada lelaki itu, dan bergegas kembali ke lantai atas.
“Mau dipasang di mana TV-nya, Bu?” Tanya Riko begitu Ify masuk ke kamar.
Tanpa berkata-kata, Ify menunjuk dinding di atas drawer console, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya menyusun buku pada raknya.
“Sepertinya, pekerjaanmu selesai lebih cepat dari jadwal.”
Suara berat dan kalem yang membentur gendang telinganya, membuat Ify
menoleh cepat. Matanya melebar saat melihat Rio sudah berdiri di ambang
pintu. Lelaki itu bersandar santai pada kusen sambil bersedekap. Kedua
lengan kemejanya digulung hingga sikunya, dan dasinya tergantung longgar
pada kerah kemejanya. Rio tampak santai dan tampan. Senyum memikat
menghiasi wajahnya, sementara matanya menatap Ify dari balik kacamata
tanpa bingkainya.
Ify tampak casual dalam balutan jeans
dan kemeja putih. Wajahnya polos tanpa riasan. Rambutnya disatukan di
tengkuknya, dengan beberapa untai terlepas dari ikatannya. Secara
keseluruhan, penampilan Ify sederhana dan alami, tetapi entah bagaimana
malah terkesan begitu seksi di mata Rio.
Tanpa
menanggapi ucapan lelaki itu, Ify kembali menyibukkan diri, dengan
mengatur buku-buku pada raknya. Mencoba menyembunyikan kegelisahan yang
tiba-tiba muncul. Ia tidak mengerti apa yang dilakukan Rio disana?
Bukankah ia sudah mengatakan kamar ini baru bisa ditempati besok? Ya, ia
tahu kalau ia bisa menyelesaikannya sore ini juga, tetapi ia sengaja
mengatakannya demikian agar tidak perlu bertemu dengan lelaki itu.
Ify dapat menangkap ketukan sepatu pantofel
Rio pada lantai parket. Dari sudut matanya, Ify melihat lelaki itu
berhenti di depan tempat tidurnya, mengamati dengan wajah puas, lalu
memutar tubuhnya untuk mengamati drawer console dan kesibukan
Riko dan Goldi memasang TV. Rio mendongak, menatap lampu bulat yang
terpasang di tengah kamar tidur dengan penuh minat, memutar tubuhnya
untuk mengamati sekeliling ruangan, lalu melangkah ke kamar mandi.
“Kamu puas dengan kamarmu?” Tanya Ify saat dilihatnya Rio keluar dari kamar mandi.
“Sangat puas.” Rio melangkah menghampiri Ify lalu berhenti di dekat
perempuan yang masih sibuk memindahkan buku dari dalam kardus ke rak
buku itu. “Tapi untuk apa tangga bambu di kamar mandi itu?”
“Untuk menggantung handuk.” Ify mengeluh dalam hati saat dari sudut
matanya melihat Rio berjongkok di sisinya, dan membantunya mengeluarkan
buku dari dalam kardus. “Aku ingin sesuatu yang beda. Kenapa? Kamu nggak
suka?”
“Jangan skeptis gitu, dong.” Rio tertawa kecil sambil meletakkan buku pada rak. “Aku suka banget kok. Unik.”
Jantung Ify berdebar resah saat mendengar suara tawa yang berat dan
dalam. Suara tawa yang dulu amat disukainya. Hanya saja ia tak
menyangka, ia masih menyukai tawa seksi lelaki ini. Diam-diam mengambil
Ify mengambil napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan keresahannya.
“Apa yang kamu lakukan di sini? Bukannya sekarang masih jam kerja?” ia
mengalihkan pembicaraan.
“Aku nggak sabar melihat kamarku,” Rio terdiam sejenak. “Sekalian membawakan kamu makan siang.”
Ucapan Rio membuat Ify teringat bahwa ia belum makan siang, dan kini
perutnya mulai terasa lapar. “Makasih, nggak perlu repot-repot,”
tukasnya cepat. “Aku udah makan.” Namun bunyi ‘kriuk’ pelan yang keluar
dari perutnya mementahkan ucapannya dalam sekejap. Wajah Ify menghangat.
Dalam hati ia merutuki perutnya yang telah berkhianat.
Rio tersenyum geli. “Udahlah, tinggalkan dulu pekerjaanmu.” Ia meraih
pergelangan tangan Ify, lalu berdiri. “Toh, kamu juga sudah
mengerjakannya lebih cepat dari jadwal. Lagian, aku nggak mau desainer
interior-ku sakit.”
