Rabu, 09 Januari 2013

Promises Promises[03]:Mencintaimu Sekali Lagi

ATTENTION : A novel written by Dahlian. Novel genre dewasa tapi bukan No Children. Saya nggak memaksa kalian baca, kalau memang kurang suka jangan baca. Aku udah peringatin dari awal, jadi kalo ada yang protes (novel ini terlalu frontal atau semacamnya), aku nggak bakal tanggepin ya. Lagian, tergantung pembaca juga, kalau kalian liatnya dari sisi No Children, ya novel ini bakal keliatan gitu, kalau nggak, ya novel ini pasti jatuhnya seru. J

 

Promises Promises [03] : Mencintaimu Sekali Lagi

 

Ify menatap rak buku built-in, yang tingginya mencapai langit-langit kamar tidur Rio, dengan pandangan puas. Mang Asep—tukang kayu yang selalu digunakan perusahannya—memang tidak pernah mengecewakan. Kerjanya cepat, dan hasilnya rapi. Ify menelusuri kayu rak buku itu dengan jarinya. Rak buku ini akan tampak semakin cantik jika telah dipenuhi buku-buku. Setelah semua perabot diletakkan pada tempatnya, ia tinggal memasang gorden, seprai, dan sarung bantal. Rio memang menyerahkan segala urusan kepadanya, bahkan hingga urusan seprai, sarung bantal, dan hal-hal remeh lainnya. Setelah anak buahnya membersihkan lantai parket, sore ini juga kamar ini siap untuk dihuni. Ify mengambil tangga kayu pendek yang tadi di bawanya, lalu meletakkannya di depan rak buku. Tangga kayu ini akan mempermudah Rio untuk menjangkau buku yang terletak pada rak teratas.

                “Tempat tidurnya mau dipasang di mana, Bu?”

                Suara Riko—salah seorang anak buahnya—membuyarkan lamunanya. Ify memutar tubuhnya, dan menunjuk ke bidang yang telah ditutupi panel berlapis wallcover cokelat dalam motif geometris yang lembut. “Di situ.”

                Dua anak buahnya segera menggotong rangka baja ke tempat yang ditunjuk Ify, dan dengan cekatan menyambungkan rangka-rangka yang masih terpisah. Dalam waktu tak sampai tiga puluh menit, tempat tidur king size berkerangka baja hitam dengan headboard simpel tetapi cantik itu, telah terpasang lengkap dengan kasurnya. Ify kembali menuyuruh kedua anak buahnya memasang lampu baca gantung pada kedua sisi tempat tidur, tepat di atas nakas. Usai memasang lampu baca, kedua anak buah Ify mengangkat drawer console dan meletakkan di seberang tempat tidur, lalu meletakkan longue chair di sisi jendela.

                Ify melirik jam tangannya sekilas, lalu menoleh pada anak buahnya. “Istirahat dulu, Ko.” Ia memutar tubuhnya dan melangkah keluar ruangan. Diraihnya tas tangannya yang dibiarkan tergeletak di lantai depan kamar tidur, dan mengeluarkan dompet. Saat ia baru mengeluarkan beberapa lembar uang, Riko dan Goldi keluar kamar. “Nih, buat makan siang.” Ia menjulurkan uang di tangannya.

                “Ibu mau sekalian dibelikan?” Tanya Riko sambil mengambil uang dari tangan Ify.

                Ify menggeleng. “Saya belum lapar. Tolong beliin Aqua aja.”

                Riko mengangguk dan melangkah pergi diikuti Goldi.

                Ify mengambil tangga bambu setinggi satu meter yang disandarkan pda dinding di dekatnya, membawanya masuk ke kamar, lalu ia menyeberangi koridor menuju kamar mandi. Pada salah sisi koridor terdapat lemari pakaian built-in besar memenuhi dinding, yang telah dipasang sejak awal oleh pemborong rumah ini. Lemari kayu itu bagus, dan Ify tidak ingin mengubahnya. Ia hanya menambahkan wallcover berwarna krem dengan motif geometris pada bidang kosong di hadapan lemari pakaian itu.

                Nuansa cokelat krem bercampur putih mendominasi hampir seluruh ruangan kamar mandi, lewat pilihan warna senada marmer dan keramik. Bathub, wastafel, dan kloset berada dalam satu area—di ujung dalam ruangan—masing-masing terpisah jarak yang cukup. Di dekat kloset terdapat shower yang dipisahkan oleh pintu kaca frameless. Cermin berbingkai sederhana di pasang pada sisi dinding di area bathub hingga merefleksikan keleluasaan ruang. Ify telah meletakkan slim storage for toiletries di sisi cermin. Meja rias yang berasa di area kering, di dekat pintu masuk. Desain menjanya simple; hanya berupa hanging table yang terdiri dari dua laci. Cermin, sengaja dipilihkan bentuk yang sederhana, berupa panel dengan rak-rak untuk menyimpan aksesories dan perangkat berhias. Ify menyandarkan tangga bambu yang dibawanya pada dinding di antara kedua area, lalu melangkah keluar.

                Ify memandang ke sekililing kamar, matanya tertuju pada tumpukan kardus berukuran sedang di dekat pintu. Kardus milik Rio. Dengan penuh rasa ingin tahu, ia menghampiri kardus itu, dan melihat tulisan ‘favorite books’ yang ditulis dengan spidol tebal warna hitam. Ify mengangkat kardus teratas, meletakkannya di lantai, lalu mendorongnya mendekati rak buku. Tanpa memedulikan keringat yang mulai menitik dari keningnya, ia merogoh saku belakang celana jeans-nya, mengeluarkan cutter, lalu merobek lakban yang melekat pada tutup kardus. Ia tidak terlalu suka membaca , tetapi ia sangat suka mengatur buku-buku. Merapikan rak buku Kejora adalah salah satu pekerjaan yang paling disukainya jika sedang berada di rumah. Rak buku Kejora hampir selalu berantakan karena gadis kecil itu sering kali menaruh bukunya secara asal. Bahkan tak jarang Kejora hanya melemparkan begitu saja buku-buku yang telah selesai dibacanya. Ify menyukai warna-warni punggung buku yang terjajar rapi. Warna-warna yang tak beraturan dan tebal-tipisnya buku, seakan member sentuhan unik pada ruangan. Saat Ify sudah memnuhi baris ketiga teratas rak buku, kedua anak buahnya kembali dari istirahat.

                “Bu, di bawah ada orang dari toko elektronik.” Riko memberitahunya.

                Ify segera meletakkan buku yang dipegangnya secara asal di atas rak, menyeka keringat yang mengaliri keningnya dengan punggung tangan, melompat turun dari tangga kayu, lalu melesat keluar kamar sambil menepukkan kedua tangannya. Mencoba menyingkirkan debu yang menempel pada telapak tangannya.

                Di ruang tamu, seorang lelaki berusia awal tiga puluh sedang menunggunya. “Siang, Bu. Saya mengantarkan pesanan Pak Rio.”

                Ify melihat sebuah kardus besar bergambar TV tergeletak di teras. “Oya, Pak, tolong angkat ke atas ya.”

                Lelaki itu memanggil anak buahnya yang menunggu di mobil. Menyuruh mereka mengangkat kardus sesuai permintaan Ify, lalu menjulurkan sebuah clipboard dan pulpen pada Ify. “Tolong tanda tangan di sini, Bu.”

                “Makasih, Pak.” Ify mengembalikan clipboard pada lelaki itu, dan bergegas kembali ke lantai atas.

                “Mau dipasang di mana TV-nya, Bu?” Tanya Riko begitu Ify masuk ke kamar.

                Tanpa berkata-kata, Ify menunjuk dinding di atas drawer console, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya menyusun buku pada raknya.

                “Sepertinya, pekerjaanmu selesai lebih cepat dari jadwal.”

                Suara berat dan kalem yang membentur gendang telinganya, membuat Ify menoleh cepat. Matanya melebar saat melihat Rio sudah berdiri di ambang pintu. Lelaki itu bersandar santai pada kusen sambil bersedekap. Kedua lengan kemejanya digulung hingga sikunya, dan dasinya tergantung longgar pada kerah kemejanya. Rio tampak santai dan tampan. Senyum memikat menghiasi wajahnya, sementara matanya menatap Ify dari balik kacamata tanpa bingkainya.

                Ify tampak casual dalam balutan jeans dan kemeja putih. Wajahnya polos tanpa riasan. Rambutnya disatukan di tengkuknya, dengan beberapa untai terlepas dari ikatannya. Secara keseluruhan, penampilan Ify sederhana dan alami, tetapi entah bagaimana malah terkesan begitu seksi di mata Rio.

                Tanpa menanggapi ucapan lelaki itu, Ify kembali menyibukkan diri, dengan mengatur buku-buku pada raknya. Mencoba menyembunyikan kegelisahan yang tiba-tiba muncul. Ia tidak mengerti apa yang dilakukan Rio disana? Bukankah ia sudah mengatakan kamar ini baru bisa ditempati besok? Ya, ia tahu kalau ia bisa menyelesaikannya sore ini juga, tetapi ia sengaja mengatakannya demikian agar tidak perlu bertemu dengan lelaki itu.

                Ify dapat menangkap ketukan sepatu pantofel Rio pada lantai parket. Dari sudut matanya, Ify melihat lelaki itu berhenti di depan tempat tidurnya, mengamati dengan wajah puas, lalu memutar tubuhnya untuk mengamati drawer console dan kesibukan Riko dan Goldi memasang TV. Rio mendongak, menatap lampu bulat yang terpasang di tengah kamar tidur dengan penuh minat, memutar tubuhnya untuk mengamati sekeliling ruangan, lalu melangkah ke kamar mandi.

                “Kamu puas dengan kamarmu?” Tanya Ify saat dilihatnya Rio keluar dari kamar mandi.

                “Sangat puas.” Rio melangkah menghampiri Ify lalu berhenti di dekat perempuan yang masih sibuk memindahkan buku dari dalam kardus ke rak buku itu. “Tapi untuk apa tangga bambu di kamar mandi itu?”

                “Untuk menggantung handuk.” Ify mengeluh dalam hati saat dari sudut matanya melihat Rio berjongkok di sisinya, dan membantunya mengeluarkan buku dari dalam kardus. “Aku ingin sesuatu yang beda. Kenapa? Kamu nggak suka?”

                “Jangan skeptis gitu, dong.” Rio tertawa kecil sambil meletakkan buku pada rak. “Aku suka banget kok. Unik.”

                Jantung Ify berdebar resah saat mendengar suara tawa yang berat dan dalam. Suara tawa yang dulu amat disukainya. Hanya saja ia tak menyangka, ia masih menyukai tawa seksi lelaki ini. Diam-diam mengambil Ify mengambil napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan keresahannya. “Apa yang kamu lakukan di sini? Bukannya sekarang masih jam kerja?” ia mengalihkan pembicaraan.

                “Aku nggak sabar melihat kamarku,” Rio terdiam sejenak. “Sekalian membawakan kamu makan siang.”

                Ucapan Rio membuat Ify teringat bahwa ia belum makan siang, dan kini perutnya mulai terasa lapar. “Makasih, nggak perlu repot-repot,” tukasnya cepat. “Aku udah makan.” Namun bunyi ‘kriuk’ pelan yang keluar dari perutnya mementahkan ucapannya dalam sekejap. Wajah Ify menghangat. Dalam hati ia merutuki perutnya yang telah berkhianat.

                Rio tersenyum geli. “Udahlah, tinggalkan dulu pekerjaanmu.” Ia meraih pergelangan tangan Ify, lalu berdiri. “Toh, kamu juga sudah mengerjakannya lebih cepat dari jadwal. Lagian, aku nggak mau desainer interior-ku sakit.”

                Dalam sekejap, getar samar menjalari seluruh tubuh Ify. Ia berusaha melepaskan pergelangan tangannya, sebelum sentuhan tangan lelaki itu membuatnya semakin resah. Namun, cengkraman lelaki itu terlalu kuat. Tidak sampai menyakitinya, tetapi tidak dapat dilepaskannya dengan mudah. Mau tak mau ia bangkit. Ia tidak ingin bertengkar dengan Rio di depan anak buahnya.

                “Kalian udah makan?” Rio bertanya kepada Riko dan Goldi, yang langsung menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih.       

                Ify memanfaatkan perhatian Rio yang teralih pada anak buahnya untuk menyentakkan tangannya kuat-kuat. Akhirnya tangannya terlepas juga dari cengkraman lelaki itu. Sentakan itu membuat Rio menoleh pada Ify. Menatapnya dengan alis terangkat sebelah, lalu tersenyum. Cara lelaki itu tersenyum membuat bibir Ify mengering seketika. Ia segera membuang muka, untuk menyembunyikan keresahannya, lalu melangkah cepat keluar kamar. Suara ketukan sepatu Rio yang tertangkap oleh telinganya, memberitahunya bahwa lelaki itu mengikutinya.

                “Aku menaruh makan siang kita di dapur.”

                Suara Rio terdengar dari balik punggung Ify. Tanpa berkata-kata, ia menuruni tangga dan melangkahkan kakinya menuju dapur.

                Konsep dapur rumah ini adalah dapur kering. Ruangnya tidak terlalu luas, dan telah dilengkapi dengan kitchen cabinet, meja panrty, serta bak cuci. Ify menemukan sebuah kantong plastik, gelas plastik dan sebotol—ia tertegun—orange juice, di atas meja pantry. Ternyata Rio masih ingat minuman favoritnya.

                “Maaf, kulkasnya baru datang besok, jadi orange juice-nya nggak terlalu dingin.”

                Suara Rio yang terasa begitu dekat di belakangnya, membuat Ify tersentak dari keterkagumannya. “Nggak apa-apa,” gumamnya cepat, sambil menghampiri meja pantry.

                Rio mengeluarkan dua kotak Styrofoam dari kantong plastic dan meletakkan sebuah di hadapan Ify. Saat meraih kotak Styrofoam, barulah Ify menyadari berapa kotor tangannya. Untunglah ia selalu membawa sabun cair dan tisu basah ke mana pun ia pergi.

                “Hmm.. aku mau mengambil sabun dulu di mobilku.”

                “Nggak perlu,” Rio menunjuk botol sabun cair di dekat wastafel. “Aku udah bawa.”

                Tanpa berkata-kata, Ify menghampiri wastafel, dan mencuci tangannya. Saat ia membalikkan tubuhnya, dilihatnya dua gelas plastic di atas meja pantry sudah terisi. Tatapannya beralih ke Rio yang sedang membukakan kotak Styrofoam. Oleh lelaki itu, didorongnya kotak tersebut ke seberang meja panrty, ke hadapannya. Keresahan kembali menjalari Ify. Betapa berbedannya lelaki ini dengan pemuda yang dulu di kenalnya. Rio memang selalu bersikap baik dan lembut padanya, tetapi tidak pernah memperlakukannya seperti ini. Rio yang dikenalnya, adalah pemuda kaya yang manja dan terbiasa dilayani, bukan melayani. Perlahan, Ify menarik napas dalam-dalam. Berusaha mengendalikan keresahannya.

                “Berhubung belum ada kursi,” Rio tersenyum, mencoba mencarikan kecanggungan yang menggantung di udara, “Anggap saja kita sedang standing party.”

                Tanpa berkata-kata, Ify mengambil kotak Styrofoam di hadapannya, dan menyandarkan pinggulnya pada meja pantry.

                “Gimana? Enak?” Rio menatap Ify yang sedang mengunyah makanannya, dengan penuh rasa ingin tahu.

                “Lumayan,” jawab Ify tak acuh. Sebenarnya ia berdusta. Ayam bakar ini terasa lezat. Apalagi di saat ia kelaparan seperti ini. Dagingnya lembut, dan bumbunya meresap hingga ke bagian terdalam.

                Hening. Canggung.

                “Gimana kabar orang tuamu?” Rio kembali berusaha mencairkan suasana.

                “Ayahku udah meninggal,” jawab Ify datar, tanpa ekspresi.

                Selama beberapa saat Rio terdiam, tak bisa berkata-kata. “Maaf,” katanya salah tingkah setelah dapat bersuara. “Sakit?”

                “Serangan jantung.”

                “Trus, ibumu..?”

                “Sekarang tinggal di Sukabumi.”

                “Sendiri?”

                Ify mengangguk. “Papamu sendiri, gimana kabarnya?” Sebenarnya Ify sudah tahu bahwa ayah Rio meninggal tahun lalu. Ia membaca beritanya di Koran. Pemilik salah satu bank terkemuka di Indonesia itu terkena stroke, dan meninggal setelah seminggu dirawat di rumah sakit. Ia hanya berusaha mengalihkan pembicaraan tentang dirinya.

                Rio mengambil gelasnya, menyesap orange juice-nya sebelum menjawab. “Papa meninggal hampir setahun yang lalu. Stroke.”

                “Maaf.”Ify sama sekali tidak berusaha menampilkan rasa penyesalan pada wajahnya. Bahkan suaranya terdengar datar. Tidak sungguh-sungguh menyesal.

                “Nggak apa-apa.”

                Hening.

                Ify melirik Rio dari balik bulu matanya. Didapatinya jari-jari panjang dan kokoh lelaki itu sedang mencuil-cuil ayam bakarnya tanpa semangat. Wajah tampannya tampak murung dan sedih. Melihat itu, tanpa dikehendakinnya, rasa iba mengaliri hati Ify. Ia tahu, betapa dekat hubungan Rio dengan ayahnya. Apalagi setelah ibunya meninggal—saat lelaki itu di bangku SMA. Ayahnya adalah satu-satunya orang tua yang dimilikinya, dan paling disayanginya. “Kenapa kamu nggak tinggal dirumah papamu saja?” Ify kembali berusaha mengalihkan pembicaraan. “Kenapa di hotel?”

                “Rumah papa udah dijual,” jawab Rio tanpa mengangkat kepala.

                “Lalu bisnis papamu?” Tanya Ify setelah terdiam sesaat.

                Rio mendongak. “Aku yang meneruskan.” Seulas senyum mengembang di wajahnya, menghapus mendung yang sempat membayang. “Yah, walaupun aku nggak terlalu menyukai bidang itu, tapi apa boleh buat. Untunglah ada adik papa yang membantuku, dan bisnis mobil impor yang bisa menjadi hiburan tersendiri buatku.” Ia menjilati bumbu yang melekat pada jari-jari panjangnya, lalu menatap Ify. “Bagaimana dengan suami kamu? Kerja di mana?”

                Tubuh Ify menegang. Dengan susah payah ia menelan makanan di mulutnya. “Udah meninggal.”

                Untuk ke sekian kalinya, dapur itu kembali hening dan canggung.

                Rio langsung menyesali pertanyaannya. Jadi, itulah sebabnya Ify tidak mengenakan cincin nikahnya. “Maaf.” Ia menundukkan kepala, menyembunyikan rasa iba yang pasti tersirat jelas di matanya.

                Ify menutup kotak Styrofoam-nya dengan gerakan canggung. Ia tidak ingin menerusakan percakapan ini. Percakapan ini lebih mirip obrolan antara dua orang kenalan lama yang telah lama tidak bertemu daripada rekan bisnis. Ia harus menghentikan secepatnya sebelum pembicaraan mereka semakin jauh masuk ke wilayah pribadinya.

                Ia tidak menginginkan keakraban ini. Keakraban ini hanya akan membuat dinding yang dibangun untuk melindungi hatinya runtuh dengan perlahan. Hanya akan membuatnya lupa bahwa lelaki ini tidak pernah mencintainya. Tidak secuilpun!

                Ify tidak ingin lelaki ini masuk kembali ke dalam hatinya. Tidak ingin lelaki ini membuatnya jatuh cinta lagi, dan akhirnya akan membuatnya terluka lagi. Ia masih bisa menoleransi perbuatan Rio di masa lalu. Ia juga salah, telah memberi Rio kepercayaan yang begitu besar. Namun, dulu ia hanyalah seorang gadis lugu dan bodoh. Gadis yang sedang tergila-gila pda cinta. Sekarang ia sudah jauh lebih dewasa. Sudah seharusnya ia bisa mengontrol dirinya sendiri dan tidak membiarkan dirinya jatuh ke dalam pesona lelaki ini—lagi. Ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Ify memasukkan kotak Styrofoam ke dalam kantong plastic. “Aku masih banyak pekerjaan,” Ify menghampiri wastafel dan mencuci tangannya dengan tergesa. “Makasih untuk makan siangnya.”

                Rio menatap punggung Ify, yang melangkah cepat meninggalkan ruang makan, dengan pandangan sedih, lalu menarik napasnya dalam-dalam. Hatinya miris mengetahui banyak penderitaan Ify. Selama ini, setiap kali teringat pada Ify, Rio selalu berharap perempuan itu tidak pernah lagi merasakan penderitaan. Tak apalah kalau ia tidak bisa bertemu apalagi memiliki perempuan itu lagi, tetapi ia ingin—dimana pun Ify berada—perempuan ini bahagia. Penderitaan akibat perbuatannya dulu sudah terlalu berat. Sudah lebih dari cukup. Namun, ternyata doanya tidak terkabul. Saat ini, ingin sekali Rio menyusul Ify, dan merengkuh tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya. Ingin menghiburnya. Ingin menghapus semua kesedihannya. Ingin menebus kesalahannya di masa lalu. Tetapi ia tahu, Ify tidak akan mengizinkannya melakukan semua itu. Bahkan, tidak akan membiarkannya mendekat. Rio mendesah sedih dalam hati. Akankah ada kesempatan kedua untuknya?

                TIba-tiba, sebuah ide melintas cepat di benak Rio. Ide yang bisa menahan Ify lebih lama mengerjakan rumahnya. Ide yang bisa memberinya lebih banyak waktu untuk bertemu dengan perempuan itu.

                Seulas senyum mengembang di wajah Rio. Ia memasukkan sampah ke kantong plastic, lalu melemparnya ke keranjang sampah.

 

**

                Ify menghentikan Twin Cam tuanya di tepi jalan depan rumah Rio. Sambil mematikan mesinnya, ia melirik jam tangannya. Pukul 09.10. Sore ini ia ada janji dengan kliennya yang lain, jadi ia segera datang ke rumah Rio lebih awal. Dalam hati, ia berharap Rio tidak tiba-tiba muncul seperti kemarin. Ify meraih tas kerja dan kantong kertas besar yang tergeletak di jok sebelahnya, lalu melangkah turun.

                Ify membuka pintu pagar, menyeberangi halaman dan menghampiri pintu depan. Baru saja ia mengeluarkan kunci dari dalam tas kerjanya, dan hendak memasukkan ke lubangnya, namun pintu itu sudah terbuka lebar dengan sendirinya. Ify meloncat kaget, dan mundur selangkah. Matanya terbelalak lebar saat mendapati sosok tinggi menjulang muncul di hadapannya. Rio!

                “Pagi, Ify.” Seulas senyum memikat menghias wajah tampan di hadapannya.

                Seakan tak percaya yang berdiri di hadapannya adalah Rio. Ify menatap laki-laki itu dari ujung rambut hingga kaki. Lelaki di hadapannya ini berpakaian rapi, sudah siap untuk berangkat ke kantor. Jas yang dikenakannya tampak begitu sempurna di tubuh atletisnya. Seakan tubuh lelaki ini memang diciptakan untuk pakaian itu. Pakaian yang dikenakannya, membuat karisma lelaki ini semakin terpancar kuat. Memberikan kesan berwibawa dan dapat diandalkan. Kesan yang menimbulkan dampak buruk bagi diri Ify. Membuat jantungnya berdesir, dan wajahnya terasa menghangat. “Ng-ngapain kamu di sini?” suara Ify terdengar agak bergetar.

                Rio menatap Ify dengan pandangan geli. “Ini kan rumahku?”

                “I-iya. Aku tau. Tapi ngapain kamu di sini? Sepagi ini?”

                “Aku udah pindah kesini dari tadi malam,” jawab Rio kalem.

                Ify menatap Rio dengan mulut ternganga. “Kamu tidur disini?”

                Rio mengangguk.

                “Tapi, kok bisa? Bukannya kemarin aku udah bilang, kalau aku lupa membawa seprai dan sarung bantal? Baru sekarang aku bawakan.” Ify menunjukkan kantong kertas yang di bawanya.

                Rio mengangkat bahunya dengan santai. “Aku bisa tidur tanpa seprai dan sarung bantal kok.” Ia menyingkir dari ambang pintu, memberi ruangan pada Ify untuk masuk. “Masuklah, ada yang ingin kubicarakan.”

                Ify menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan keresahannya. Dengan ragu, ia melangkahkan kakinya melewati ambang pintu. Ternyata Rio benar-benar sudah tidak sabar ingin keluar dari hotel. Tetapi, apa kira-kira yang ingin dibicarakan lelaki ini? Dalam hati, Ify berharap, pembicaraan itu hanya mengenai rumah ini, bukan sesuatu yang bersifat pribadi.

                “Kamu udah sarapan?”

                Karena belum pulih dari rasa terkejutnya, Ify jadi lengah. Sebelum ia sempat mencegah, tas kerja dan kantong kertas besar yang di bawanya sudah berpindah ke tangan Rio. Dan tanpa menunggu lagi, lelaki itu langsung membawanya menyeberangi ruangan.

                Ify mendesah kesal, lalu mengikuti langkah Rio menuju dapur. “Udah,” sahutnya berbohong.

                Rio menghentikan langkahnya, lalu berbalik. Ditatapnya Ify dengan alis terangkat sebelah. “Yang benar?” tanyanya tak percaya.

                Ify menganggukkan kepalanya kuat-kuat.

                Satu sudut bibir Rio terangkat, membentuk senyum samar. “Sejak kapan kamu suka sarapan?”

                Ucapan Rio membuat wajah Ify menghangat. Ia sama sekali tidak menyangka Rio bahkan masih mengingat kebiasaan kecilnya. Ya, ia memang tidak terbiasa sarapan, bahkan sampai sekarang. “Sejak,” Ify gelagapan. “Sejak aku punya anak,” jawabnya asal.

                “Ya udah,” Rio berbalik dan kembali melangkah. “Kalau gitu, kamu temani aku sarapan.”

                Ify mengikuti langkah lelaki itu ke dapur dengan hati cemas. Sesampainya di dapur, Ify mendapati dua kotak Ify mengikuti langkah lelaki itu ke dapur dengan hati cemas. Sesampainya di dapur, Ify mendapati dua kotak Styrofoam dan sebotol susu segar di meja pantry.

                Rio meletakkan tas kerja dan kantong kertas milik Ify di atas meja pantry, lalu mendorong sebuah kotak ke hadapan Ify. “Aku juga membelikanmu sarapan.”

                Sambil menyandarkan pinggulnya ke meja pantry, Ify menggeleng. “Nggak, makasih.”

                “Susu?” Rio  masih berusaha menawarkan Ify.

                Ify meletakan satu tangannya pada pinggul. “Sebenarnya, apa yang ingin kamu bicarakan?”  tanyanya, seakan tidak mendengar tawaran Rio.

                Rio membuka kotak Styrofoam-nya, mengambil sendok plastic, lalu menyuap bubur ayamnya dengan santai. “Aku ingin mengubah desain dapurku,” gumamnya kalem.

                Satu alis Ify terangkat. Ia menatap Rio dengan pandangan aneh selama beberapa saat, lalu mengedarkan padangannya ke sekeliling dapur. “Kenapa?”

                Rio mengangkat bahunya. “Aku kurang suka interior-nya,” katanya sambil terus melahap makanannya. “Dan, karena aku udah pindah ke sini, aku ingin kamu mendahulukan dapur ini.”

                Ify menyelipkan seuntai rambutnya yang terurai ke balik telinga dengan resah. Ini berarti tambahan pekerjaan. Yang juga berarti: ia akan semakin lama terjebak di rumah ini, dan akan semakin sering bertemu Rio.

                “Bisa, kan?” Rio mendongak. Ditatapnya Ify dengan penuh harap.

                Ify menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. “Aku akan menyerahkan lay-out­-­nya padamu besok.”

                Rio mengangguk sambil tersenyum puas. “Kamu yakin nggak mau susu?”

                Ify memutar bola matanya. “Aku masih banyak kerjaan,” ia meraih tas kerja dan kantong kertasnya, “Kalau aku nggak mulai dari sekarang, aku nggak bisa menyerahkan lay-out dapur ini padamu besok.”

                “Kamu boleh mengambilnya sendiri kalau mau.” Rio mencoba menawarkan, tetapi Ify terus melangkah. Tak peduli.

                Rio menghela napas berat. Ia tak menyangka betapa besar perubahan yang terjadi pada Ify. Ify yang dulu di kenalnya, adalah seorang gadis periang, hangat, dan penyayang. Namun, Ify yang ada di dekatnya saat ini begitu dingin. Begitu jauh.

                Rio mengaduk bubur ayamnya tanpa semangat. Mungkinkah perempuan itu masih membencinya?

 

----

Maaf kalau typo bertebaran :p

You can find me on twitter @YessyPevensia, thanks :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar