LORD I GIVE YOU MY HEART,I GIVE YOU MY SOUL,I LIVE FOR YOU ALONE,EVERYBREATH THEIR I TAKE,EVERY MOMENT I'M WAKE,LORD HAVE YOU WAY IN ME..:)
Rabu, 09 Januari 2013
Promises Promises[Part 13]:Mencintaimu Sekali Lagi
Promises Promises [Part 13] : Mencintaimu Sekali Lagi
Ify menoleh ke jok belakang, dan mendapati Kejora sedang tenggelam dalam novel yang dibacanya. Seulas senyum mengembang di wajahnya. Gadis kecil itu benar-benar mirip dengan ayahnya, tidak bisa melewati waktu senggang tanpa sebuah buku di tangan. Ify mengalihkan pandangannya pada Rio saat merasakan tangannya digenggam, dan mendapati laki-laki itu sedang menatapnya sambil tersenyum lembut.
“Capek, ya?” Rio meremas lembut tangan Ify.
“Nggak.”
“Bentar lagi nyampe, kok.”
Ify menyelipkan sejumput anak rambut yang terlepas dari ikatannya ke balik telinga, lalu mengarahkan pandangannya keluar jendela. Ia berusaha mengalihkan keresahannya dengan menikmati pemandangan hutan pinus yang mereka lewati. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya, membiarkan udara sejuk pegunungan mengisi paru-parunya. Sudah sejak tadi Rio mematikan AC dan membiarkan kaca jendela mobil terbuka. Membiatkan udara sejuk alami memenuhi mobil.
Rio memang penuh kejutan. Belum pukul 10.00 pagi, lelaki itu telah muncul di rumahnya, dan mengatakan akan membawa Ify dan Kejora ke kebun stroberi miliknya di Lembang—usaha iseng-iseng Rio. Mereka akan menghabiskan weekend kali ini dengan menginap di pondok milik Rio, dan menikmati buah stoberi yang masih segar—langsung dipetik dari pohonnya. Awalnya Ify ragu. Ia memang mencintai Rio. Ia memang selalu ingin di dekat lelaki ini—setiap saat. Namun, membayangkan akan menginap bersama lelaki ini, walaupun hanya semalam, membuatnya gelisah. Bersama Rio beberapa menit saja sudah menimbulkan berbagai reaksi yang meresahkan pada tubuhnya. Apalagi lebih dari 24 jam? Namun melihat betapa girang dan antusiasnya Kejora, ia pun mengalah.
Jalan semakin menanjak dan berkelok-kelok. Rio memperlambat laju mobilnya, ketika melewati sebuah kedai sederhana yang menjual buah stroberi segar dan susu stoberi. Mobilnya lalu berbelok memasuki sebuah gerbang besi dengan tulisan besar di atasnya—Pondok Stroberi. Tampaknya, mereka telah memasuki kawasan pribadi, karena jalan yang mereka lalui hanya memiliki satu jalur. Tidak ada kendaraan lain, pejalan kaki ataupun pengendara sepeda yang berpapasan dengan mereka. Namun, Ify bisa melihat hamparan kebun stroberi di balik jajaran pohon di pinggir jalan. Tidak terlalu luas. Mungkin hanya separuh lapangan bola, dan kemudian berganti dengan pemandangan hutan pinus.
Ify mengalihkan pandangannya pada Rio. “Itu tadi kebun stroberimu?”
“Iya.” Rio mengangguk. “Nggak terlalu luas karena lebih untuk kesenangan pribadi daripada usaha. Tapi, hasil panennya tetap dijual olej karyawan kebun.”
“Di kedai kecil di depan pintu masuk tadi?”
“Yup.” Rio menghentikan mobilnya di depan sebuah gerbang kayu, dan menarik rem tangan. “Kita udah sampai, Rara,” katanya sambil membuka pintu mobil dan melangkah turun.
Kejora mendongak dari buku yang dibacanya. “Mana kebun stroberinya?” ia memandang sekeliling dengan kening berkerut. “Kok hutan gini?”
Ify memutar bola matanya. Kejora selalu begitu kalau sudah membaca buku. Lupa akan keadaan sekelilingnya, dan lupa akan segalanya. “Udah lewat, Ra,” jawab Ify sambil memperhatikan Rio yang mendorong pintu pagar.
“Lho? Kok, nggak berhenti dulu? Katanya mau ke kebun stroberi?”
Rio, yang telah kembali masuk ke mobil, terbahak. “Iya, kita istirahat dulu sebentar, terus ke kebun stroberi,” ia mengendarai mobilnya melewati gerbang. “Nggak jauh kok, Ra.”
Jalan di hadapan mereka membelok ke kiri, dan langsung bertemu dengan area terbuka, dengan sebuah pondok cantik di tengahnya. Rio menghentikan mobilnya di depan anak tangga beranda, dan bergegas turun. Ify dan Kejora tidak mau ketinggalan. Keduanya bergegas mengikuti Rio turun dari mobil, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling pekarangan. Ify berdecak kagum. Bangunan bercat putih dan beratap biru itu terletak di tempat yang cukup tinggi, tetapi bersembunyi di antara kerimbunan pohon pinus.
Ify menghampiri Rio yang sedang mengeluarkan travel bag dan kantong-kantong belanjaan mereka dari bagasi. Ify meraih dua kantong plastik besar, menunggu hingga Rio menutup bagasi, lalu mengikuti lelaki itu menaiki tangga beranda yang terbuat dari batu alam. Kejora mengikuti mereka dengan membawa setumpuk buku di tangan, dan tas ransel di punggungnya.
Begitu Rio membuka pintu, Ify melangkah masuk, dan menghentikan langkahnya di tengah ruangan. Ia menyapukan pandangannya ke sekeliling, dan mendesah kagum. Interiornya mengusung gaya modern dengan sentuhan tropis. Sebuah permadani oriental terpasang di lantainya yang hanya berupa semen, bukan keramik seperti pada umumnya. Satu set sofa dengan dudukan lebar dan nyaman mengelilingi sebuah coffee table kayu besar.
“Kamu suka pondok ini?”
Ify mengangguk sambil melanjutkan langkahnya menghampiri sekat di tengah ruangan. “Suka sekali.”
Ify mendapati ruang makan di balik sekat, dengan dinning table bundar di tengah ruangan, dapur di sisi kanan, tangga dari batu alam yang menuju ke lantai atas di sisi kiri, dan sliding door kaca—membatasi ruang makan dengan beranda belakang—di bagian ujung ruangan.
“Kamarnya di atas ya, Om?” tanya Kejora yang mengikuti Ify mengamati ruangan.
Rio mengangguk. “Yuk, kita liat kamarnya.”
Ify meletakkan kantong plastic yang dibawanya di atas meja pantry, lalu bergegas menaiki tangga untuk menyusul Rio dan Kejora ke lantai atas. Langkahnya terhenti di anak tangga teratas. Ia menyapukan pandangannya ke sekeliling ruang duduk luas. Lantainya tetap—berupa semen, dengan jendela-jendela besar di satu sisi, dan—mata Ify terbelalak—perapian! Ia selalu ingin memiliki perapian di rumahnya, tetapi iklim Jakarta yang panas tentu saja membuat ide perapian di dalam ruang duduknya terasa konyol. Namun, di pondok ini perapian akan sangat berguna. Selain menghangatkan ruangan, mempercantik interior, juga memberi kesan romantis.
Ify menghampiri perapian yang terbuat dari batu alam warna gelap itu dan membelainya dengan penuh kekaguman. “Ini berfungsi?” Ia membungkuk dan mengintip cerobong asapnya.
Rio tersenyum geli, “Tentu saja.” Ia mengalihkan pandangannya pada Kejora. “Rara boleh pilih mau tidur di kamar yang mana. Boleh di kamar yang itu,” ia menunjuk kamar di sisi kiri ruang duduk, “atau yang itu,” ia mengalihkan telunjuknya ke kamar di sisi kanan. “Tapi, sebelum Rara memilih kamar, Om mau nunjukin sesuatu.”
Kejora mendongak, mentap Rio penasaran. “Apa, Om?”
Ucapan Rio juga membuat Ify penasaran. Cepat, ia memutar tubuhnya, dan mengikuti Rio dan Kejora. Mereka menghampiri jendela, lalu berbelok ke kiri. Kening Ify berkerut saat mendapati sebuah koridor tersembunyi di antara kamar tidur dan jendela besar. Tidak ada apa-apa di koridor buntu dan sempit itu selain seuntai tali yang tergantung dari langit-langit.
Kejora menatap Rio dengan pandangan bingung, “Om Cuma mau nunjukin Rara tali doang?”
Rio terkekeh. “Liat nih,” ia meraih tali yang terjulur, lalu menariknya. Perlahan, sebuah tangga kayu turun dari langit-langit. Mata Kejora terbelalak melihatnya. “Wuih, ruang rahasia ya, Om? Seperti yang ada di cerita-cerita lima sekawan!” serunya antusias.
Rio tertawa sambil mengangguk. “Yuk, naik.”
Tanpa perlu ditawari dua kali, Kejora langsung menaiki tangga.
Seruan girang dan kagum yang tertangkap oleh telinga Ify, membuat rasa penasarannya semakin menjadi. Ia segera menyusul putrinya menaiki tangga. Ify sudah menduga, ruang tersembunyi itu pasti loteng. Namun ia penasaran dengan interiornya. Hanya dalam waktu beberapa detik ia sudah berada di kamar loteng. Ruangan itu sangat luas karena menempati separuh pondok, dengan langit-langit yang tinggi di satu sisi, lalu menurun hingga menyentuh lantai kayu di sisi lain. Bidang-bidang plafon dan kisi-kisinya terbuat dari kayu pinus. Sebuah bay window terletak di ujung ruangan, dilengkapi dengan puff berwarna merah muda dan bantal-bantal warna-warni pada dudukannya. Sebuah single bed diletakkan beberapa meter dari bay window, dengan bed cover putih bercorak mawar merah, dan dipenuhi bantal-bantal warna merah di atasnya. Beberapa syal dan stola disangkutkan secara sembarang pada headboard. Di hadapan ranjang terdapat rak sederhana tetapi memiliki audio visual yang canggih. Sebuah loveseat diletakkan di dekat tangga, dengan sebuah throw bermotif—lagi-lagi mawar merah—di atasnya. Sebuah karpet tebal berwarna cerah terhampar di bawah coffee table. Ruangan ini cukup sederhana, tanpabanyak aplikasi, tetapi sangat nyaman dan…feminim. Mungkinkah kamar ini khusus untuk ditempati Ashilla? Tanpa dikehendaki, rasa tak suka merayapi hatinya. Walaupun ia tahu betapa Rio amat mencintainya, namun ia tak dapat mencegah secuil rasa cemburu menyelinap masuk ke hatinya. Ya, ia sedikit cemburu pada Ashilla. Pada perempuan yang pernah mendampingi hidup lelaki yang dicintainya. Perempuan yang pernah dicintai dan dilindungi Rio. Perempuan yang pernah berbagi suka dan duka dengan Rio.
“Bagaimana menurutmu?”
Ify mengangkat bahu, santai. “Lumayan.” Ia mengalihkan pandangannya ke sudut ruangan dan mendapati sebuah pintu di sisi lemari pakaian besar.
“Itu kamar mandinya,” Rio segera menjelaskan, lalu mengalihkan pandangannya pada Kejora yang sedang menempelkan hidungnya pada jendela. “Jadi, Rara mau pilih kamar yang mana?”
Kejora memutar tubuhnya, menatap Rio dengan mata berbinar. “Rara boleh pilih kamar yang ini, om?”
Rio mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Tapi tempat tidurnya kecil, Ra,” celetuk Ify, “Nanti Mama tidur dimana?”
Kejora mendecakkan lidahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “C’mon Mom, kayak nggak ada kamar lain aja?” katanya tak sabar, seakan sedang berbiacara pada anak yang lebih kecil saja.
Rio tertawa geli melihat ulah Kejora, sementara Ify hanya bisa memutar bola matanya.
“Ya udah, Rara istirahat dulu ya,” Rio mengalihkan pembicaraan. “Om mau bikin masakan yang enak buat makan siang.”
Kejora menatap Rio dengan pandangan tidak percaya. “Om bisa masak?”
“Bisa dong.”
Kejora menatap Rio kagum. “Cool…”
Rio tertawa pelan. Ia mencolek tangan Ify, mengajaknya turun.
“Jangan bikin berantakan ya, Ra,” pesan Ify sambil memutar tubuhnya, lalu menuruni tangga.
“Beres, Moooomm..”
“Sekarang, giliranmu memilih kamar,” kata Rio begitu kaki Ify menjejak di lantai semen.
Ify melangkah melewati Rio. “Rumah ini bersih, sama sekali nggak ada debu,” ia menyolek jendela dengan jarinya. “Ada yang menjaga?”
“Ada. Mandor kebun stroberi. Pak Sodiq, namanya.” Rio mengikuti Ify. “Tinggalnya nggak jauh dari sini. Dan aku memang udah memintanya untuk membersihkan pondok sejak kemarin. Aku bahkan sudah meminta Pak Sodiq menyediakan kayu bakar untuk perapian.”
Ify melirik Rio dengan mata menyipit. “Jadi, liburan ini benar-benar sudah kamu rencanakan ya?”
“Ya..” Rio mengangkat bahunya dengan santai, “gitu deh,” jawabnya kalem.
Ify menghela napas panjang, lalu melongokkan kepalanya ke kamar tidur yang menghadap ke pekarangan depan pondok. “Ini master bedroom?”
“Bukan, kamar ini jarang digunakan.”
“Kalau begitu, aku pilih kamar ini.”
Rio memutar tubuhnya, menghampiri travel bag milik Ify, lalu membawanya masuk ke kamar tidur yang dipilih perempuan itu. Didapatinya Ify sedang berdiri di depan jendela, mengamati pemandangan di bawah.
“sementara aku menyiapkan makan siang,” Rio meletakkan travel bag milik Ify di atas credenza, “kamu istirahat saja.”
Ify memutar tubuhnya, menghadap Rio. “Aku nggak capek.” Ia melangkah menghampiri Rio. “Ayo, aku bantu,” katanya seraya menyusul Rio.
**
Menurut Rio, ia ingin membuatkan sup ravioli untuk Ify dan Kejora. Ya, tentu saja di daerah yang dingin seperti ini, makan sup panas pasti terasa lebih nikmat. Istri Pak Sodiq sudah memasakkan nasi dan membiarkannya tetap hangat di dalam magic jar, sehingga mengurangi pekerjaan Rio. Lelaki itu cukup membuat sup saja. Rio mengeluarkan botol plastic berisi air berwarna kecoklatan dan berminyak, menuangkannya ke dalam panic lalu metelakkan pancinya di atas kompor. Ternyata, lelaki itu sudah menyiapkan kaldu dari rumah.
Karena tak ingin menganggur, Ify mengeluarkan barang-baring belanjaan mereka dari kantong plastic. Setelah membiarkan Rio mengambil bahan-bahan yang dibutuhkannya untuk memasak, ia memasukkan sisanya ke lemari es dan kitchen set. Namun, setelah itu, Ify tidak tahu lagi harus melakukan apa. Ify mengamati Rio yang bekerja dengan sangat cekatan. Sama sekali tidak tampak canggung berurusan dengan peralatan dapur. Sudah jelas, lelaki itu sangat terbiasa memasak sendiri. “Ada yang bisa aku bantu?”
“Ada,” jawab Rio tanpa menoleh. “Duduklah yang manis.”
Ify mengangkat bahunya, lalu duduk di balik meja pantry. Mengamati Rio bekerja sambil bertopang dagu. “Hmm, Yo..?” Bosan hanya berdiam diri, Ify pun tidak dapat menahan diri untuk tidak membuka mulut. “Kamar yang di loteng itu,” ucapnya berhati-hati, “kamar Ashilla ya?”
“Hmm..” Rio mengelap tangannya dengan serbet, “kok tau?” ia mengambil wajan dan meletakannya di atas kompor.
Ternyata Ify tidak salah duga. “Ya, tau aja…feminim banget sih.” Ify menyesap orange juice perlahan, sambil memikirkan cara terbaik untuk mengajukan pertanyaan berikutnya. Salah satu hal yang sejak tadi membuatnya penasaran. “Single bed itu..baru diletakkan disitu?” tanyanya dengan hati-hati sementara matanya mengawasi Rio dengan seksama. Namun, lelaki itu memunggunginya, hingga ia tidak tahu bagaimana reaksi lelaki itu begitu mendengar pertanyaannya.
“Udah lama kok,” jawab Rio kalem, tanpa menoleh. “Kami jarang ke tempat ini bersama-sama. Kebanyakan Shilla yang kesini sendirian.” Desisan minyak panas terdengar keras saat Rio memasukkan bahan-bahan yang mengandung air. “Dia senang menyepi di sini, apalabgi kalau beban kerjanya dirasanya sudah terlalu berat, atau saat ia sedang jenuh, atau saat ia menghindari wartawan infotainment.” Ia menuangkan kaldu ke dalam wajan. “Shilla nggak suka tidur sendirian di tempat tidur besar. Membuatnya merasa kesepian, katanya.” Rio menoleh, menatap Ify. “Aku nggak tau pasti alasannya membuat kamar di loteng, tapi itu sebabnya ia menaruh single bed disana.”
Ify mengangguk paham, lalu menundukkan pandangannya. Masih banyak yang ingin ditanyakannya pada lelaki itu. Ia ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi pada perkawinan Rio dan Ashilla. Namun, ia khawatir, pertanyaannya akan membuat suasana menjadi tidak nyaman. Ify menghela napas berat, dan memutuskan untuk tidak bertanya. Lebih baik membiarkan Rio menceritakannya sendiri—itupun kalau lelaki itu mau bercerita.
Rio mengambil sendok, menuangkan sedikit kuah sup di atasnya, meniupnya sedikit, lalu mendekatkannya ke bibir Ify. “Cicipin, deh.”
Dengan hati-hati, Ify menyeruput kuah sup, lalu menatap mata Rio dengan melebar. “Hmm, enak.”
Rio tertawa geli melihat kuah sup yang menetes dari sudut bibir Ify. Tanpa pikir panjang, ia menjulurkan tangannyam menyeka sudut bibir Ify. Namun, begitu jarinya merasakan kelembutan bibir Ify, dorongan gelap mendesak keluar. Rio menelusuri bibir Ify dengan jarinya. Namun, sekedar menyentuh tak lagi cukup baginya. Ia ingin merasakan lebih banyak lagi. Ia ingin mencicipi bibir indah itu. Ia ingin merasakan manisnya.
Sentuhan jari Rio membuat tubuh Ify menegang. Seakan ada ribuan kupu-kupu berterbangan di seluruh tuuhnya. Cara Rio menatapnya, membuat Ify seakan meleleh. Rio mengangkat dagu Ify, dan membungkukkan tubuhnya. Ify hanya menatap wajah Rio yang semakin dekat dengan pandangan kosong. Tidak mampu bergerak. Tidak mampu berpikir. Saat bibir lelaki itu mengecup lembut bibirnya, seluruh saraf di tubuhnya bergetar resah. Hasrat yang selama ini dikuncinya rapat-rapat, kini terlepas begitu saja. Tanpa disadarinya, ia telah membalas lelaki itu.
Merasakan Ify membalas menciumnya, membuat Rio semakin berhasrat. Membuatnya ingin melumat bibir indah Ify. Membuatnya ingin merasakan lebih banyak lagi. Untunglah hasrat belum mengambil alih seluruh akal sehatnya. Walaupun harus berjuang sekuat tenaga melawan hasratnya, Rio berhasil menarik diri.
Rasa kecewa menghajar Ify saat Rio berhenti menciumnya. Namun rasa malu pada dirinya sendiri, pada gairahnya yang lepas kendali, segera mengusir kekecewaannya. Ify tidak mengerti, mengapa ia dapat begitu bergairah setiap kali Rio menyentuhnya dengan cara seperti itu—tidak tiga belas tahun yang lalu, juga tidak saat ini. Wajah Ify merona. “Aku cari Rara dulu,” katanya dengan napas sedikit tersengal.
Tanpa menunggu jawaban Rio, Ify melompat turun dari kursi dan melangkah cepat menghampiri tangga.
**
Usai makan siang, Rio mengajak Ify dan Kejora ke kebun stroberi. Seperti dugaa Ify, kebun stroberi milik Rio tidak terlalu besar. Pasti tidak membutuhkan banyak waktu untuk mengelilinginya. Para pengunjung yang datang dapat memetik sendiri buah stroberinya, lalu menikmatinya di saung-saung yang disediakan di pinggir kebun. Ify merapatkan jaketnya sambil menyapukan pandangannya ke sekeliling. Hamparan pohon stroberi dengan gerumbulan buahnya yang merah segar, tampak amat indah di tengah hutan pinus yang mengelilinginya. Setelah sekian lama berada di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta, lengkap dengan kemacetan dan polusinya, berada di tempat seperti ini terasa begitu menyenangkan dan menyegarkan. Ify menghirup udara pegunungan sebanyak-banyaknya, lalu menghembuskan napas dnegan perlahan.
Kejora amat antusias melihat buah stroberi yang merah dan gendut-gendut yang tersebar di sekelilingnya. Begitu Pak Sodiq membekalinya dengan keranjang bambu kecil dan gunting khusus untuk memetik buah, gadis kecil itu segera berlari menghampiri jajaran pohon mungil yang memenuhi kebun. Memilih stroberi yang merah dan gendut, lalu memetiknya. Ify senang melihat antusiasme Kejora. Ia tersentak kaget saat merasakan tangannya diraih Rio. Tanpa berkata-kata, lelaki itu menariknya menghampiri jajaran pohon stroberi. Seperti Kejora, Rio juga sudah membekali diri dengan keranjang bamboo dan gunting.
“Lumayan juga pengunjungnya, Yo.” Ify menyapukan pandangannya ke sekeliling.
“Hati ini memang hari panen, jadi banyak yang datang.” Rio memetik sebuah stroberi, lalu menyodorkannya ke mulut Ify. Melihat Ify menatapnya ragu, ia tertawa. “Ayolah. Jangan takut begitu. Aku nggak akan menciummu disini,” bisiknya, menggoda.
Wajah Ify menghangat, ia pun membuka mulut, dan membiarkan Rio menyuapi stroberi gendut itu. Cairan manis langsung memenuhi mulut Ify begitu ia menggigitnya. “Hmm, en—“
Belum sempat Ify menyelesaikan ucapannya, Rio sudah membungkuk dan mengecup bibirnya sekilas. Ify begitu terkejut sehingga selama beberapa saat ia tidak bisa berkata-kata. Hanya wajahnya saja yang bereaksi, merona. Suaa tawa Rio yang merayap masuk ke telinganya, akhirnya menyentak ketertegunannya. Ia melemparkan tatapan kesal kepada lelaki itu.
“Maaf,” kata Rio kalem sambil menyeringai lebar. Tanpa secuil pun penyesalan di wajah tampannya.
“Penipu,” gerutu ify dengan wajah cemberut, berusaha menutupi debar resah di jantungnya.
Rio tertawa lirih. “Tau nggak, stroberi berbuah setelah tiga bulan,” ia menjelaskan sambil kembali memetik buah stroberi, “dan masa panennya setiap tiga hari selama tiga tahun.” Rio meletakkan beberapa buah sekaligus pada keranjang bamboo yang dibawa Ify. “Kita beruntung datang hari ini.”
“Ini sih bukan keberuntungan, Yo.” Ify mencibir. “Kamu memang sudah merencanakan semuanya. Kamu tau pasti hari ini hari panen. Jadi, apanya yang beruntung?”
Rio tertawa kecil. “Kamu benar. Bukan keberuntungan namanya kalau direncanakan.” Ia menegakkan tubuhnya, menatap Ify dengan pandangan teduh yang mampu menjungkir balikkan hati Ify. “Tapi aku benar-benar merasa beruntung, Fy.” Nada suara Rio terdengar serius dan lembut. “Aku beruntung kamu nggak menuruti permintaanku dulu. Aku beruntung bisa bertemu denganmu lagi.” Ia meraih tangan Ify dan menggenggamnya erat. “Aku beruntung bisa mendapatkan kembali cintamu. Semua itu membuat aku merasa menjadi laki-laki paling beruntung di dunia.”
Ucapan Rio membuat Ify tidak bisa berkata-kata. Ia memandang Rio dengan mata menyipit, mengira laki-laki itu sedang bercanda. Sedang menggodanya. Namun, cara Rio menatapnya, membuatnya yakin lelaki itu serius dengan perkataannya. Perlahan, wajah Ify terasa menghangat. Ify tahu, Rio masih mencintainya. Lelaki itu telah mengatakannya ketika mereka masih di rumah sakit di Sukabumi. Namun, entah mengapa, cara lelaki ini mengucapkannya—saat ini, di tempat ini—membuat perasaannya lebih kacau balau. Ify mengerjapkan matanya yang indah, lalu menunduk. Mencoba menyembunyikan kegugupannya.
“Mom! Om Rio!”
Suara Kejora mengejutkan Ify dan Rio. Serentak, keduanya menoleh pada gadis kecil yang berlar menghampiri mereka.
“Rara dapet banyak banget, Mom,” Kejora mengangkat keranjang bambunya, memamerkan tumpukan buah stroberi yang sudah masak dengan bangga.
“Waah, hebat, Om bagi ya.” Rio menjulurkan tangan dan mencomot sebutir stroberi. Sambil mengunyah stroberi, Rio membiarkan Kejora menariknya ke bagian lain kebun untuk memetik stroberi lagi. Sementara Kejora asik berceloteh riang di sisinya. Rio menoleh kepada Ify. Bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu.
Ify tertegun. Meskipun tak ada suara yang keluar dari mulut Rio, tetapi ia tahu apa yang diucapkan lelaki itu. Wajahnya kembali merona. Kehangatan memenuhi hatinya. Senyumnya mengembang. “I love you, too,” balasnya, juga tanpa suara.
----
Promises Promises[11 &12a]:Mencintaimu Sekali Lagi
Promises Promises [11 & 12a] : Mencintaimu Sekali Lagi
“Dari hasil lab yang saya terima, Kejora positif terkena DBD.” Dokter Fauzi menghela napas berat. “Mudah-mudahan Kejora bisa melewati masa kritisnya dalam waktu tiga hari.”
Ucapan Dokter Fauzi membuat jantung Ify seakan berhenti berdetak. Bibirnya menipis. Kedua tangan di pangkuannya gemetar. Amarah yang telah mulai mereda, merayap kembali ke permukaan. Ibunya memang keterlaluan! Seharusnya beliau langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres pada Kejora saat anak itu mulai kehilangan nafsu makan, dan terus mengurung diri di kamar. Kejora memang selalu begitu kalau sedang tidak enak badan. Setelah Kejora tidak keluar-keluar dari kamar barulah ibunya mengecek keadaan anak itu. Namun, setelah mengetahui Kejora demam tinggi, alih-alih langsung membawanya kerumah sakit, ibunya hanya memberikan obat-obatan tradisional. Alasannya; beliau menyangka Kejora hanya sakit biasa—kecapekan atau masuk angin.
Ify mendengus dalam hati. Mana mungkin tidak ada yang serius kalau demamnya sudah tinggi? Setelah mendapati Kejora muntah darah, barulah ibunya pontang-panting melarikan anak itu ke rumah sakit. Ya, Tuhan. Untung saja ibunya masih memiliki sedikit akal dan hati untuk melakukannya. Ify tidak tahu apakah ia bisa bertahan kalau sampai terjadi sesatu yang buruk pada putrid kecilnya. Ify merasakan tangan Rio menggenggam tangannya, dan meremasnya lembut. Memberinya kekuatan, sekaligus membantunya mengendalikan kemarahan.
“Hemoglobinnya juga sangat rendah,” Dokter Fauzi menatap Ify dan Rio dari atas kacamatanya. “Kejora butuh transfusi.”
“Lalu, kenapa belum ditransfusi, Dok?” Suara Ify bergetar.
“Saya sudah meminta suster mengecek persediaan darah di sini, tapi maaf, golongan darah AB memang sangat sulit dicari.”
Ucapan Dokter Fauzi bagaikan petir yang menyambar tubuh Rio, wajah Rio kehilangan warna. Matanya terbelia, menatap kosong Dokter Fauzi. Apakah ia tidak salah dengar? Golongan darah Kejora AB? Sama dengan golongan darahnya? Mungkinkah kecurigaannya selama ini terbukti benar? Mungkinkah Kejora adalah…. Rio mengerang dalam hati. Betapa bodohnya ia, tidak memperhatikan data pasien yang tergantung di kaki ranjang Kejora. Bukankah disitu tertera umur pasien? Tetapi, kalau Kejora memang putrinya, mengapa Ify merahasiakannya? Mengapa perempuan ini tega mengucapkan kata-kata yang begitu menyakitkan hatinya beberapa waktu lalu? Perasaan Rio kacau balau. Rio mengalihkan pandangan pada perempuan di sisinya.
Ify dapat merasakan tangan Rio yang masih menggenggam tangannya menegang. Jantungnya berdegup kencang. Resah, panik, dan cemas. Mungkinkan Rio langsung menyadarinya? Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melirik Rio dari sudut matanya. Didapatinya lelaki itu sedang menatapnya dengan pandangan menuntut penjelasan. Jantung Ify mencelos. Kebenaran telah terungkap.
Ify menundukkan pandangannya, menghindari tatapan Rio. Dapat dirasakannya lelaki itu melepaskan genggamannya, lalu menarik tangannya. Di luar dugaan, Ify merasa ada yang ikut tertarik keluar dari hatinya, dan meninggalkan lubang menganga. Ia merasa kosong. Merasa kehilangan. Namun, sebuah kesadaran menyentaknya. Dalam sekejap kekecewaan mengalir masuk. Mengisi seluruh ruang kosong di hatinya, hingga melebihi kapasitas yang mampu ditampungnya. Menyesakkan. Menyakitkan. Membuatnya tak dapat bernapas. Ternyata lelaki ini telah membohonginya—lagi! Rio tidak menyesali perbuatannya. Rio tidak pernah menyesal telah memintanya membuang Kejora. Ternyata Rio tetap tidak menginginkan Kejora. Tak peduli betapa inginnya Rio memiliki anak perempuan, lelaki ini tidak menginginkan gadis kecilnya itu. Ify menarik napas dalam-dalam, berusaha mengurangi sesak di dadanya.
“Ada yang ingin ditanyakan, Pak?” Dokter Fauzi mengalihkan pandangannya dari Rio, “Ibu?”
Pertanyaan Dokter Fauzi menyentak kesadaran Rio dan Ify. Entah berapa lama mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing, hingga tidak mendengar penjelasan Dokter Fauzi.
“Nggak, Dok,” Rio menjawab dengan suara mengambang. Belum sepenuhnya pulih dari rasa keterkejutannya, “Makasih, Dok.” Ia bangkit dari kursinya, dan melangkah linglung keluar ruangan.
“Anda baik-baik saja, Bu?” tanya Dokter Fauzi kepada Ify yang masih duduk di tempatnya.
Ify menarik napas dalam-dalam berusaha mengendalikan dirinya. “Bagaimana caranya mendapatkan darah golongan AB, dok?”
“Ibu bisa pergi ke PMI UTD Sukabumi—walaupun saya tidak terlalu yakin mereka mempunyai persediaan—atau jalan terbaik, mencari keluarga atau teman dekat yang mempunyai golongan darah AB.”
Ify mengeluh dalam hati. Ia tahu satu orang yang bisa menyelamatkan Kejora, tetapi—setelah melihat reaksi Rio tadi—ia tidak yakin lelaki itu masih mau membantunya. Perlahan, ia bangkit dari kursinya. “Makasih, Dok.” Katanya sebelum meninggalkan ruangan.
**
Ify mendesah resah saat tidak menemukan Rio di luar ruangan Dokter Fauzi, bahkan tidak menemukannya di kamar Kejora. Mungkinkah Rio telah pergi? Telah kembali ke Jakarta? Meninggalkannya untuk menghadapi masalah ini seorang diri—seperti dulu? Rasa sakit semakin membengkak di hati Ify. Ternyata lelaki itu tidak banyak berubah. Rio masih tetap pengecut. Selalu mencoba untuk lari dari kenyataan. Lelaki itu tampak berubah karena mengira ia telah menuruti keinginannya. Karena mengira Kejora bukan darah dagingnya. Jadi, benar dugaannya selama ini. Rio tidak pernah mencintai Ify. Lelaki iyu hanya menganggapnya tak lebih dari sebuah benda yang bisa dipermainkannya. Tidak dulu tidak pula sekarang. Rio tidak pernah berniat untuk menjadi bagian kehidupannya. Tangis mulai merambati tenggorok Ify. Membuatnya semakin sulit bernapas.
Di depan kamar Kejora, Ify berhenti sejenak. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding, berusaha mengendalikan dirinya. Berusaha mengendalikan kekecewaan dan amarah yang semakin pekat menyelubungi hatinya. Namun, rasa sakit yang teramat sangat membuat tubuhnya mulai gemetar. Membuat pandangannya memburam. Tangis sudah berkumpul di pangkal tenggoroknya. Ia hampir tak kuat lagi menahannya. Ify mengepalkan tangannya, dan menyumpalkan ke dalam mulutnya. Berusaha keras meredam tangisnya yang mulai pecah.
Ify tidak tahu, telah berapa lama ia menangis di depan kamar Kejora, hingga akhirnya ia bisa mendapatkan kembali kendali dirinya. Ia mengeluarkan sebungkus tisu dari tasnya dan segera menyeka air matanya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah masuk ke kamar Kejora. Dengan langkah pelan—agar tidak membangunkan Kejora yang sedang tidur—Ify menghampiri ibunya yang duduk di sisi ranjang, menunggui Kejora—seperti yang diminta Ify—sambil membaca majalah. Ify membungkukkan tubuhnya, dan berbisik. “Titip Kejora bentar ya, Bu. Aku mau ke PMI dulu, mumpung belum terlalu sore.” Ibunya hanya mengangguk, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan tanpa menoleh ke arahnya.
**
Entah telah berapa lama Rio berjalan tanpa tujuan di sepanjang koridor rumah sakit dengan setengah melamun. Merenungkan semua yang baru saja diketahuinya. Mungkinkah kecurigaannya selama ini benar? Itukan sebabnya ada perasaan asing yang terus mengusiknya sejak ia bertemu Kejora? Bayangan rambut ikal Kejora dan bentuk matanya yang mirip dirinya terhampar di depan matanya. Rio menggeleng pelan. Tetapi, terlalu sedikit bukti yang menunjukkan bahwa gadis kecil itu adalah putrinya. Bisa saja mendiang suami Ify pun memiliki rambut ikal dan bentuk mata yang sama dengannya. Rio tahu pasti, golongan darah Ify A. Jadi bisa saja mendiang suami Ify pun memiliki golongan darah B. Atau AB..?
Rio menghela napas berat. Masih ada kemungkinan Kejora bukan anaknya. Semua kemiripan Kejora dengannya tak lebih dari sebuah kebetulan. Bukankah Ify mengatakan kepadanya bahwa anaknya telah—hatinya tiba-tiba terasa nyeri—mati?
Rio mengerang dalam hati. Selama tiga belas tahun ia begitu menderita. Hidup dihantui rasa bersalah dan penyesalah. Setitik harapan muncul saat ia melihat beberapa kemiripan Kejora dengan dirinya. Berharap Ify tidak pernah menuruti permintaan bodohnya. Berharap gadis kecil itu adalah darah dagingnya. Menemukan semakin banyak kemiripan, membuatnya ketakutan. Takut harapannya semakin tumbuh. Takut tak sanggup menahan rasa kecewa saat mengetahui Kejora bukan putrinya. Takut ia akan kehilangan Ify lagi.
Tiba-tiba langkah kaki Rio terhenti. Ia tertegun. Tetapi, kalaupun Kejora bukan darah dagingnya, ia tetap amat menyayangi Kejora. Keceriaan dan kecerdasan Kejora telah merebut hatinya. Membuatnya jatuh cinta. Lalu kenapa memangnya, kalau tidak ada bagian dari dirinya di tubuh gadis kecil itu? Bukankah pada diri Kejora ada bagian dari perempuan yang paling dicintainya? Sebagian darah Ify mengalir dalam tubuh gadis mungil itu. Tubuh mungil yang kini berbaring lemah tak berdaya, menunggu datangnya pertolongan. Pertolongan yang hanya bisa—ia terkesiap—diberikan olehnya.
Ya, Tuhan. Apa yang telah dilakukannya? Ia hanya membuang waktu yanb tak akan mungkin kembali. Rio segera memutar tubuhnya dan berlari menuju kamar Kejora.
**
“Ify mana, Bu?” tanya Rio begitu tiba di kamar Kejora.
Perempuan setengah baya itu mendongak menatap Rio dengan kening berkerut dalam. “Lho, bukannya pergi sama kamu?”
Alis Rio terangkat. “Pergi..?” Ia menatap ibu Ify dengan pandangan bingung. “Kemana?”
“Ke PMI. Memangnya kamu nggak tau?”
Rio segera memutar tubuhnya dan berlari ke luar kamar Kejora. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, dan men-dial nomor ponsel Ify. Namun, hingga nada panggilan berakhir, perempuan itu tidak juga mengangkat teleponnya. Rio me-redial nomor ponsel Ify. Saat ia nyaris putus asa dan hendak memutuskan panggilan, tiba-tiba sebuah suara menyapa. Rio tertegun. Suara lelaki? Rasa cemburu menjalarinya hatinya. Dengan siapa Ify pergi ke PMI? Mengapa lelaki ini yang menjawab panggilannya?
“Ini HP-nya Ify kan?” tanya Rio tanpa membalas sapaan lelaki asing itu.
“Iya.”
“Ini siapa?” Rio tak dapat menutupi kegusarannya.
“Saya Danu, Pak, asisten Ibu Ify. Ibu Ify sedang pergi. HP-nya ketinggalan.”
Kelegaan yang luar biasa membanjiri Rio. Ia baru ingat, Ify menjatuhkan ponselnya saat mendapat kabar mengenai Kejora. Rupanya, perempuan itu lupa mengambilnya. Tanpa berkata-kata lagi, Rio mematikan ponsel, dan berlari mencari perawat.
**
Seperti yang telah diprediksi Dokter Fauzi, PMI UTD Sukabumi tidak memiliki persediaan golongan darah yang dibutuhkan Ify. Ia terpaksa pulang dengan tangan kosong. Sambil setengah melamun ia melangkah menelusuri koridor rumah sakit. Sebnarnya ada satu orang yang mampu menyelamatkan Kejora. Tetapi sepertinya lelaki itu telah kembali ke Jakarta, meninggalkannya dan Kejora begitu saja. Sedih, pahit, kecewa, dan marah bercampur aduk di hati Ify. Menyesakkan dada.
Ia memang bodoh! Menaruh harapan pada lelaki yang pernah meninggalkannya dalam ketidakberdayaan. Kini, persis seperti masa lalu, Rio kembali meninggalkannya. Ternyata ia salah duga, ia terlalu berlebihan menilai semua sikap Rio padanya. Dan, dengan bodohnya, ia membiarkan dirinya kembali jatuh cinta pada lelaki itu. Ify menarik napas dalam-dalam, berusaha mengurangi rasa nyeri di dadanya.
Rio boleh melakukan apa saja yang diinginkannya. Rio boleh menyakiti dirinya, tetapi jangan menggoda perasaannya dengan mempermainkan nasib Kejora. Lelaki itu bersikap seakan-akan begitu ingin membantuya. Begitu tampak khawatir mendengar Kejora sakit. Namun, setelah tahu golongan darah Kejora sama dengan golongan darahnya, lelaki itu langsung lari tunggang langgang. Padahal Rio tahu, betapa sulitnya mencari golongan darah AB. Ify masih ingat betul apa yang dikatakan oleh petugas PMI saat sekolah mereka menyelenggarakan bakti sosial donor darah. Ia ingat betul, karena Rio memiliki golongan darah yang langka itu.
Ify menghela napas berat. Sudahlah. Biarkan saja kalau Rio meninggalkannya dan Kejora. Ini bukan hal baru baginya. Satu-satunya yang harus dipikirkannya sekarang di mana ia dapat memperoleh darah atau pendonor. Mungkin sebaiknya ia mendatangi PMI UTD Jakarta dan menghubungi teman-temannya. Ify merogoh tasnya, mencari ponsel. Namun, ia tidak dapat menemukan benda yang dicarinya. Ify mendengus kesal. Ternyata bukan hanya Rio yang menghilang, bahkan ponselnya pun lenyap.
Ify melangkah masuk ke kamar Kejora, dan menghampiri ibunya yang belum beranjak dari sisi ranjang. “Bu, sepertinya aku harus kembali ke Jakarta sekarang juga.”
Ibunya mendongak, menatap Ify dengan kening berkerut hingga kerutan pada wajahnya tampak semakin dalam. “Untuk apa?”
“Aku nggak dapat darah yang dibutuhkan di PMI.” Ify menatap Kejora yang belum terbangun. “Aku harus ke PMI Jakarta, dan mencari bantuan dari teman-teman.”
“Kejora sudah dapat pendonor kok.”
Suara ibunya begitu tenang, dan pelan, tetapi mampu mengejutkan Ify. Cepat, ia menoleh pada ibunya. “Kok bisa? Katanya rumah sakit kehabisan persediaan?”
“Rio yang jadi pendonor.”
Ify terperangah. “R-Rio..?” Ia menatap ibunya tanpa berkedip. “Rio belum pulang ke Jakarta?”
Ibunya menatap Ify dengan pandangan seakan ia telah kehilangan akal sehatnya. “Tadi, dia malah nyariin kamu.”
Selama beberapa saat Ify hanya bisa tertegun. Sulit baginya untuk memercayai apa yang didengarnya. Apakah semua ini nyata? Dalam sekejap, semua amarah dan kekecewaan surut dari hatinya. Kelegaan membanjirinya. Ternyata ia salah sangka. Rio belum pulang ke Jakarta. Lelaki itu tidak meninggalkannya dan Kejora. Bahkan, tanpa diminta, lelaki itu mau mendonorkan darahnya. Rio akan menyelamatkan putri kecilnya. Rasa syukur dan bahagia merayapi hatinya. Mata Ify berkaca-kaca, menahan luapan haru. Tanpa berkata-kata lagi, ia memutar tubuhnya, meninggalkan kamar Kejora.
**
Ify melongok ke dalam ruangan yang ditunjuk oleh perawat. Didapatinya Rio sedang berbaring di salah satu ranjang. Sebuah selang menghubungkan lengannya dengan kantong darah di sisi ranjang. Kehangatan menjalari hati Ify. Perlahan, ia melangkahkan kakinya mendekati ranjang.
Merasakan kehadiran seseorang di dekatnya, Rio membuka mata. Seulas senyum mengembang di wajanya saat melihat Ify berdiri di dekatnya, tersenyum lembut padanya. Jantung Rio berdesir. Ternyata, dalam keadaan lelah dan berantakan seperti ini, Ify masih mampu membuatnya resah. “HP kamu hilang ya?”
Satu alis Ify terangkat, “Kok tau?”
Rio tersenyum geli. “Sebenarnya, nggak hilang sih, Cuma ketinggalan di rumahku.” Ia memperbaiki letak kacamatanya. “Waktu ibumu bilang kamu ke PMI, aku nyoba telepon kamu. Tapi, yang jawab malah si Danu,” ia tertawa kecil. “Aku sampai kaget waktu tiba-tiba suara kamu jadi berubah berat.”
Ify ikut tertawa.
Rio senang melihat Ify sudah tampak jauh lebih tenang. Gurat kecemasan di wajahnya sudah jauh berkurang. “Kok kamu nggak bilang kalau mau ke PMI?”
Dengan canggung, Ify menyelipkan seuntai rambut ke belakang telinganya. “Aku pikir,” ia menundukkan pandangannya, mencoba menyembunyikan wajahnya yang merona, “kamu udah pulang ke Jakarta.”
“Pulang…?” Mata Rio melebar. “Mana mungkin aku meninggalkan kamu dan Kejora begitu saja? Dalam keadaan seperti ini pula?”
“Aku pikir,” Ify mengelus rangka besi dengan telunjuknya. Salah tingkah. “Kamu marah,” gumamnya lirih.
“Marah..?” Rio menatap Ify dengan pandangan bingung. “Kok, kamu bisa berpikiran seperti itu?”
“Aku—“ Ify tidak jadi berbicara karena seorang suster menghampiri mereka dan memeriksa kantong darah Rio.
“Sudah selesai, Pak.” Perawat itu mencabut jarum pada lengan Rio, menaruh kapas di lengan lelaki itu dan melekatkan plester di atasnya. “Sebaiknya bapak langsung minum susu dan makan supaya tenaga bapak pulih kembali.”
“Makasih, Suster.”
Rio bergegas bangkit dari ranjangnya. Namun, saat ia turun dari ranjang dan mencoba berdiri, pandangannya langsung berputar. Tubuhnya terhuyung. Rio berusaha menggapai ranjang untuk berpegangan, tetapi sebuah tangan telah melingkari pinggangnya dan menahan tubuhnya. Rio menoleh. Jantungnya berdegup keras saat mendapati ify setengah memeluknya sambil mendongak menataonya. SIrat cemas tampak jelas di mata perempuan itu. Seulas senyum mengembang di wajah Rio. “Makasih.”
“Sebaiknya kita langsung ke kantin aja.” Ify menatap Rio dengan pandangan khawatir, tanpa melepaskan lengannya dari pinggang lelaki itu. “Kamu kan belum makan siang.”
Rio tersenyum lembut. “Kamu juga belum makan, kan?”
Ify balas tersenyum malu, lalu mengangguk.
**
Kantin rumah sakit tampak sepi. Mungkin karena jam makan siang telah lewat lama. Saat itu hanya ada beberapa orang pengunjung yang sedang menikmati makanan kecil. Rio dan Ify memilih meja di ujung sebelah dalam. Tempat yang tidak dilalui banyak orang, hingga mereka bisa mengbrol dengan nyaman, tanpa terganggu.
“Jadi, apa yang membuat kamu berpikir aku marah?” Rio langsung membuka percakapan begitu pelayan yang mencatat pesanan mereka beranjak pergi.
Ify menundukkan pandangannya. “Aku berpikir,” tangannya melipat-lipat serbet kertas hingga membentuk lipatan kecil. Gugup. “Kamu marah setelah tau aku,” ia menelan ludah dengan susah payah, “setelah tau aku nggak menggugurkan kandunganku.”
Suara Ify begitu lirih, nyaris tak terdengar, tetapi bagaikan gelegar halilintar di telinga Rio. Ia menatap Ify tanpa berkedip, dan tanpa bisa berkata-kata. Jadi, Kejora memang anaknya? Putrinya? Darah dagingnya! Walaupun selama ini ada kecurigaan di hatinya, pengakuan Ify tetap saja membuatnya terkejut. Jadi, itukah sebabnya perasaan asing itu muncul setelah ia bertemu Kejora? Mungkinkah itu ikatan batin antara ayah dan putrinya? Rio menelan ludahnya dengan susah payah. “Jadi, Kejora…benar-benar putriku..?” tanyanya dengan suara mengambang.
Ify mendongak. Menatap Rio dengan pandangan terkejut bercampur bingung/ ia tak menduga Rio akan tampak begitu terkejut. Ia tak menyangka, meskipun Dokter Fauzi telah menyebutkan golongan darah Kejora, namun rupanya Rio masih belum bisa menebak kalau gadis kecil itu adalah putrid kandungnya. Perlahan, Ify menganggukkan kepalanya.
“Tapi, bagaimana mungkin?” Rio menelan ludah, “bukankan umurnya baru sebelas tahun?”
Ify memilin-milin serbet kertas di tangannya. “Maafkan aku.” Ia menundukkan kepala, menghindari tatapan Rio. “Aku berbohong.” Dengan sedikit khawatir, ia melirik Rio dari balik bulu matanya. Mengawasi perubahan ekspresi lelaki itu. Mempersiapkan diri untuk menerima kemarahan Rio. Namun, ekspresi Rio tidak terbaca. Mata lelaki itu menatap lurus ke arahnya. Kosong. Seakan menembusnya. Seakan ia tidak berada di hadapan lelaki itu. Jantung Ify berdebar cemas. “Kamu marah…?” tanyanya hati-hati.
Perlahan pandangan Rio kembali focus, “Marah..?” Seulas senyum mengembang di wajanya. Ia menghela napas panjang, penuh kelegaan. “Ya Tuhan Ify..” ia menatap Ify dengan mata berbinar. “Aku bahagia, FY. Masih sulit untuk dipercaya, tapi aku sangat bahagia.”
Ucapan Rio, ekspresi wajah lelaki itu, dan binary di matanya, membuat semua beban yang ditanggung Ify selama ini terangkat. Ia menundukkan pandangannya, lalu diam-diam menghela napas lega.
“Kamu tahu Ify?” suara Rio terdengar lembut dan dalam. “Seperti apa hidupku saat meninggalkan kamu ke Jerman?” ia memperbaiki letak kacamataya, “Aku nggak bahagia, Fy. Aku selalu dihantui rasa bersalah. Nggak pernah sedetik pun aku berhenti menyesali kepengecutanku.”
Ify mendongak. Menatap Rio dengan pandangan tak percaya. Tak bisa berkata-kata. Benarkah Rio begitu merasa bersalah? Ia membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, tetapi membatalkan niatnya saat pelayan datang membawakan pesanan mereka. Begitu pelayan meninggalkan meja mereka, ia kembali membuka mulut, hendak bertanya. Namun, Rio telah mendahuluinya.
“Kamu tau Fy?” Rio mengaduk susu hangat di hadapannya. “Aku sedih sekali karena nggak ada satupun suratku yang kamu balas. Begitu ada kesempatan pulang ke Indonesia, orang pertama yang aku cari adalah kamu.” Ia menyesap susunya perlahan, lalu melanjutan. “Tapi ternyata kamu udah pindah. Semua tetanggamu aku datangi, aku tanya apakah ada yang tau alamat barumu, tapi tidak satu pun yang tahu.”
Ify tercengang. Menatap Rio tanpa bisa berkata-kata. Sulit baginya memecrayai semua yang tertangkap oleh telinganya. Jadi, dulu Rio mencarinya?
Perlahan. Rio mendongak. “Kamu tahu FY?” ia menatap Ify dengan pandangan sedih. “Waktu itu aku sudah memutuskan untuk menikahimu dan nggak akan kembali lagi ke Jerman.” Ia menghela napas berat. “Aku sudah nggak peduli kalau papa marah dan kecewa. Aku bahkan nggak peduli kalau papa mengusirku atau nggak mau mengakuiku sebagai anak lagi.”
Ify tertegun. Ia mengaduk-aduk soto di hadapannya, tanpa bisa berkata-kata. Berbagai perasaan bercampur aduk di hatinya. “Tapi, bagaimana kamu bisa melakukannya?” tanyanya setelah dapat kembali bersuara. “Kamu kan sayang banget sama papa?”
“Memang nggak gampang, tapi aku terlalu mengkhawatirkan kamu.” Rio menyuap makanannya, mengunyahnya perlahan, dan menelannya. “Kalaupun akhirnya papa marah dan mengusirku, aku Cuma busa berharap suatu hari nanti Papa akan memaafkan aku.”
Ify tidak dapat berkata-kata. Penjelasan Rio begitu di luar dugaannya. Ternyata, selama ini ia telah salah menilai laki-laki di hadapannya ini. Ternyata Rio tidak pengecut seperti yang dituduhkannya selama ini. Lelaki itu memang ketakutan. Namun, menurut Ify, itu sesuatu yang wajar mengingat usianya yang masih amat muda. Mengingat mereka belum memiliki penghasilan. Mungkin dulu Rio bukan seorang gentleman seperti sekarang, tetapi paling tidak ia bukan pengecut. Diam-diam, Ify menghela napas panjang. Namun—yang terpenting—akhirnya Rio memutuskan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Dan kini, nilai Rio bertambah tinggi dimatanya karena lelaki ini memutuskan untuk mendonorkan darahnya pada Kejora, meskipun ia tidak tahu bahwa gadis kecil itu adalah putrinya. Sentuhan pada tangannya membuyarkan lamunan Ify. Jantungnya berdebar keras saat Rio menggenggam tangannya.
“Aku mencintaimu, Ify,” Rio menatap Ify dalam. “Aku nggak pernah berhenti mencintai kamu.”
Selama beberapa saat, Ify tak bisa berkata-kata. Ucapan Rio terlalu mengejutkannya. Jantungnya berdegup semakin cepat. Ia gugup, tetapi bahagia. Namun, bayangan Ashilla tiba-tiba memasuki benaknya, segera mengusir kebahagiannya. “Tapi, kamu juga mencintai Shilla, dan menikah dengannya.” Ia tidak dapat menyembunyikan rasa cemburunya.
Bagaimanapun aku lelaki normal, Ify.” Rio meremas tangan Ify lembut, mencoba untuk menenangkan perempuan itu. “Sama seperti kamu, aku pun membutuhkan pendamping hidup.”
Ify menatap Rio dengan tatapan bingung, tak mengerti maksud lelaki itu. Namun, perlahan, sebuah pemahaman memasuki benaknya. Ia lupa bahwa Rio mengiranya telah menikah. Ify tersenyum gugup. “Aku..” ia membasahi tenggoroknya yang terasa kering. “Aku nggak pernah menikah, Rio.”
Seluruh darah di tubuh Ify seakan membeku. Ia menatap Ify dengan mata terbelakak. Tanpa sadar, ia melepaskan tangan Ify.
“Sejak aku memutuskan untuk mempertahankan Kejora, ibu memutuskan untuk pindah ke Sukabumi, dan mengarang cerita itu untuk menutupi rasa malunya.” Ify menundukkan pandangannya. Tangannya mengaduk-aduk kuah sotonya dengan resah. “Dan akhirnya, aku juga terbiasa dengan cerita karangannya, bahkan mulai percaya bahwa aku memang sudah menikah dan suamiku meninggal saat aku hamil Kejora.”
Rio tidak bisa berkata-kata. Terlalu terkejut oleh fakta yang dihamparkan ke hadapannya. “Lalu bagaimana dengan pekerjaan ayahmu?” tanyanya setelah mampu kembali bersuara. “Ayah terpaksa pindah kerja ke Sukabumi? Atau kalian hidup terpisah?”
“Ayah meninggal nggak lama setelah tau keadaanku,” suara Ify bergetar. “Serangan jantung.”
Hening.
Hati Rio mencelos. Rasa bersalah mencengkram hatinya. Menyesakkan dadanya. Perlahan, Rio meraih tangan Ify dan menggenggamnya erat. “Maafkan aku, Ify,” ia tercekat. “Aku nggak nyangka, kepengecutanku sudah membuat kamu begitu menderita.” Ia menghela napas berat. “Aku tahu, permintaan maafku sama sekali nggak berarti apa-apa. Aku tau, aku nggak mungkin bisa membalikkan waktu—walaupun aku sangat berharap aku mampu melakykannya. Tapi, aku janji Ify,” ia membelai tangan Ify lembut. “Aku nggak akan pernah membuat kamu menderita lagi. Aku janji, aku akan selalu membuatmu bahagia. Aku janji, aku nggak akan meninggalkan kamu lagi—apapun situasinya.”
Ify diam, tidak dapat berkata-kata. Ia menundukkan pandangan, menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. Menyembunyikan kebahagiannya yang terlalu membuncah ini. Ia tahu, Rio bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia yakin, Rio akan menepati janjinya. Lelaki ini bahkan telah menepati janjinya meskipun belum mengucapkannya. Bukankah selama ini Rio selalu ada di sisinya setiap kali ia membutuhkan pertolongan? Dan, yang lebih menyentuh hati Ify, lelaki ini bersedia mendonorkan darahnya meskipun tidak tahu bahwa Kejora adalah darah dagingnya. Lelaki ini begitu tulus padanya….dan Kejora.
Langganan:
Postingan (Atom)