Dalam sekejap, getar samar
menjalari seluruh tubuh Ify. Ia berusaha melepaskan pergelangan
tangannya, sebelum sentuhan tangan lelaki itu membuatnya semakin resah.
Namun, cengkraman lelaki itu terlalu kuat. Tidak sampai menyakitinya,
tetapi tidak dapat dilepaskannya dengan mudah. Mau tak mau ia bangkit.
Ia tidak ingin bertengkar dengan Rio di depan anak buahnya.
“Kalian udah makan?” Rio bertanya kepada Riko dan Goldi, yang langsung
menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih.
Ify memanfaatkan perhatian Rio yang teralih pada anak buahnya untuk
menyentakkan tangannya kuat-kuat. Akhirnya tangannya terlepas juga dari
cengkraman lelaki itu. Sentakan itu membuat Rio menoleh pada Ify.
Menatapnya dengan alis terangkat sebelah, lalu tersenyum. Cara lelaki
itu tersenyum membuat bibir Ify mengering seketika. Ia segera membuang
muka, untuk menyembunyikan keresahannya, lalu melangkah cepat keluar
kamar. Suara ketukan sepatu Rio yang tertangkap oleh telinganya,
memberitahunya bahwa lelaki itu mengikutinya.
“Aku menaruh makan siang kita di dapur.”
Suara Rio terdengar dari balik punggung Ify. Tanpa berkata-kata, ia
menuruni tangga dan melangkahkan kakinya menuju dapur.
Konsep dapur rumah ini adalah dapur kering. Ruangnya tidak terlalu luas, dan telah dilengkapi dengan kitchen cabinet, meja panrty, serta bak cuci. Ify menemukan sebuah kantong plastik, gelas plastik dan sebotol—ia tertegun—orange juice, di atas meja pantry. Ternyata Rio masih ingat minuman favoritnya.
“Maaf, kulkasnya baru datang besok, jadi orange juice-nya nggak terlalu dingin.”
Suara Rio yang terasa begitu dekat di belakangnya, membuat Ify
tersentak dari keterkagumannya. “Nggak apa-apa,” gumamnya cepat, sambil
menghampiri meja pantry.
Rio mengeluarkan dua kotak Styrofoam dari kantong plastic dan meletakkan sebuah di hadapan Ify. Saat meraih kotak Styrofoam, barulah Ify menyadari berapa kotor tangannya. Untunglah ia selalu membawa sabun cair dan tisu basah ke mana pun ia pergi.
“Hmm.. aku mau mengambil sabun dulu di mobilku.”
“Nggak perlu,” Rio menunjuk botol sabun cair di dekat wastafel. “Aku udah bawa.”
Tanpa berkata-kata, Ify menghampiri wastafel, dan mencuci tangannya.
Saat ia membalikkan tubuhnya, dilihatnya dua gelas plastic di atas meja pantry sudah terisi. Tatapannya beralih ke Rio yang sedang membukakan kotak Styrofoam. Oleh lelaki itu, didorongnya kotak tersebut ke seberang meja panrty,
ke hadapannya. Keresahan kembali menjalari Ify. Betapa berbedannya
lelaki ini dengan pemuda yang dulu di kenalnya. Rio memang selalu
bersikap baik dan lembut padanya, tetapi tidak pernah memperlakukannya
seperti ini. Rio yang dikenalnya, adalah pemuda kaya yang manja dan
terbiasa dilayani, bukan melayani. Perlahan, Ify menarik napas
dalam-dalam. Berusaha mengendalikan keresahannya.
“Berhubung belum ada kursi,” Rio tersenyum, mencoba mencarikan
kecanggungan yang menggantung di udara, “Anggap saja kita sedang standing party.”
Tanpa berkata-kata, Ify mengambil kotak Styrofoam di hadapannya, dan menyandarkan pinggulnya pada meja pantry.
“Gimana? Enak?” Rio menatap Ify yang sedang mengunyah makanannya, dengan penuh rasa ingin tahu.
“Lumayan,” jawab Ify tak acuh. Sebenarnya ia berdusta. Ayam bakar ini
terasa lezat. Apalagi di saat ia kelaparan seperti ini. Dagingnya
lembut, dan bumbunya meresap hingga ke bagian terdalam.
Hening. Canggung.
“Gimana kabar orang tuamu?” Rio kembali berusaha mencairkan suasana.
“Ayahku udah meninggal,” jawab Ify datar, tanpa ekspresi.
Selama beberapa saat Rio terdiam, tak bisa berkata-kata. “Maaf,”
katanya salah tingkah setelah dapat bersuara. “Sakit?”
“Serangan jantung.”
“Trus, ibumu..?”
“Sekarang tinggal di Sukabumi.”
“Sendiri?”
Ify mengangguk. “Papamu sendiri, gimana kabarnya?” Sebenarnya Ify sudah
tahu bahwa ayah Rio meninggal tahun lalu. Ia membaca beritanya di
Koran. Pemilik salah satu bank terkemuka di Indonesia itu terkena stroke, dan meninggal setelah seminggu dirawat di rumah sakit. Ia hanya berusaha mengalihkan pembicaraan tentang dirinya.
Rio mengambil gelasnya, menyesap orange juice-nya sebelum menjawab. “Papa meninggal hampir setahun yang lalu. Stroke.”
“Maaf.”Ify sama sekali tidak berusaha menampilkan rasa penyesalan pada
wajahnya. Bahkan suaranya terdengar datar. Tidak sungguh-sungguh
menyesal.
“Nggak apa-apa.”
Hening.
Ify melirik Rio dari balik bulu matanya. Didapatinya jari-jari panjang
dan kokoh lelaki itu sedang mencuil-cuil ayam bakarnya tanpa semangat.
Wajah tampannya tampak murung dan sedih. Melihat itu, tanpa
dikehendakinnya, rasa iba mengaliri hati Ify. Ia tahu, betapa dekat
hubungan Rio dengan ayahnya. Apalagi setelah ibunya meninggal—saat
lelaki itu di bangku SMA. Ayahnya adalah satu-satunya orang tua yang
dimilikinya, dan paling disayanginya. “Kenapa kamu nggak tinggal dirumah
papamu saja?” Ify kembali berusaha mengalihkan pembicaraan. “Kenapa di
hotel?”
“Rumah papa udah dijual,” jawab Rio tanpa mengangkat kepala.
“Lalu bisnis papamu?” Tanya Ify setelah terdiam sesaat.
Rio mendongak. “Aku yang meneruskan.” Seulas senyum mengembang di
wajahnya, menghapus mendung yang sempat membayang. “Yah, walaupun aku
nggak terlalu menyukai bidang itu, tapi apa boleh buat. Untunglah ada
adik papa yang membantuku, dan bisnis mobil impor yang bisa menjadi
hiburan tersendiri buatku.” Ia menjilati bumbu yang melekat pada
jari-jari panjangnya, lalu menatap Ify. “Bagaimana dengan suami kamu?
Kerja di mana?”
Tubuh Ify menegang. Dengan susah payah ia menelan makanan di mulutnya. “Udah meninggal.”
Untuk ke sekian kalinya, dapur itu kembali hening dan canggung.
Rio langsung menyesali pertanyaannya. Jadi, itulah sebabnya Ify tidak
mengenakan cincin nikahnya. “Maaf.” Ia menundukkan kepala,
menyembunyikan rasa iba yang pasti tersirat jelas di matanya.
Ify menutup kotak Styrofoam-nya
dengan gerakan canggung. Ia tidak ingin menerusakan percakapan ini.
Percakapan ini lebih mirip obrolan antara dua orang kenalan lama yang
telah lama tidak bertemu daripada rekan bisnis. Ia harus menghentikan
secepatnya sebelum pembicaraan mereka semakin jauh masuk ke wilayah
pribadinya.
Ia tidak menginginkan keakraban
ini. Keakraban ini hanya akan membuat dinding yang dibangun untuk
melindungi hatinya runtuh dengan perlahan. Hanya akan membuatnya lupa
bahwa lelaki ini tidak pernah mencintainya. Tidak secuilpun!
Ify tidak ingin lelaki ini masuk kembali ke dalam hatinya. Tidak ingin
lelaki ini membuatnya jatuh cinta lagi, dan akhirnya akan membuatnya
terluka lagi. Ia masih bisa menoleransi perbuatan Rio di masa lalu. Ia
juga salah, telah memberi Rio kepercayaan yang begitu besar. Namun, dulu
ia hanyalah seorang gadis lugu dan bodoh. Gadis yang sedang
tergila-gila pda cinta. Sekarang ia sudah jauh lebih dewasa. Sudah
seharusnya ia bisa mengontrol dirinya sendiri dan tidak membiarkan
dirinya jatuh ke dalam pesona lelaki ini—lagi. Ia tidak akan mengulangi
kesalahan yang sama. Ify memasukkan kotak Styrofoam ke dalam
kantong plastic. “Aku masih banyak pekerjaan,” Ify menghampiri wastafel
dan mencuci tangannya dengan tergesa. “Makasih untuk makan siangnya.”
Rio menatap punggung Ify, yang melangkah cepat meninggalkan ruang
makan, dengan pandangan sedih, lalu menarik napasnya dalam-dalam.
Hatinya miris mengetahui banyak penderitaan Ify. Selama ini, setiap kali
teringat pada Ify, Rio selalu berharap perempuan itu tidak pernah lagi
merasakan penderitaan. Tak apalah kalau ia tidak bisa bertemu apalagi
memiliki perempuan itu lagi, tetapi ia ingin—dimana pun Ify
berada—perempuan ini bahagia. Penderitaan akibat perbuatannya dulu sudah
terlalu berat. Sudah lebih dari cukup. Namun, ternyata doanya tidak
terkabul. Saat ini, ingin sekali Rio menyusul Ify, dan merengkuh tubuh
perempuan itu ke dalam pelukannya. Ingin menghiburnya. Ingin menghapus
semua kesedihannya. Ingin menebus kesalahannya di masa lalu. Tetapi ia
tahu, Ify tidak akan mengizinkannya melakukan semua itu. Bahkan, tidak
akan membiarkannya mendekat. Rio mendesah sedih dalam hati. Akankah ada
kesempatan kedua untuknya?
TIba-tiba, sebuah
ide melintas cepat di benak Rio. Ide yang bisa menahan Ify lebih lama
mengerjakan rumahnya. Ide yang bisa memberinya lebih banyak waktu untuk
bertemu dengan perempuan itu.
Seulas senyum
mengembang di wajah Rio. Ia memasukkan sampah ke kantong plastic, lalu
melemparnya ke keranjang sampah.
**
Ify menghentikan Twin Cam tuanya di tepi jalan depan rumah Rio. Sambil
mematikan mesinnya, ia melirik jam tangannya. Pukul 09.10. Sore ini ia
ada janji dengan kliennya yang lain, jadi ia segera datang ke rumah Rio
lebih awal. Dalam hati, ia berharap Rio tidak tiba-tiba muncul seperti
kemarin. Ify meraih tas kerja dan kantong kertas besar yang tergeletak
di jok sebelahnya, lalu melangkah turun.
Ify
membuka pintu pagar, menyeberangi halaman dan menghampiri pintu depan.
Baru saja ia mengeluarkan kunci dari dalam tas kerjanya, dan hendak
memasukkan ke lubangnya, namun pintu itu sudah terbuka lebar dengan
sendirinya. Ify meloncat kaget, dan mundur selangkah. Matanya terbelalak
lebar saat mendapati sosok tinggi menjulang muncul di hadapannya. Rio!
“Pagi, Ify.” Seulas senyum memikat menghias wajah tampan di hadapannya.
Seakan tak percaya yang berdiri di hadapannya adalah Rio. Ify menatap
laki-laki itu dari ujung rambut hingga kaki. Lelaki di hadapannya ini
berpakaian rapi, sudah siap untuk berangkat ke kantor. Jas yang
dikenakannya tampak begitu sempurna di tubuh atletisnya. Seakan tubuh
lelaki ini memang diciptakan untuk pakaian itu. Pakaian yang
dikenakannya, membuat karisma lelaki ini semakin terpancar kuat.
Memberikan kesan berwibawa dan dapat diandalkan. Kesan yang menimbulkan
dampak buruk bagi diri Ify. Membuat jantungnya berdesir, dan wajahnya
terasa menghangat. “Ng-ngapain kamu di sini?” suara Ify terdengar agak
bergetar.
Rio menatap Ify dengan pandangan geli. “Ini kan rumahku?”
“I-iya. Aku tau. Tapi ngapain kamu di sini? Sepagi ini?”
“Aku udah pindah kesini dari tadi malam,” jawab Rio kalem.
Ify menatap Rio dengan mulut ternganga. “Kamu tidur disini?”
Rio mengangguk.
“Tapi, kok bisa? Bukannya kemarin aku udah bilang, kalau aku lupa
membawa seprai dan sarung bantal? Baru sekarang aku bawakan.” Ify
menunjukkan kantong kertas yang di bawanya.
Rio mengangkat bahunya dengan santai. “Aku bisa tidur tanpa seprai dan
sarung bantal kok.” Ia menyingkir dari ambang pintu, memberi ruangan
pada Ify untuk masuk. “Masuklah, ada yang ingin kubicarakan.”
Ify menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan keresahannya.
Dengan ragu, ia melangkahkan kakinya melewati ambang pintu. Ternyata Rio
benar-benar sudah tidak sabar ingin keluar dari hotel. Tetapi, apa
kira-kira yang ingin dibicarakan lelaki ini? Dalam hati, Ify berharap,
pembicaraan itu hanya mengenai rumah ini, bukan sesuatu yang bersifat
pribadi.
“Kamu udah sarapan?”
Karena belum pulih dari rasa terkejutnya, Ify jadi lengah. Sebelum ia
sempat mencegah, tas kerja dan kantong kertas besar yang di bawanya
sudah berpindah ke tangan Rio. Dan tanpa menunggu lagi, lelaki itu
langsung membawanya menyeberangi ruangan.
Ify mendesah kesal, lalu mengikuti langkah Rio menuju dapur. “Udah,” sahutnya berbohong.
Rio menghentikan langkahnya, lalu berbalik. Ditatapnya Ify dengan alis
terangkat sebelah. “Yang benar?” tanyanya tak percaya.
Ify menganggukkan kepalanya kuat-kuat.
Satu sudut bibir Rio terangkat, membentuk senyum samar. “Sejak kapan kamu suka sarapan?”
Ucapan Rio membuat wajah Ify menghangat. Ia sama sekali tidak menyangka
Rio bahkan masih mengingat kebiasaan kecilnya. Ya, ia memang tidak
terbiasa sarapan, bahkan sampai sekarang. “Sejak,” Ify gelagapan. “Sejak
aku punya anak,” jawabnya asal.
“Ya udah,” Rio berbalik dan kembali melangkah. “Kalau gitu, kamu temani aku sarapan.”
Ify mengikuti langkah lelaki itu ke dapur dengan hati cemas.
Sesampainya di dapur, Ify mendapati dua kotak Ify mengikuti langkah
lelaki itu ke dapur dengan hati cemas. Sesampainya di dapur, Ify
mendapati dua kotak Styrofoam dan sebotol susu segar di meja pantry.
Rio meletakkan tas kerja dan kantong kertas milik Ify di atas meja pantry, lalu mendorong sebuah kotak ke hadapan Ify. “Aku juga membelikanmu sarapan.”
Sambil menyandarkan pinggulnya ke meja pantry, Ify menggeleng. “Nggak, makasih.”
“Susu?” Rio masih berusaha menawarkan Ify.
Ify meletakan satu tangannya pada pinggul. “Sebenarnya, apa yang ingin
kamu bicarakan?” tanyanya, seakan tidak mendengar tawaran Rio.
Rio membuka kotak Styrofoam-nya, mengambil sendok plastic, lalu menyuap bubur ayamnya dengan santai. “Aku ingin mengubah desain dapurku,” gumamnya kalem.
Satu alis Ify terangkat. Ia menatap Rio dengan pandangan aneh selama
beberapa saat, lalu mengedarkan padangannya ke sekeliling dapur.
“Kenapa?”
Rio mengangkat bahunya. “Aku kurang
suka interior-nya,” katanya sambil terus melahap makanannya. “Dan,
karena aku udah pindah ke sini, aku ingin kamu mendahulukan dapur ini.”
Ify menyelipkan seuntai rambutnya yang terurai ke balik telinga dengan
resah. Ini berarti tambahan pekerjaan. Yang juga berarti: ia akan
semakin lama terjebak di rumah ini, dan akan semakin sering bertemu Rio.
“Bisa, kan?” Rio mendongak. Ditatapnya Ify dengan penuh harap.
Ify menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. “Aku akan menyerahkan lay-out-nya padamu besok.”
Rio mengangguk sambil tersenyum puas. “Kamu yakin nggak mau susu?”
Ify memutar bola matanya. “Aku masih banyak kerjaan,” ia meraih tas
kerja dan kantong kertasnya, “Kalau aku nggak mulai dari sekarang, aku
nggak bisa menyerahkan lay-out dapur ini padamu besok.”
“Kamu boleh mengambilnya sendiri kalau mau.” Rio mencoba menawarkan, tetapi Ify terus melangkah. Tak peduli.
Rio menghela napas berat. Ia tak menyangka betapa besar perubahan yang
terjadi pada Ify. Ify yang dulu di kenalnya, adalah seorang gadis
periang, hangat, dan penyayang. Namun, Ify yang ada di dekatnya saat ini
begitu dingin. Begitu jauh.
Rio mengaduk bubur ayamnya tanpa semangat. Mungkinkah perempuan itu masih membencinya?
----
Maaf kalau typo bertebaran :p
You can find me on twitter @YessyPevensia, thanks :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar